Opini

Indonesia dan Semangat Memperkuat Desa

Oleh : indonews - Senin, 17/08/2020 23:30 WIB

Penggiat Desa, Astra Tandang.(Foto:Istimewa)

Oleh: Astra Tandang*)

INDONEWS.ID - UU Desa No.6 tahun 2014 dapat dilihat sebagai peraturan yang cukup progresif dan revolusioner dari sejumlah produk peraturan tentang desa dari sejumlah rezim kekuasaan sebelumnya.

UU Desa yang baru diterbit tampak sebagai upaya penebusan atau – meminjam istilah Zkaria (2004:8) – sebagai ‘utang yang harus dibayar’ terhadap segala bentuk marginalisasi dan korporatisasi terhadap desa yang dilakukan melalui produk peraturan oleh rezim sebelumnya.

Setidaknya dari rezim orde baru pengaturan tentang desa termuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa yang menempatkan desa dalam pengertian teritorial semata dengan pemerintahannya diterjemahkan sebagai unit administrasi di bawah camat.

Kewenangan pemerintahan desa juga dibatasi sekedar “menyelenggarakan rumahtangga”, bukan lagi “mengurus dan mengatur rumahtangga” sebagaimana yang dalam bahasa Belanda dijelaskan sebagai regeling en uituouring van et aingen huishouden.

Pada masa ini desa berdiri tanpa otonomi dan erat diposisikan sebagai obyek eksploitasi sumber daya. Sealin itu desa kehilangan praktik dan pranata-pranata lokal akibat penyeragaman/ regrouping, birokratisasi desa, pengkondisian masyarakat desa yang anomie, apatis, dispartisipatif, inferior, hilangnya praktik-praktik pengetahuan dan teknologi lokal yang ramah lingkungan dan lain sebagainya.

Sinopsis “desa orde baru” kemudian dirangkum dalam satu metafora, yakni sebagai ranting patah yang dipaksakan tumbuh pada ladang pembangunan yang direncanakan rezim `orde baru` (Zakaria, 2000; 2004; Sujito, 2013).

Berlanjut ke masa pasca orde baru atau reformasi, desa tetap mengalami jepitan regulasi. Setidaknya ada dua aturan pokok yang memuat pengaturan desa diantaranya: UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004.

Dalam pelaksanaannya, kedua peraturan ini juga sama-sama mereduksi desa dari sudup pandang sebagai pemerintahan semata, dan desa berada dalam sistem pemerintahan kabupaten/ kota.

Selain itu, dalam hal urusan yang menjadi kewenangan desa (pasal 206 UU No. 32/ 2004) didominasi oleh kewenangan yang bersumber dari penyerahan dan tugas pembantuan dari pemerintah supra-desa yang kemudian membuat kedua peraturan ini tampak menerapkan asas ‘residualitas’.

Fungsi pemerintah desa yang kebanyakan sebatas menjalankan tugas pembantuan dari pemerintah supra-desa ini kemudian membuat pemerintah desa itu sendiri menjadi kaya kewajiban tetapi miskin kewenangan, karena lebih banyak menjalankan tugas dari atas ketimbang mandat dari rakyat.

Hal ini yang kemudian membuat Eko, dkk (2014:12-22) menggambarkan pemerintahan desa dalam konsepsi kedua peraturan di atas sebagai pemerintahan semu (pseudo government), dan bahkan lebih buruk lagi sebagai “organisasi korporatis”.

Namun, kini disaat negara melemah akibat pandemi Covid-19 desa tetap berdiri sebagai the last resort melalui kerja-kerja solidaritas dan gotong royong. Masyarakat kota yang mengalami transformasi menjadi market citizen lalu menjadi ringkih ketika di PHK karena perusahan-perusahan industri banyak yang ambruk dan akhirnya kembali ke desa sebagai alternative terakhir untuk tetap bisa mempertahankan hidup.

