Nasional

ICW Minta Mahkamah Agung Lakukan Pengawasan Sidang PK Kasus Korupsi

Oleh : Ronald - Kamis, 01/10/2020 19:35 WIB

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana. (Foto : Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Indonesia Corruption Watch meminta dilakukannya pengawasan dalam persidangan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA).

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana meminta kepada Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin mengevaluasi kinerja bawahannya yang kerap mengurangi hukuman koruptor. 

"Khususnya dalam kasus perkara Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). KPK harus mengawasi persidangan persidangan di tingkat PK (Peninjuan Kembali) di masa mendatang," kata Kurnia Ramadhana dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (1/10/2020). 

Dalam kesempatan ini, ICW juga meminta keoada Ketua Mahkamah Agung (MA) Muhammad Syarifuddin agar segera melakukan evaluasi terkait penempatan maupun kinerja hakim-hakim dalam persidangan PK itu.

"Masih banyak hakim yang menjatuhkan vonis ringan dalam kasus kasus korupsi," kata dia.

Tapi, KY juga tidak dapat langsung memberikan sanksi terhadap hakim bila melakukan pelanggaran dalam persidangan.

Menurut Kurnia, ada dua dampak buruk yang timbul akibat putusan PK yang meringankan koruptor. Pertama, tidak akan ada efek jera dan kedua kinerja penegakan hukum dalam hal ini KPK akan menjadi sia-sia.

Ia juga meminta Komisi Yudisial untuk aktif terlibat memantau potensi pelanggaran oleh hakim yang menyidangkan perkara korupsi.

"(Supaya KY, red) melihat dan mengawasi jika ada potensi dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim dalam menyidangkan kasus perkara korupsi," kata Kurnia.

Dia sangat menyoroti keringanan putusan PK dikabulkan MA terhadap terpidana korupsi Anas Urbaningrum lantaran sudah terang benderang telah meruntuhkan, sekaligus mengubur rasa keadilan masyarakat. Sebab, kata dia, masyarakat adalah sebagai pihak paling terdampak praktik korupsi.

“Kesimpulan (ICW) itu bukan tanpa dasar, sepanjang 2019 menunjukkan bahwa rata-rata hukuman untuk pelaku korupsi (koruptor) hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Jadi, bagaimana Indonesia bisa bebas dari korupsi jika lembaga kekuasaan kehakiman saja masih menghukum ringan para koruptor?,” tandas Kurnia. (rnl)

Artikel Terkait