Opini

Sejumlah Peluang Ditengah Pandemi

Oleh : luska - Sabtu, 15/08/2020 19:40 WIB

Asri Hadi Pemred Indonews.id bersama Marsekal purn Chappy Hakim

Menata Ulang Tata Kelola Perhubungan Udara Nasional

Jakarta, INDONEWS.ID - Indonesia adalah sebuah negara yang luas sekali dan terletak pada posisi yang sangat strategis di permukaan bumi ini. 

Sangat strategis, karena Indonesia berada pada posisi yang diapit dua samudera dan dua benua. Keistimewaan lain dari Indonesia adalah, negeri ini merupakan sebuah negara yang terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil terpencar serta tersebar di sepanjang garis Khatulistiwa. Selain sangat luas, dan berujud kepulauan pada posisi silang antar 
benua dan samudera, Indonesia sebagian besar juga terdiri dari wilayah yang berpegunungan. Dengan karakteristik yang seperti itu, maka 
jejaring perhubungan udara menjadi sebuah moda transportasi yang sangat dibutuhkan dalam memenuhi hajat hidup rakyat banyak disamping sebagai sarana utama bagi dukungan adminstrasi logistik dalam mekanisme kerja keseharian roda pemerintahan. Perhubungan Udara telah menjadi salah satu alat utama pemersatu bangsa.

Desember 2019 telah muncul wabah serius yang cukup berbahaya di Wuhan, dikenal dengan nama Covid 19 dan telah menyebar dengan cepat ke seantero jagad. Bulan Maret WHO (World Health 
Organization) telah menetapkan Covid 19 sebagai Global Pandemi. 

Langkah yang dilakukan oleh banyak negara adalah memberlakukan Lockdown, menutup hubungan antar negara dan Karantina bagi mereka yang tertular maupun yang dicurigai tertular covid 19. Berkembanglah pula prosedur baru yang disebut sebagai Protokol Kesehatan Covid 19 yaitu Pakai Masker, Jaga Jarak dan Sering Cuci Tangan (PJS). Ditambah lagi dengan anjuran pemerintah untuk bekerja dari rumah atau WFH, Work From Home. Nah, dengan diberlakukannya Lockdown, Karantina 
dan protokol kesehatan PJS serta WFH, maka serta merta dengan sendirinya menurunkan secara drastis pergerakan manusia yang menggunakan moda transportasi udara.

Demikianlah maka sektor yang paling parah dari dampak penyebaran Covid 19 ini adalah Industri 
Penerbangan. Lebih spesifik adalah Maskapai Penerbangan dan Pabrik Pesawat Terbang. Tidak bisa dihindari maka yang turut merasakan dampak ikutannya adalah sektor pariwisata, bisnis Hotel dan Restoran serta semua yang berhubungan erat dengan sistem transportasi udara antara lain Bandara, badan pelayanan lalulintas udara dan Bengkel Pesawat Terbang.

Pada intinya adalah bahwa Air Traffic yang selama ini tumbuh pesat telah menurun dengan drastis. Pertumbuhan penumpang yang telah meningkat dalam dua dekade terakhir sampai menyebabkan 
tertinggalnya kesiapan infrastruktur dan pembinaan SDM Aviasi, sekarang ini benar-benar anjlok. Adegan ini sungguh-sungguh menunjukkan tentang bagaimana seolah-seolah laju pertumbuhan 
penumpang “berhenti” untuk memberikan waktu bagi kesiapan yang matang dari pengelolaan infrastruktur penerbangan dan kesiapan SDM 
yang mumpuni. Pertumbuhan penumpang yang anjlok, jelas-jelas telah membuat banyak sektor di Industri Penerbangan dan sektor terkait lainnya menjadi “korban” dan “menderita”. Akan tetapi kurang banyak disadari bahwa dengan “rendahnya” jumlah lalulintas penerbangan maka terbuka sejumlah peluang untuk memperbaiki dunia penerbangan nasional yang belakangan ini banyak menghadapi masalah serius.

Dengan jumlah lalulintas penerbangan yang menjadi “sangat sedikit”, maka terbuka lebar bagi penataan ulang jejaring perhubungan udara yang dapat difokuskan bagi pengembangan pariwisata dalam 
negeri. Hal ini seiring dengan upaya untuk memulihkan kembali beberapa daerah wisata terkemuka seperti Bali misalnya.

Demikian pula halnya dengan tindak lanjut dari Instruksi Presiden mengenai pengelolaan FIR (Flight Information Region) Singapura, maka sekarang
adalah waktu yang tepat untuk menuntaskannya. Alasan tentang International Aviation Safety berkait dengan padatnya lalulintas udara dikawasan tersebut menjadi sangat tidak relevan lagi, karena Air Traffic yang sudah sangat menurun jumlahnya, tidak lagi memerlukan SDM dan Peralatan yang sophisticated, seperti yang selama ini selalu saja di 
dramatisasi sebagai alasan.

