Nasional

Pakar dan Aktivist Pesimistis UU Cipta Kerja Tak Selesaikan Masalah Korupsi

Oleh : Rikard Djegadut - Minggu, 18/10/2020 12:01 WIB

Mahasiswa Demonstrasi menolak Omnibus Law. (Foto : istimewa)

Jakarta, INDONEWS.ID - Presiden Joko Widodo menyebutkan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dapat mencegah dan memberantas korupsi. Namun beberapa pihak khawatir aturan sapu jagat tersebut berpotensi membuka celah sumber korupsi baru.

Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Danang Widoyoko mencontohkan pengalihan kewenangan perizinan dari daerah ke pusat akan mengurangi sumber pendapatan pemerintah daerah. Padahal, daerah masih memiliki kebutuhan dana.

"Karena kebutuhan selalu ada, pemerintah daerah akan mencari sumber lain. Jadi kemungkinan akan muncul sumber korupsi baru atau menggali korupsi lebih dalam," kata Danang dalam Diskusi Publik: UU Cipta Kerja vs Pemberantasan Korupsi secara virtual, Kamis (15/10).

Dia mengatakan jika alasannya mencegah korupsi, sebenarnya indeks pemberantasan korupsi Indonesia terus membaik setiap tahun. Dari data Corruption Perception Index yang dikeluarkan Transparency International, RI berada pada ranking 85 pada 2019 atau naik dari 96 pada 2017.

Danang menjelaskan beban RI saat ini sebenarnya korupsi politik dan peradilan, bukan dalam kemudahan berbisnis. Dalam Rule of Law Index atau Indeks Negara Hukum 2020 yang dikeluarkan World Justice Project, aspek perilaku korupsi menjadi salah satu kelemahan RI.

Aspek perilaku korupsi RI memiliki skor 0,39 dan berada pada peringkat 92 dari 128 negara. Jika dibedah, perilaku korupsi dengan skor rendah berada di lembaga peradilan dan legislatif.

“Kalau pemberantasan korupsi jadi prioritas, peradilan ini harus dibenahi,” kata Danang.

Namun, ia mengatakan harus ada diskusi lebih dalam terkait potensi tersebut. Sebab, omnibus law memuat ketentuan lintas sektor dan dampak yang terjadi akan berbeda-beda. Di sisi lain, ia menilai pemerintah perlu membuat kebijakan terkait pendanaan politik yang lebih transparan.

Sementara, Ekonom Senior Faisal Basri mengatakan, aturan omnibus law tersebut tidak menyentuh masalah korupsi politik. Tak hanya itu, dia merasa salah satu yang menghalangi investor untuk masuk ke Tanah Air ialah adanya potensi korupsi pada transaksi lintas batas atau ekspor impor.

Dia mengatakan dalam peringkat kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EoDB) dari Bank Dunia, posisi perdagangan lintas batas Indonesia terus memburuk. Awalnya ranking RI berada di angka 54, lalu memburuk jadi 116 pada 2020.

"Di sini sumber korupsi, tapi appetite pemerintah yang tercermin dari omnibus law ini tidak ada," kata Faisal.

Faisal menduga kegiatan ekspor impor tersebut masih dikuasai oleh rente yang berafiliasi partai politik. Dia mencontohkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan membuka keran ekspor benih lobster yang sebelumnya dilarang pada era Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Kemudian, izin impor gula hanya diperbolehkan untuk industri tertentu di tengah tingginya selisih gula konsumsi di dalam dan luar negeri. Di luar itu, masih ada kartel yang dibentuk pemerintah melalui komoditas lainnya, seperti impor garam.

Kartel tersebut, lanjut Faisal, diatur oleh pemerintah dan sejumlah pengusaha yang mendapatkan kuota impor. Seluruh hal tersebut dianggap menjadi pengganggu bagi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sebab, para investor akan kesulitan untuk mencari bahan baku melalui impor serta terkendala dalam ekspor.

"Ini sumber korupsi terbesar sekarang. Oleh karena itu, pemburu rente semakin banyak dengan korupsi itu,” kata Faisal.

Faisal menilai, aturan sapu jagat tersebut semestinya menyasar pada permasalahan-permasalahan tersebut. Oleh karena itu, ia menilai UU Cipta Kerja merupakan salah satu upaya sistematik untuk melebarkan ruang untuk korupsi.

"Ini upaya sistematik dari rezim dimulai upaya pelemahan KPK, perubahan UU konstitusi , sampai Perppu (penanganan Covid-19)," ujar dia. Sebelumnya Jokowi mengatakan, selain menyediakan lapangan pekerjaan, UU sapu jagat dapat mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.

"Karena dengan menyederhanakan, dengan memotong, dengan integrasi perizinan secara elektronik, maka pungutan liar dapat dihilangkan," katanya pekan lalu.*

 

Artikel Terkait