Opini

`Blunder` RUU Haluan Ideologi Pancasila

Oleh : indonews - Selasa, 23/06/2020 11:59 WIB

Viktus Murin, Sekjen Presidium GMNI Periode 1999-2002, kini Tenaga Ahli Ketua MPR RI. (Foto: Ist)

Oleh: Viktus Murin *)

INDONEWS.ID -- Menyusul polemik dan kontroversi yang merebak di tengah-tengah masyarakat diantaranya dari organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, organisasi kepemudaan, dan organisasi politik, rencana pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) akhirnya di-pending alias ditunda. Pemerintah telah meminta DPR RI yang berwenang dalam hal produk legislasi agar tidak melanjutkan atau menunda pembahasan RUU HIP.

Merespon alur polemik dan kontroversi di tengah masyarakat, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo telah memastikan sikap Pimpinan MPR RI bahwa MPR sependapat dengan Pemerintah untuk menunda pembahasan RUU HIP. Tampaknya Ketua MPR RI bersikap cepat tanggap membaca cuaca politik termutakhir, bahwa jika pembahasan RUU HIP dengan materi RUU seperti yang ada sekarang dilanjutkan, maka potensial memicu situasi sosial-politik yang kontraproduktif dan bakal mengeroposkan persatuan nasional.

Kepada media massa nasional dan internasional, Bambang Soesatyo (Bamsoet) pada Kamis (18/6/2020), seusai memimpin Rapat Pimpinan MPR RI mengungkapkan, MPR RI sepakat dengan Pemerintah untuk menghentikan sementara pembahasan RUU-HIP dan mendorong Pemerintah untuk memanfaatkan waktu penundaan ini untuk memberikan sosialisasi dan penjelasan kepada masyarakat luas tentang hal-hal yang menjadi kebutuhan hukum, apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh bangsa Indonesia.

Bamsoet menegaskan pandangan dan sikap MPR bahwa yang sebenarnya dibutuhkan oleh bangsa Indonesia saat ini sebuah undang-undang teknis yang berfungsi untuk mengatur bagaimana caranya negara melaksanakan fungsi dan tugas Sosialisasi dan Pembinaan Ideologi Pancasila oleh BPIP dan juga MPR RI. Bukan mengutak-ngatik lagi soal Pancasila sebagai ideologi yang telah menjadi konsesus kebangsaan dan kesepakatan para pendiri bangsa. Untuk urusan ideologi tidak boleh ada keragu-raguan. Diperlukan ketegasan sikap, jiwa patriot dan nasionalisme yang teguh untuk menutup pintu rapat-rapat bagi komunisme.

Mantan Ketua DPR RI ini memastikan, Pimpinan MPR meminta kepada Pemerintah dan DPR agar nama dan substansi hukum dari RUU Haluan Ideologi Pancasila, jika ingin diteruskan pembahasannya, harus diubah dan kembali kepada tujuan awal dan kebutuhan hukum tentang tugas pembinaan ideologi Pancasila dengan nama RUU Pembinaan Ideologi Pancasila, dengan menghapus seluruh tafsir-tafsir yang ada dalam pasal-pasal RUU tersebut yang telah menimbulkan polemik dan penolakan publik. “Bila diperlukan, MPR akan menyiapkan usulan rancangan penyempurnaan RUU HIP menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila melalui pengkajian di Badan Pengkajian MPR RI,” demikian Bamsoet, di Jakarta, Kamis (18/6/2020).

**

Mari cermati dengan seksama perihal arus polemik dan kontroversi yang berkembang di publik mengenai RUU HIP. Pihak-pihak yang menolak pembahasan RUU HIP umumnya mengemukakan dua hal yang menjadi faktor pemicu penolakan, yakni; Pertama, adanya terminologi atau istilah “trisila”, “ekasila”, “ketuhanan yang berkebudayaan” dalam batang tubuh RUU HIP (pasal 7 ayat 2). Tiga terminologi ini dipandang mengaburkan hakikat terminologi sekaligus makna “pancasila” sebagaimana yang telah diterima sebagai konsensus Para Pendiri Bangsa, dan termaktub dalam Alinea IV Preambule UUD1945. Sebagai konstitusi negara, UUD 1945 telah disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Para Pendiri Bangsa.

