Nasional

Kemunduran Demokrasi Berkorelasi dengan Kerusakan Lingkungan

Oleh : very - Selasa, 10/11/2020 16:40 WIB

Diskusi ketiga “Forum 100 Ilmuwan Sosial Politik” di Jakarta, Senin (9/11). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Diskusi ketiga “Forum 100 Ilmuwan Sosial Politik” yang kali ini kembali diselenggarakan oleh LP3ES melengkapi diversitas perspektif kalam kajian terkait demokrasi di Indonesia dengan membawa isu lingkungan ke dalam ruang diskusi.

Forum tersebut diisi oleh tiga ilmuwan yang berkutat dalam studi lingkungan. Mereka menerangkan beberapa hal krusial dalam diskursus demokrasi di Indonesia.

Direktur Center Of Media and Democracy LP3ES dan Pengajar Ilmu Pemerintahan, Universitas Diponegoro (UNDIP) Wijayanto, Ph.D, menegaskan tentang urgensi isu-isu lingkungan dalam prospek demokrasi Indonesia.

Walaupun begitu, menurutnya, topik terkait lingkungan hidup dan demokrasi ini jarang sekali dibahas dalam ruang diskusi publik.  

“Diskusi atau tulisan tentang demokrasi jarang sekali yang secara langsung mengaitkannya dengan masalah lingkungan.  Saat bicara perihal demokrasi, maka kita biasa bicara dalam pendekatan institusional: menyoal pemilu, partai, parlemen dsb. Kadang kita lihat dalam pendekatan budaya demokrasi: menyoal kabajikan sipil, literasi politik, partisipasi politik dsb. Kadang kita kupas dalam telaah struktural: oligarki, korupsi dsb,” ujarnya di Jakarta, Senin (9/11).

Karena itu LP3ES, katanya, ingin ikut mendorong agar kaitan dua topik tersebut lebih diperhatikan dalam wacana publik. Hal ini mengingat kerusakan alam telah menjadi sangat buruk dan itu tak bisa dipisahkan dari cara kita melihat alam.

Mengutip filsuf Fritjof Capra, Wijayanto menyampaikan bahwa manusia perlu menyadari bahwa dia hanyalah tamu dari semesta ini, yang keberlangsungan hidup sang tamu ini sangat tergantung pada kelestarian sang tuan rumah yaitu alam semesta ini.

Dalam kajiannya, Penulis Buku "Ketimpangan Agraria di Indonesia: Pendekatan Studi, Kondisi Terkini dan Kebijakan Penanganan", Mohamad Shohibuddin menggarisbawahi kondisi ketimpangan agraria di zaman reformasi melebihi ketimpangan agraria di zaman orde baru yang terjadi selama 30 tahunan, padahal reformasi baru 20 tahunan.

Ironi tersebut didukung pula dengan kondisi ketimpangan agraria tersebut mirip sekali dengan ketimpangan aset keuangan. “Jika sekitar 56% aset nasional yang berkaitan dengan tanah dikuasai oleh 0,2% populasi, demikian pula 56,87% aset keuangan dikuasai oleh 0.11% pemilik rekening dengan simpanan di atas 2 miliar rupiah,” ujarnya.

Menyambung paparan Shohibuddin, Yogi Setya Permana menegaskan kaitan antara indeks demokrasi dengan frekuensi bencana antropogenik di 34 provinsi di Indonesia, terutama banjir.

Menariknya, Yogi menemukan bahwa keduanya memiliki kaitan yang erat. Jawa Tengah menempati posisi pertama secara nasional, baik Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) terendah dan frekuensi terbanyak bencana banjir. Hal tersebut juga terjadi untuk provinsi lain dengan pengecualian tiga provinsi dengan IDI terendah, meliputi: Nusa Tenggara Timur, Papua Barat dan Papua.

Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial (TP2P2) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Swary Utami Dewi, MA menerangkan perspektif praktis dalam penerapan Perhutanan Sosial dengan demokrasi.

Dalam pemaparannya, dia menunjukkan kaitan yang bersinggungan di antara dua sektor tersebut. Utamanya di bidang keterlibatan masyarakat, kesetaraan gender, kebebasan (daulat) yang bertanggung jawab, supremasi hukum, pengakuan HAM, keadilan, akuntabilitas, penyelesaian konflik, pemilihan pemimpin, dan  pengakuan terhadap keragaman.

Terkait dengan Omnibus Law, Shohibuddin mengatakan bahwa akan semakin banyak alokasi tanah untuk berbagai keperluan untuk pemodal besar ketimbang kepada rakyat. Padahal di sisi lain rencana pemerintah Jokowi untuk menjalankan reforma agraria untuk kepentingan rakyat itu sangat lambat. Kemudian, ruang-ruang partisipasi dari bawah hanya sampai di ujung pintu.

Selain itu, Omnibus law Cipta Keja pun memperbaharui mekanisme Analisis Dampak Lingkungan (Amdal). Yogi berargumen bahwa dengan adanya perundangan Cipta Kerja, kontrol publik pun dihapuskan. Padahal hal tersebut merupakan mandat dari Undang-Undang Lingkungan Hidup Tahun 2009. Terlebih, perundangan Lingkungan Hidup tersebut menekankan pada demokratisasi pengelolaan lingkungan dan bertujuan agar jangan sampai ada aktivitas ekonomi di wilayah tertentu yang menimbulkan dampak buruk kepada masyarakat.

“Oleh karena itu, publik pun dilibatkan dalam evaluasi dampak lingkungan di wilayah bersangkutan. Sebelum ada UU Omnibus Law, kita sudah dipertemukan dengan berbagai persoalan seperti lubang tambang di Kalimantan Timur, deforestasi yang belum tertangani, dan proyek plantation yang sangat luas di Papua. Situasinya sudah begitu, padahal belum mengaplikasikan UU baru tersebut,” kata Yogi.

Yogi menemukan dalam risetnya bahwa provinsi-provinsi yang rendah indeks demokrasinya ternyata juga rendah tingkat kelestarian alamnya. Provinsi dengan demokrasi yang buruk juga rentan dengan banjir dan bencana alam. Hal ini karena politisi melahirkan kebijakan yang lebih berpihak pada kapital yang merusak lingkungan sebagai akibat dari praktik korupsi politik.

“Di sini kemunduran demokrasi yang merupakan isu elitis jadi membumi. Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh buruknya demokrasi karena korupsi politik membuat kita mengerti bahwa dampak kemunduran demokrasi dirasakan oleh masyarakat yang paling bawah,” ujar Yogi.

Keterkaitan antara semakin parahnya kerusakan lingkungan dan fenomena politis kemunduran demokrasi menjadi semakin terang dalam diskusi tersebut. Mulai dari realita terkait dengan ketimpangan agraria yang tidak semakin mengecil, lalu keterkaitan indeks demokrasi dengan frekuensi bencana antropogenik, hingga omnibus law.

Diskusi ini diharapkan membuka wawasan dan jangkauan pandang masyarakat terkait diskurus demokrasi di Indonesia yang ternyata tidak hanya bicara tentang pemilihan pemimpin dan hak partisipasi politik. (Very)

Artikel Terkait