Opini

Terorisme di Tengah Pandemi Covid-19

Oleh : indonews - Jum'at, 02/10/2020 19:20 WIB

Toni Ervianto, alumnus pasca sarjana Kajian Stratejik Intelijen (KSI) Universitas Indonesia (UI). (Foto: Ist)

Oleh : Toni Ervianto

INDONEWS.ID -- Mewabahnya Covid-19 di kurang lebih 193 negara tidak berbanding terbalik dengan menurunnya ancaman aksi teror di beberapa negara. Bahkan, di tengah pandemic Covid-19, ancaman teror masih menunjukkan eskalasi yang memerlukan Langkah koordinasi, komunikasi, kerjasama dan kolaborasi antar negara untuk mengantisipasinya.

Sebagaimana lazimnya teroris di negara lain yang menderita kekurangan dana, pandemi corona tidak membuat kelompok teror di Asia Tenggara mengendur. Meskipun jumlah insiden terkait teror tahun ini telah turun ketimbang masa sebelumnya, ada sejumlah operasi intensitas rendah (LIO) di seluruh Asia Tenggara, mulai dari pemenggalan kepala hingga serangan terisolasi terhadap polisi dan personel militer, tulis Siddharth Anil Nair, peneliti South East Asia Research Programme (SEARP) IPCS di Eurasia Review.

Pengalaman di Myanmar tetap merupakan pengalaman yang tidak biasa, dengan pertemuan berskala besar yang intens antara Tatmadaw dan kelompok-kelompok pemberontak, khususnya yang dimiliki Aliansi Persaudaraan.

Serangan terhadap pos polisi di Kalimantan Selatan di Indonesia, atau penembakan yang menewaskan dua polisi di Sulu, Filipina, merupakan risiko rendah. Namun, keduanya merupakan cara yang menguntungkan untuk mempertahankan eksistensi di mata pihak berwenang dan warga sipil.

Menanggapi bangkrutnya dana teror global, kelompok-kelompok ini kemudian memutar otak melakukan penggerebekan di desa, kapal kargo, dan konvoi senjata militer. Lainnya di perkotaan, mereka lebih menargetkan bank lokal dan lembaga keuangan lainnya. Milisi yang lebih kecil mencari sumber pendapatan utama dengan penculikan dan taktik tebusan.

Sementara itu, Badan Kontra Terorisme Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan saat ini kelompok teroris Negara Islam (ISIS) masih bergerak meski berada dalam situasi pandemi virus corona (Covid-19). Mereka memperkirakan ada lebih dari 10 ribu milisi ISIS yang kembali menyatukan kekuatan di perbatasan Irak dan Suriah.

Menurut laporan Kepala Badan Kontra Terorisme PBB, Vladimir Voronkov (7/9/2020), kepada Dewan Keamanan PBB, para milisi itu terpencar menjadi kelompok-kelompok kecil. Namun, ada tanda-tanda mereka kembali gencar melakukan serangan meski tidak sebesar sebelumnya. Para simpatisan dan milisi ISIS itu juga kembali bergerak di negara-negara dekat zona konflik.

Voronkov menyatakan pola serangan acak yang dilakukan seorang diri oleh milisi dan simpatisan ISIS masih menjadi ancaman. Dia mengatakan, propaganda ISIS secara daring juga tidak surut di tengah pandemi. Selain itu, Voronkov menyatakan ISIS juga mengeksploitasi dampak pandemi terhadap kondisi ekonomi dan politik di dunia.

Voronkov menyatakan kelompok ISIS di Afrika Barat juga masih bergerak. Bahkan menurut dia, kelompok itu diperkirakan mempunyai 3.500 anggota. Selain itu, ancaman juga datang dari kelompok ISIS Sahara yang bersembunyi di antara Burkina Faso, Mali dan Niger.