Kedua, tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV tahun1966 sebagai basis konsideran RUU HIP. Adapun TAP MPRS 25/1966 itu mengatur tentang "Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme".

Perihal faktor pemicu penolakan RUU HIP, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Assidiqie berpendapat bahwa salah satu pemicu RUU HIP ini karena semangatnya ingin kembali ke Orde Lama. Itu ditunjukkan pada materi RUU tentang Pancasila yang merujuk pada Pidato Soekarno 1 Juni 1945. Selain itu, TAP MPRS tentang pembubaran dan pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak dijadikan sebagai konsideran secara eksplisit pada RUU HIP (Tagar.id, 21 Juni 2020).

Sejauh ini, menjadi samar-samar dan semakin simpang siur pula informasi mengenai pihak mana yang terlebih dahulu mengusulkan bunyi terminologi “trisila”, “ekasila”, dan “Ketuhanan yang berkebudayaan” ke dalam batang tubuh RUU HIP. Soalnya, sejauh ini, tidak ada (atau mungkin belum ada?) kekuatan partai politik (fraksi) di DPR RI yang mengaku secara terbuka sebagai pengusul bunyi pasal 7 ayat 2 RUU HIP yang kontroversial itu. Yang sudah diketahui pasti oleh publik, bahwa RUU HIP ini merupakan usulan dari Badan Legislasi DPR RI dan telah dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020-2024 dengan status RUU inisiatif DPR, merujuk pada artikel Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (Jawa Pos, Senin 22 Juni 2020).

Hari-hari ini, merujuk pada pemberitaan media massa, reaksi penolakan itu datang dari organisasi keagamaan di antaranya Pengurus Pusat Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Reaksi penolakan juga datang dari para purnawirawan TNI-Polri mengingat ada irisan isu komunisme yang membayangi, mengingat tidak dimasukkannya TAP MPRS No 25 tahun 1966 sebagai konsideran RUU HIP.

Lebih dari itu, keberadaan RUU HIP dipandang oleh pihak penolaknya berpotensi mendegradasikan Pancasila yang secara filsafati kehidupan kebangsaan merupakan sumber dari segala sumber hukum, menjadi hanya sekedar sebagai perangkat undang-undang di bawah konstitusi negara, yang justeru telah memuat substansi dasar negara Pancasila. Akan halnya kekuatan politik yang mendukung keberadaan RUU HIP, publik tidak cukup mendapatkan asupan informasi yang memadai mengenai basis argumentasi dukungan terhadap RUU HIP pasca ramainya reaksi penolakan.

**

Dengan tetap mesti mencari tahu pihak mana yang paling awal memasukkan terminologi-terminologi sensitif termaksud, maka untuk sementara dapatlah dikatakan bahwa ada pihak-pihak yang membuat blunder dalam perumusan RUU HIP atau bersikap ‘keblinger’ –meminjam istilah yang pernah dipakai oleh Bung Karno--, sehingga terputuslah korelasi subtantif-prinsip antara “teks dan konteks” antara peristiwa lahirnya Pancasila mengacu pada Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, Peristiwa 22 Juni 1945 (Piagam Djakarta), dan Peristiwa 18 Agustus 1945 (konsensus Para Pendiri Bangsa yang termaktub pada alinea IV Preambule UUD 1945 dalam rangka merumuskan konstitusi negara).

Sehubungan dengan ini, diperlukan elaborasi mendalam dari para pemikir dan para sejarawan untuk “memurnikan” kembali substansi pidato Bung Karno sebagai penggali Pancasila, yang hari-hari ini telah mengalami ‘bias akut’ akibat keteledoran perumusan teks RUU HIP. Dalam diksi yang lain, jangan sampai elite-elite politik di era sekarang ini mendegradasikan posisi historis-moral dari Para Pendiri Bangsa yang telah mencapai konsensus yang amat mendasar yakni menjadikan Pancasila sebagai dasar negara.

