Opini

BAKAMLA Sebagai Pengaman Perairan Nasional di Masa Damai

Oleh : Rikard Djegadut - Jum'at, 17/07/2020 10:30 WIB

Bakamla RI sedang melakukan patroli

Oleh: Muhammad Ali Haroen, Pengamat masalah Pertahanan dan mantan Redaktur Majalah Teknologi Strategi Militer

Opini, INDONEWS ID - Negara Kepulauan Republik Indonesia memiliki wilayah perairan yang lebih luas dibandingkan luas daratan dengan garis pantai ke-2 terpanjang setelah Canada. Letak secara geografis sangat strategis dengan empat jalur laut yang padat atau disebut ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia). Memiliki selat-selat yang sangat ramai dilalui berbagai kapal-kapal niaga seperti Selat Sunda, Selat Malaka, Selat Lombok, dan seterusnya.

Selat Malaka merupakan SLOC (Sea Lanes of Communication) perdagangan dunia yang juga 
merupakan choke points strategis bagi proyeksi armada angkatan laut negara-negara besar dalam 
kehadirannya ke berbagai penjuru dunia. 

Wilayah perairan yang sangat luas dan strategis tersebut memerlukan pengamanan yang kuat, kontinyu dan berkesinambungan. Menganut mashab internasional untuk pengamanan wilayah 
teritorial perairan, untuk ancaman yang sifatnya militer atau infiltrasi yang mengarah kepada 
konflik sampai peperangan, peran pengamanan dan pertahanan menjadi tugas pokok dari 
Angkatan Laut atau TNI-AL. 

Sedangkan untuk pengamanan dimasa damai terhadap ancaman pelanggaran hukum dan kriminalitas di perairan, menghadapi bencana di perairan, disepakati ditangani oleh sebuah badan operasional pengamanan laut/perairan dari instansi sipil yang di kalangan internasional disebut sebagai "Sea and Coast Guard". 

Hal ini juga di tekankan oleh pihak internasional seperti IMO atau International Maritime Organization, yang merupakan badan khusus dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengurusi masalah keamanan dan keselamatan pelayaran intnasional.

Bentuk Ancaman Keamanan di Laut

Lembaga Ketahanan Nasional atau Lemhanas menggolongkan ancaman keamanan di laut 
sebagai berikut:

Pertama, ancaman kekerasan (violence threat); ancaman dengan menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisasi, antara lain: pembajakan, perompakan, aksi teror dan sabotase.

Kedua, ancaman terhadap sumber daya laut (natural resources tribulation); berupa pencemaran dan pengeusakan terhadap ekosistem laut dan konflik pengelolaan sumber daya laut yang dipolitisasi dan diikuti dengan penggelaran kekuatan militer.

Ketuga, ancaman pelanggaran hukum (law transgression threat); yaitu tidak dipatuhinya hukum 
nasional maupun internasional yang berlaku diperairan antara lain illegal logging, illegal fishing, penyelundupan.

Keempat, ancaman navigasi (navigational hazard); yaitu ancaman yang ditimbulkan oleh kondisi geografis maritim dan hidrografi akibat kurang memadainya sarana bantu navigasi sehingga dapat membahayakan pelayaran.

Bentuk-bentuk ancaman seperti tersebut diatas antara lain yang menurut IMO perlunya 
keberadaan peran instansi sipil untuk menjaga keamanan maritim. Indonesia sebagai negara 
kepulauan dan negara maritim telah masuk kedalam IMO dan turut meratifikasi berbagai perjanjian internasional tentang kemaritiman termasuk konvensi-konvensi IMO dan beberapa lainnya seperti berikut:

Ratifikasi Perjanjian Internasional untuk Pengamanan Teritorial Laut/Perairan, diantaranya Convention of the Establishment of the International Maritime Consultative Organization, 1984 (IMO Convention '84) berikut amandemennya.

International Convention of the Safety of Life at Sea 1974 (SOLAS 74). International Code of Safety for High Speed Craft (HSC Code). International Convention on Load Lines, 1966 (LOADLINES Convention 66). International and Port Security Code (ISPS Code).

Convention on the International Regulations for Preventing Collisions at Sea, 1972 (COLREG 
Convention 72). Internasional Convention on Standard of Training Watchkeeping for Seasafers, 1978 (STCW Convention 78), dsb.

Pembentukan Badan Keamanan Laut Nasional (BAKAMLA) sebagai negara kepulauan yang sangat besar, Indonesia termasuk agak telat membentuk Badan Keamanan Laut. Sebelumnya, telah ada sebuah Badan Koordinasi yang disebut sebagai Bakorkamla yang dibentuk pada tahun 1972 dan kemudian diperkuat melalui Perpres RI No. 81 Tahun 2005 Tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut. 

Sesuai dengan perkembangan situasi, dirasa perlu untuk dilakukan pengaturan kembali BAKORKAMLA ini, maka pada tahun 2003 melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Nomor Kep. 05/Menko/Polkam/2/2003 dibentuk Kelompok Kerja Perencanaan Pembangunan Keamanan dan Penegakan Hukum di Laut. 

Hasil dari buah pemikiran dari Kelompok Kerja tersebut adalah terbitlah Peraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun 2005 (29 Desember 2005) Tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut (BAKORKAMLA) sebagai dasar hukum negara.