Pelajaran desa yang berfungsi sebagai the last resort bisa kita telusuri pada masa kemerdekaan Indonesia, tahun 1945. Pada masa ini kerap disebut sebagai momentum dekolonialisasi desa yang diwarnai dengan nasionalisme, defeodalisasi yang megakui dan menghormati masyarakat hukum adat sekaligus bervisi pada kedaulatan rakyat.

Meski pada akhrinya, proses dekolonialisasi desa itu tidak terjadi, salah satunya akibat gejolak politik yang lebih beororientasi pada integrasi dan visi kebangsaan. Namun, ditengah kondisi negara yang dirundung berbagai persoalan, desa menjadi kuat, mandiri dan berdikari.

Desa berdikari bukan hanya dalam bentuk longgarnya control negara, tetapi secara konkret (desa-desa di Jawa) mempunyai kontribusi penting terhadap republic, mulai era perjuangan revolusi fisik, era pertarungan politik demokrasi parlementer, sampai era land reform (Eko 2019: 14).

Nah, yang terus menjadi soal hari ini adalah, ketika kuasa modernis developmentalis orde baru yang kemudian beriringan dengan masifnya gelombang neoliberlisme saat ini (reformasi) terus memaksa desa untuk berhenti berdikari.

Berbagai diskurus dan proyek pembangunan terus mengepung desa bahkan berhasil mengkonstruksi imajinasi desa dengan kemiskinan, keterbelangkangan, kebodohan, primitive yang harus ditolong dengan berbagai siasat pembangunan. Dengan keangkuhannya, rezim developmentalisme dan modernis beroperasi dengan dalil untuk menyelesaikan semua persoalan yang ada di desa dengan memaksa desa untuk bergerak dari kondisi tradisional ke modern.

Alhasil, desa bukan lagi sebagai village yang mulanya sebagai kesatuan masyarakat yang otonom, namun beralih menjadi rural, sebuah objek beroprasinya berbagai peraturan, program pembagunan yang disepuh dengan praktik-praktik eksploitasi. Merampas hasil bumi, menggerogoti wilayah, menjarah hutan, masyrakat dan merampas kedaulautan adat yang ada di desa.

Disinilah jepitan korporasi, regulasi dan birokrasi terhadap desa terus menguat. Tetapi yang menjadi ironi adalah ketika desa dibiarkan berjuang tumbuh dan berkembang ditengah ketakberdayaannya dengan tetap menaruh rasa optimisme dihadapan UU Desa yang hadir dengan berbagai kelemahan dan kekurangannya.

Hingga di usia ke-75 Negara Indoenesia ini, desa terus bertarung dengan kuasa modernis-developmentalis, yang membangun sambil merusak desa sekaligus memajukan sambil melemahkan desa. Namun, kehadiran UU Desa bisa menjadi salah satu capaian dari para pejuang yang selalu membela desa.

Ditandai dengan adanya dua asas kunci yang dijadikan landasan pemikiran yang dipakai dalam UU Desa ini dalam mendudukkan desa dan mengatur relasinya dengan negara adalah ‘rekognisi’ dan ‘subsidiaritas’.

Melalui asas rekognisi, negara diharuskan untuk mengakui identitas partikular tiap desa, hak asal-usul (bawaan maupun prakarsa lokal yang berkembang) wilayah, pemerintahan, peraturan maupun pranata lokal, lembaga-lembaga lokal, identitas budaya, kesatuan masyarakat, prakarsa desa, maupun kekayaan desa.

Selanjutnya melalui asas subsidiaritas, desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri berdasarkan pada prakarsa masyarakat dan hak asal-usulnya yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perdebatan dan peraturan politik pengetahuan atas desa terus bergulir dan kian massif menjadi diskurusu public. Karena itu salah satu cara agar memperkuat desa adalah dengan melawan agen-agen neoliberal, politisi pragmatis, konsultan, akademisi ngehek yang berada dalam barisan para pendukung negara modernis-developmentalis.*

*)Penulis adalah Penggiat Desa dan Tinggal di Yogyakarta.

 

 

Artikel Terkait