Milisi ISIS terlibat peperangan di Libya meski dalam jumlah kecil. Namun, kata dia, kelompok teroris itu memicu pertentangan di antara suku-suku di Libya dan menjadi ancaman di kawasan perbatasan. Selain itu, kelompok ISIS di Afrika Tengah juga masih terus menyerang penduduk pedesaan di Kongo dan Mozambik. Milisi ISIS di Afghanistan, kata Voronkov, juga terlibat peperangan dengan banyak pihak. Termasuk pasukan koalisi asing dan Taliban. ISIS Afghanistan atau ISIS Khurasan mencoba merekrut anggota dengan propaganda menentang perjanjian damai antara Taliban dan AS. Sementara di Eropa, ISIS merekrut simpatisan dengan menggunakan propaganda radikalisasi secara daring.

Di Libya, jumlah militan ISIS hanya mencapai ratusan orang, namun kelompok ini tetap menjadi ancaman di kawasan tersebut. ISIS juga memiliki kapasitas untuk melancarkan serangan yang menghancurkan di beberapa bagian wilayah Afghanistan, meskipun sejumlah pemimpin ditangkap dan wilayah kekuasaan mereka berkurang.

Kelompok Islamic State (ISIS) telah bangkit kembali di Suriah kurang dari lima bulan setelah Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menyatakan kelompok teroris itu telah 100 persen berhasil dikalahkan. Strategi kelompok ISIS di Suriah dan Irak adalah untuk menciptakan kekacauan di bekas wilayah kekuasaan mereka dan mencegah pasukan keamanan lokal mendapatkan kendali yang efektif dan menciptakan ketertiban sipil. Koalisi perlawanan terhadap ISIS yang dipimpin AS meyakini saat ini masih ada sekitar 19 hingga 18 ribu anggota ISIS di Irak dan Suriah, dimana 3 ribu anggora diantaranya merupakan warga asing.

Masih eksisnya kelompok teror juga disebabkan karena kelompok ini juga memiliki kaderisasi kepemimpinan yang baik, sesuai dengan temuan Perlman (2002) dalam buku Psychology of Terrorism, menuliskan temuan bahwa pemimpin teroris seringkali merupakan individu dengan kemampuan intelijen dan strategi yang tinggi.

 

Indonesia

Selama periode Januari hingga Juni 2020, sebanyak 84 tersangka terkait dengan jaringan terror yang aksinya berhasil digagalkan aparat penegak hukum tidak lepas dari kebijkaan yang telah dikeluarkan pemerintah melalui UU Nomor 5 Tahun 2018  tentang Terorisme, yang memberikan kewenangan aparat penegak hukum untuk melakukan pencegahan.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengantisipasi adanya serangan aksi terorisme di Indonesia, mantan teroris jaringan Al Qaeda Asia Tenggara, Sofyan Tsauri menyebutkan akan ada serangan aksi teror di tengah pandemi Covid-19, karena ada wacana di grup jihadis untuk melakukan serangan. Selain itu. kelompok teroris juga akan menyebarkan kebencian terhadap etnis tertentu.

Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Hamli, erdasarkan dari serangkaian kejadian, beberapa kali di bulan ramadan memang kerap terjadi serangan aksi teroris. Sejauh ini, Tim Antiteror Densus 88 telah melakukan penangkapan terduga teroris di berbagai daerah. Serangkaian penangkapan telah dilakukan Densus 88 mulai dari Sidoarjo, Surabaya hingga Serang Banten. “Kelompok teroris yang memanfaatkan pandemi corona sebagai waktu yang tepat untuk menebar teror,” ujar Hamli seraya menambahkan, sebenarnya tanpa ada pandemi corona pun, kelompok terorisme sudah punya timeline serangan seperti ketika Ramadhan, Natal, Tahun Baru dan Kemerdekaan RI.

Pemulangan para pejuang ISIS dari Suriah dan Irak, senada dengan pandangan ISIS bahwa “pandemi corona (adalah) hukuman Allah terhadap tawagheet (tiran berhala) dan orang-orang kafir”. Ini telah memacu afiliasi seperti Jama’ah Anshorut Daulah (JAD) dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang mengeluarkan fatwa terhadap pemerintah. Kelompok-kelompok tersebut telah meningkatkan propaganda dan rekrutmen dengan menggunakan media sosial maupun platform online mereka sendiri. Tujuannya untuk memengaruhi serangan penyendiri dan meneruskan keterampilan membuat bom.