Ada baiknya kita menyimak dan mencermati lagi teks utuh Pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 pada Sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang kala itu berlangsung di Gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang gedung Departemen/Kementerian Luar Negeri). Dalam Risalah Sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno memaparkan pemikirannya perihal Pancasila di hadapan para peserta Sidang BPUPKI. Saat itu, nama “Pancasila” yang dipilih oleh Bung Karno diakui Bung Karno sendiri terinsipirasi oleh simbol angka lima seperti yang ada pada jumlah Rukun Islam, Pandawa Lima, dan lain-lain (lebih lanjut, baca secara utuh teks Pidato 1 Juni Bung Karno, pada buku Risalah Sidang BPUPKI terbitan Sekretariat Negara RI tahun 1998).

Dalam alur pidatonya, Bung Karno kepada peserta Sidang BPUPKI mempersilahkan mau memilih memakai istilah yang mana; Pancasila, Trisila, atau Eka Sila. Kutipan kalimat Bung Karno berbunyi sebagai berikut: "....Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih; trisila, ekasila, ataukah pancasila?" Pada perkembangannya kemudian, Para Pendiri Bangsa telah bersepakat menggunakan terminologi Pancasila sebagai nama dari dasar negara, dan itu sifatnya telah final sebab muatan sila-sila Pancasila itu telah termaktub dalam Preambule UUD 1945.

Dengan demikian, bolehlah dikatakan bahwa kekeliruan fatal dari para pengusul HIP (entah pihak yang mana karena belum ada pengakuan terbuka kepada publik), adalah melakukan ‘manuver politik berjalan mundur’ dengan memasukkan terminologi “trisila”, “ekasila”, dan “ketuhanan yang berkebudayaan” dalam batang tubuh RUU HIP (pasal7 ayat 2). Keteledoran inilah yang memicu tafsir pemahaman atau opini di tengah masyarakat, seolah-olah Negara Republik Indonesia belum memiliki nama dari dasar negara. Padahal, Para Pendiri Bangsa telah mencapai konsensus atau bersepakat menggunakan “Pancasila” sebagai nama dari dasar negara.

Sekilas mengenai “trisila” dan “ekasila” untuk diperbandingkan dengan “pancasila”, merujuk pada pidato 1 Juni 1945, Bung Karno secara terang-benderang membedah ketiga istilah itu dalam konteks kesatuan yang utuh yakni kesatuan derivatif atau yang tidak terpisah-pisah. Halmana menjadi semacam pisau analisa yang dipakai Bung Karno untuk melukisakan isi jiwa dari bangsa Indonesia, yang pada akhirnya tersublimasi dalam watak “gotong royong” (ekasila), setelah sebelumnya terderivasi dari “trisila” yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan yang berkebudayaan. Tetapi, haruslah tetap diingat, atau tidak boleh dilupakan bahwa Bung Karno sendiri meminta kepada para peserta Sidang BPUPKI untuk memilih istilah mana yang akan dipilih; ekasila, trisila, atau pancasila!

**

Bertautan dengan subtansi apa yang oleh Bung Karno dibedah dalam pidato 1 Juni 1945 dengan istilah “pancasila”, “trisila”, dan “ekasila” sebagai satu kesatuan derivatif dalam konteks “philosofische grondslag” (fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang sedalam-dalamnya), pemerhati sejarah Flores dan gugus kepulauan Sumba dan Timor, Fransiskus Roi Lewar mengemukakan sebuah fakta empiris yang berlangsung di gugus kepulauan Flores, berkaitan dengan realitas sosial masyarakat setempat pada masa kolonial, yang dikenal dengan “Flores Soemba Timor Regeling/Conttrac“.

Mengapa fakta perihal “Flores Soemba Timor Regeling/Conttrac” ini perlu diangkat, sebab sangat mungkin inspirasi Bung Karno “menemukan” ide Pancasila beririsan pula secara psiko-sosial dan psiko-politis dengan hakikat nilai-nilai kehidupan masyarakat yang tumbuh di Flores dan gugus pulau sekitarnya di kala itu. Seperti diketahui, Bung Karno dibuang atau mengalami hukuman pembuangan oleh pemerintahan kolonial Belanda ke Ende, Flores selama empat tahun yakni tahun 1934 sampai 1938.