Sebagai negara yang berdaulat dan mengikuti tatanan internasional, konsekuensi sebagai anggota 
IMO, dan aturan Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, akhirnya dibentuk Badan khusus untuk operasional pengamanan wilayah perairan/laut yurisdiksi nasional di masa damai dengan pengukuhan Badan Keamanan Laut (BAKAMLA) berdasar payung hukum Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 dan melalui Peraturan Presiden RI No. 178 Tahun 2014 Tentang BADAN 
KEAMANAN LAUT atau BAKAMLA. 

BAKAMLA merupakan lembaga pemerintah non-kementerian yang bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menko Polhukam.
Dalam operasionalnya, BAKAMLA dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, 
Hukum dan Keamanan. Sesuai dengan ketentuan Perpres tersebut, BAKAMLA bertugas untuk 
melakukan patroli keamanan dan keselamatan diwilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi NKRI.

Sebagai gambaran, luas wilayah tanggung jawab yang harus diawasi oleh BAKAMLA meliputi 
luas perairan nusantara atau archipelagic waters seluas 2,8 juta km persegi, teritorial laut seluas 
0,3 km persegi, dan luas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 2,7 km persegi.

Guna pendukung kegiatan operasionalnya, BAKAMLA dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang mirip dengan Angkatan Laut, utamanya adalah kapal-kapal patroli dari yang berukuran kecil hingga yang besar (offshore patrol vessel atau OPV), pesawat udara dari berbagai jenis, 
persenjataan sampai tingkat terbatas, peralatan keselamatan dan penyelamatan di perairan. 

Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah sarana komando dan kendali di darat (Puskodalops), serta pos-pos depan (staging base), mengingat situasi geografis perairan sebagai negara kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau besar dan ribuan pulau-pulau kecil.

Dengan kehadiran BAKAMLA ini maka pengamanan perairan/laut yurisdiksi nasional menjadi 
lebih leluasa secara internasional. Karena BAKAMLA bukan organisasi militer yang pengerahannya untuk perang, tetapi untuk pengamanan kasus-kasus pelanggaran hukum sipil di perairan.

Alur Laut Kepulauan Indonesia sejak Merdeka tahun 1945, untuk wilayah teritorial kelautan Indonesia menganut prinsip - prinsip hukum laut peninggalan Belanda yaitu Territoriale Zee En Maritime Kringen Ordonanrie 1939, Staatsblad 1939 No. 442. Lalu ada Deklarasi Djuanda yang menetapkan kedaulatan secara bulat dan penuh terhadap pulau dan laut dan menyatakan seluruh kepulauan Indonesia adalah 
merupakan suatu kesatuan. 

Deklarasi Djuanda dilegalisasi dengan Perpu No.4/Prp/1960 (PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG Nomor 4 Tahun 1960 Tentang PERAIRAN INDONESIA), dimana dalam Pasal 1 angka (1) dan (2) secara jelas menetapkan wilayah teritorian Negara Kesatuan Republik Indonesia baik laut wilayah Insonesia beserta perairan pedalaman Indonesia. 

Lalu dikeluarkan lagi Undang -  Undang No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia untuk 
menggantikan UU No.4/Prp/1960, dan PP No.61 Tahun 1998 tentang Daftar Koordinat Titik-titik 
Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di Laut Natuna. Kedua kebijakan tersebut merefleksikan implementasi kebijakan kelautan Indonesia sesuai konvensi internasional.

Alur Laut Kepulauan Indonesia atau ALKI merupakan alur laut yang ditetapkan sebagai alur untuk pelaksanaan Hak Lintas Laut Kepulauan berdasarkan konvensi hukum laut internasional. Alur ini merupakan alur untuk pelayaran dan penerbangan yang dapat dimanfaatkan oleh kapal 
laut atau pesawat udara pihak asing diatas laut/perairan tersebut untuk melaksanakan pelayaran dan penerbangan damai dengan cara normal.

Penetapan ALKI ini dimaksudkan agar pelayaran dan penerbangan internasional dapat berjalan 
secara terus menerus, langsung dan secepat mungkin, tidak terhalang oleh perairan dan ruang 
udara teritorial Indonesia. ALKI ditetapkan untuk menghubungkan dua perairan bebas, yaitu 
Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik.

Teritorial perairan nasional Indonesia di bagi dalam tiga ALKI, yaitu: ALKI I melintasi Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa, Selat Sunda, Samudera Hindia. ALKI II melintasi Laut Sulawesi, Selat Makasar, Laut Flores, Selat Lombok. ALKI III melintasi Samudera Pasifik, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, Laut Sawu, Samudera Hindia.

Dengan adanya berbagai peraturan Negara serta konvensi Internasional atas wilayah teritorial perairan di Indonesia ini, adalah menjadi tugas tanggung-jawab BAKAMLA untuk menjamin 
keselamatan pelayaran baik lokal maupun internasional, serta menjaga keamanan di perairan 
pada masa damai.

Adalah suatu tugas yang tidak ringan bagi suatu badan yang masih sangat baru untuk 
menjalankan rugas pokok dan fungsinya. Akan banyak permasalahan yang dihadapi oleh 
BAKAMLA sejak berdiri hingga kedepannya, baik dari penataan organisasi, pemenuhan kebutuhan personalia dan petalatan serta penyempurnaan standar prosedur operasionalnya. 

Faktor dukungan anggaran juga akan menjadi sebuah kendala yang tidak kecil. Untuk melaksanakan tugas pokoknya saja akan diperlukan sejumlah kapal patroli serta awak kapal terlatih yang tidak sedikit.

Semoga BAKAMLA mampu tampil sebagaimana yang diharapkan untuk menjaga perairan 
teritorial nasional dengan baik.*

Artikel Terkait