Persoalan FIR Singapura dengan jumlah lalulintas penerbangan yang “sedikit” telah menjadi porsi urusannya Direktorat Jenderal Perhubungan Udara antar kedua negara untuk menyelesaikannya karena isu yang dihadapi telah menjadi isu yang sangat kecil porsinya untuk dibicarakan oleh banyak pihak setingkat Kementrian. Hal yang sama terjadi pada kasus negara Kamboja yang dengan mudah berhasil mengelola kembali wilayah udara kedaulatannya setelah lama dikelola oleh Thailand.

Sebuah persoalan yang secara prinsip mengacu kepada Hukum Udara Internasional dan cukup diselesaikan pada tingkat Direktorat Jenderal saja, dalam hal ini DGCA (Directorate General of Civil Aviation) secara bilateral.

Jumlah kepadatan penerbangan yang turun ketingkat yang sangat rendah, telah pula memberikan kesempatan bagi pengelolaan bandara atau aerodrome di dalam negeri untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan peruntukannya, internasional dan atau domestik. Jelas harus 
diatur mana Bandara yang sifatnya merupakan ruang terbuka publik untuk keperluan penerbangan sipil komersial dan Pangkalan MIliter yang sifatnya terbatas atau tertutup, khusus untuk keperluan 
penerbangan yang berkait dengan misi pertahanan dan keamanan negara. Dengan jumlah penerbangan sipil komersial yang sangat sedikit jumlahnya, maka terminologi “Optimalisasi Pangkalan Angkatan 
Udara Halim Perdanakusuma” sebagai dalih memindahkan “over 
kapasitas Bandara Cengkareng” telah kehilangan “makna”. Seluruh penerbangan sipil komersial saat ini “lebih dari cukup” untuk dapat beroperasi dengan nyaman di Cengkareng. Ditambah lagi dengan 
sudah tersedianya Bandara Kertajati di Jawa Barat yang sangat megah. 

Pengaturan ulang dalam pengelolaan Maskapai Penerbangan saat ini juga menjadi lebih mudah. Indonesia sejauh ini sangat memerlukan 
setidaknya Maskapai Penerbangan pembawa bendera, duta bangsa yang menghubungkan kota-kota besar di dalam dan luar negeri. 

Maskapai Penerbangan yang melayani rute penerbangan perintis ke pelosok tanah air dan wilayah perbatasan negara. Maskapai 
Penerbangan Charter dan Maskapai Penerbangan Kargo. Ditengah badai Pandemi Covid 19, ternyata kebutuhan akan penerbangan kargo dan charter telah menjadi lebih dominan dibanding jenis penerbangan lainnya. Penerbangan charter bersama dengan moda penerbangan terjadwal akan mudah untuk diprioritaskan dalam upaya meningkatkan 
pariwisata domestik bekerjasama dengan pemerintah daerah dan Kementrian Pariwisata ditingkat pusat.

Terakhir, setelah dihapusnya rencana membangun pesawat N-245 dan R80 dari daftar Proyek Strategis Nasional, maka sebenarnya sekarang inilah saat yang tepat untuk merencanakan kembali dengan 
lebih seksama tentang pilihan jenis pesawat terbang yang akan diprioritaskan untuk diproduksi di dalam negeri. Indonesia dengan karakteristik negara kepulauan dengan kawasan yang berpegunungan 
sangat membutuhkan kemampuan membuat sendiri pesawat terbang bagi kebutuhan perhubungan dalam negeri. Tersedia waktu yang 
cukup untuk merencanakan ulang menyiapkan SDM bidang Aviasi untuk fokus dalam industri manufaktur pesawat terbang dan juga  mempersiapkan peralatan dasar dari kebutuhan sebuah pabrik pesawat terbang.

Pesawat N-219 kiranya masih relevan dengan kebutuhan saat ini yang pada saatnya nanti dapat dilanjutkan dengan mengembangkan pesawat sejenis N-245 sebagai “aircraft of choice” bagi perhubungan udara di bumi Nusantara. Setidaknya, dengan menurun drastis lalulintas penerbangan 
global termasuk di Indonesia sebagai akibat Pandemi Covid 19 telah terbuka lebar beberapa peluang emas dalam menata ulang manajemen 
penerbangan nasional. Lalu lintas penerbangannya sendiri, pengelolaan Bandara (Internasional – Domestik – Sipil – Militer), pengembangan penerbangan domestik untuk sektor pariwisata, 
pengorganisasian Air Traffic Control berkait dengan FIR Singapura dan sektor strategis Industri Pabrik Pesawat Terbang menjadi jauh lebih mudah untuk ditata kembali dalam situasi yang seperti ini. Tersedia waktu yang cukup selama “jeda” Global Pendemi Covid 19. Mudah-mudahan.

Jakarta 14 Agustus 2020
Chappy Hakim
Pusat Studi Air Power Indonesia

TAGS : Chappy Hakim

Artikel Terkait