Pada awalnya, Flores Soemba Timor Regeling/Conttrac merupakan sebuah statblatb yang mengatur subsisdi dan hak serta kewajiban dari Pemerintah Belanda dengan Misi dan Zending. Awalnya berlangsung tahun 1913 dan diperbaharui tahun 1915 dengan nama “Flores Soemba Regeling”. Kemudian pada tahun 1916, hadirlah “Timor Regeling”. Regeling itu kemudian diperluas secara empiris di bidang kesehatan dan infrastruktur dasar lainnya. Flores Soemba Timor Regeling, juga merupakan sebuah model kebijakan publik dari pemerintahan Hindia Belanda kepada Misi Katolik dan Zending Protestan, yang mengurus kamaslahatan publik di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastrukur dasar yang memerdekakan manusia.

Kala itu hanya guru-guru Katolik dan tukang-tukang (bangunan) dari Pertukangan Misi Katolik yang mengajar di sekolah, termasuk di kampung-kampung Muslim dan bahkan membangun masjid untuk warga penghuni kampung. Raja-raja di Kerajaan Solor Watan Lema --Aliansi Kerajaan Islam di Flores-- seperti di Lamakera, Lamahala, Terong, Lohayong, Kedang, dan Labala, semua itu adalah perkampungan Muslim. Guru-guru yang mengajar di kampung-kampung Muslim tersebut adalah guru-guru Katolik, dan bahkan sampai era sekarang ini kampung –kampung tersebut tetap menjadi kampung Muslim seperti sedia kala.

Di kampung Lamakera, Pulau Solor misalnya gaji guru-guru Katolik dibayar secara barter dengan ternak kambing. Ada jiwa saling pengertian yang teramat mendalam pada fakta sosiologis ini. Guru-guru Katolik masuk ke kampung-kampung Muslim pun adalah karena diminta oleh Raja Solor Watan Lema. Raja meminta kepada Vedepura atau Perhimpun Sekolah Katolik di Flores agar mengirim guru-guru untuk mengajar di kampung Muslim, karena memang tidak ada sekolah guru di kerajaan tersebut.

Istimewanya, pengajaran dan pendidikan oleh guru-guru Katolik di kampung Muslim berlangsung untuk memerdekakan manusia dari kebodohan, dan bukan untuk mengganti agama warga Muslim menjadi Katolik! Sampai dengan saat ini, kampung-kampung Muslim tersebut tetaplah menjadi kampung-kampung Muslim. Demikian pun rumah sakit Katolik yang ada di Flores dengan para tenaga medisnya mengurus dan merawat secara telaten pasien-pasien di kampung Muslim. Sarana jalan, jembatan, pelabuhan, dan kapal motor yang dibangun dan dimiliki oleh Misi Katolik melayani semua masyarakat sekitar perairan NTT (Karesidenan Timor, atau Propinsi Sunda Kecil) tanpa ‘memerdekakan’ agama dari warga Muslim yang dilayani.

Pada suatu masa, masih di masa kolonialisme, seorang keturunan Raja Ende yang adalah Muslim mewakili Raja Ende memberikan secara cuma-cuma tempat (lahan) yang representatif kepada Misi Katolik, sehingga dapat dibangun sekolah, bengkel, dan rumah sakit. Alhasil, pada masa itu Ende menjadi menjadi kiblat atau pusat pendidikan dan pemerintahan di Flores. Puluhan tahun kemudian, tepatnya tahun 1968, dalam suatu peristiwa politik yakni Pemilihan Bupati Ende, Antoinus Labina seorang birokrat beragama Katolik --saat itu menjabat Sekretaris Daerah (Sekda) Ende-- yang sudah mendapat suara mayoritas sebagai Bupati Kabupaten Ende merelakan jabatannya itu kepada Raja Ende Arubusman untuk menjadi Bupati Ende. Sikap Antonius Labina itu merupakan refleksi sikap hormat dan balas jasa dari elite Katolik kepada Kerajaan Ende yang dulu sudah menyerahkan tanah kerajaan kepada Misi Katolik untuk pembangunan fasilitas umum seperti sekolah, bengkel, rumah sakit, dan lain sebagainya.