 

Perempuan

Dorongan bagi perempuan untuk mengangkat senjata datang dari perempuan radikal di media sosial terenkripsi dan propaganda ISIS di platform seperti Facebook. Di halaman Facebook pro-ISIS di Indonesia, penggambaran “Mujahidah” (istilah feminin untuk mujahid, “orang yang terlibat dalam Jihad”) baru-baru ini bergeser dari seorang perempuan radikal yang menggendong bayi, menjadi sekelompok perempuan bersenjata dengan senapan semi-otomatis. Ini menandakan meningkatnya penerimaan dan dorongan perempuan yang mengambil peran garis depan.

Menurut A. Stack O Connor dalam tulisannya Picked Last: Women and Terrorism (2007), partisipasi wanita dalam tindak kekerasan seringkali terjadi diwilayah konflik. Ada “black widow,” pembom bunuh diri yang terdorong untuk melakukan tindakan terorisme setelah kematian pria dalam hidupnya.

Sedangkan, J. West, “Feminist IR and the case of the Black Widow: Reproducing genered division”, Innovations (A Journal of Politics, 2004), black widow adalah hasil defenisi oleh pejuang Chechnya untuk menjelaskan tindakan teroris wanita Chechnya yang menggambarkan para wanita sebagai korban dan tanpa hak pilihan. Hal ini mengidentifikasi tindakan bom bunuh diri perempuan sebagai masalah bukan hanya karena mereka kejam, tetapi karena alasan menyedihkan seperti adanya perang kotor Rusia di Chechnya. Motivasi untuk black widow bukanlah politik, tetapi pribadi. Mereka telah putus asa dan kemudian berusaha membalas dendam atas nama orang yang dicintainya.

Dalam platform terenkripsi online dimana beberapa perempuan radikal menyuarakan rasa frustrasi karena dikesampingkan, dan keinginan kuat untuk memikul peran yang lebih signifikan dalam jaringan ISIS. Keinginan ini terlihat dalam unggahan yang menyatakan perempuan harus “dibiarkan menumpahkan darah” dalam gerakan ISIS.

Cagla Gul Yesevi, “Female Terrorism”, Europian Scientific Journal, 2014 menyatakan ada banyak alasan wanita menjadi teroris, karakteristik feminin tidak menghambat adaptasi wanita pada peran dan aktivitas teroris yang lebih brutal. Banyak orang menganggap wanita sebagai sosok tanpa kekerasan, rapuh dan justru adalah korban sehingga peran gender menjadikan wanita merasa tidak berdaya dapat memperkuat subordinasi wanita.

Motivasi perempuan sebagai pelaku aksi terorisme tentu muncul baik dari internal maupun eksternal. Pada berbagai kasus, terlihat adanya keberagaman alasan yang menjadi penggerak seseorang untuk masuk dalam lingkaran terorisme. Aspek jejak kekerabatan dapat menjadi penyebab aksi teror oleh wanita, dimana teroris membangun jaringan dengan kekerabatan (kinship), pertemanan (friendship) dan pernikahan (marriage), kemudian adanya pemimpin yang karismatik bersama janji-janji jihadnya, seperti ditulis T.N. Chong, “Radicalisation of the Female Workers” (2017).

Kelompok radikal terorisme yang ada di Indonesia didominasi oleh kelompok yang berafiliasi dengan ISIS. Pasca ISIS kalah dan kehilangan wilayahnya di Suriah pada awal tahun lalu, membuat simpatisan yang ada di Indonesia mulai menggencarkan serangan di dalam negeri. Nantinya aksi-aksi serangan akan dilakukan melaui sel-sel keluarga dan lone wolf -aksi terorisme yang dilakukan secara mandiri- karena dianggap sulit untuk dideteksi.

*) Penulis adalah alumnus pasca sarjana Kajian Stratejik Intelijen (KSI) Universitas Indonesia (UI).

Artikel Terkait