Kembali pada “teks dan konteks” terminologi pancasila, trisila, dan ekasila dalam Pidato 1 Juni 1945. Bagi para pihak yang menekuni ajaran-ajaran Soekarno (termasuk entitas yang mengidentikkan diri sebagai kaum Marhaenis), organisasi dan atau entitas politik yang haluan ideologi politiknya berkiblat pada pemikiran atau ajaran Soekarno (untuk tidak mengatakannya sebagai “Soekarnoisme”, mengingat dimensi tafsir atas istilah Soekarnoisme pun belumlah tuntas), perihal “trisila” dan “ekasila”, adalah hal yang sangat mungkin telah tuntas dipahami secara subtantif-prinsip. Tetapi, patut pula diingat bahwa di Nusantara ini, negeri tercinta Indonesia yang heterogen ini, heterogen pula haluan ideologi politik di dalam masyarakatnya. Sehingga pemahaman yang tuntas mengenai pemikiran atau ajaran Soekarno pada entitas ideologi politik yang berkiblat pada pemikiran atau ajaran Soekarno, belum tentu sama pula dengan pemahaman pada kelompok ideologi politik lainnya.

Dengan tetap menghormati kepelbagaian haluan ideologi-ideologi politik yang ada di tengah masyarakat Indonesia, apabila misalnya hendak diperbandingkan, maka akan sama pelik dan sulitnya sikap keberterimaan masing-masing pihak terhadap haluan ideologi politik yang berbeda. Komponen politik yang merasa tidak ada masalah psiko-sosial dan psiko-politis terhadap istilah “trisila” dan “ekasila”, tentunya tidak boleh memaksa komponen politik lainnya yang berbeda haluan ideologi politik, agar mesti satu pandangan menerima istilah “trisila” dan “ekasila”.

Begitupun dalam konteks lainnya yang sepadan, komponen politik yang misalnya ingin kembali kepada Piagam Djakarta, tentunya tidak boleh memaksa komponen politik lainnya yang berbeda haluan ideologi politik, agar mesti satu pandangan menerima kembali Piagam Djakarta. Situasi probelamatik-ideologis seperti inilah yang sesungguhnya telah dapat diatasi oleh konsensus Para Pendiri Bangsa dengan menyepakati penggunaan nama Pancasila sebagai dasar negara. Jadi, apa manfaatnya RUU HIP jika keberadaannya bertendensi mundur ke masa lalu dan memicu potensi perpecahan bangsa atau persatuan nasional?

Pada titik kondisonal inilah, di tengah realitas heterogenitas atau kepelbagaian ideologi politik (baca: politik aliran) masyarakat Indonesia, yang secara sosiologisnya kemajemukannya bersifat given, maka diperlukan kedewasaan cara pandang keindonesiaan yang tuntas dari seluruh elemen bangsa, demi menguatkan dan mengokohkan kohesi kebangsaan berdasarkan Pancasila. Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia tidaklah bergerak mundur ke masa lalu, melainkan memandang ke cakrawala masa depan untuk meraih kejayaan bangsanya.

Bercermin pada realitas kekinian, baiklah kiranya bangsa Indonesia memetik “hikmah kolektif” dari pengalaman traumatik kehidupan berbangsa dan bernegara di masa lalu, yakni pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi, di mana praksis Pancasila sama-sama pernah mengalami deviasi atau penyimpangan diantaranya dari fakta konflik frontal ideologi politik, praktek korupsi-kolusi-nepotisme (KKN), dan pelanggaran hak azasi manusia (HAM). Halmana agar seluruh elemen bangsa dapat selalu seiring-sejalan memacu derap langkah pembangunan nasional, demi mencapai tujuan bernegara sesuai cita-cita kemerdekaan negara proklamasi 17 Agustus 1945, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika! *

*) Penulis adalah Sekjen Presidium GMNI Periode 1999-2002, kini Tenaga Ahli Ketua MPR RI.

 

 

Artikel Terkait