Opini

Anwar Hafid: Rencana Pemilu Serentak 2024 Tak Realistis dan Layak di Tinjau Kembali

Oleh : luska - Sabtu, 30/01/2021 17:47 WIB

Penulis : Anwar Hafid Anggota DPR RI Komisi II

Anggota DPR RI Komisi II, Partai Demokrat, asal Sulawesi Tengah berpendapat saat rapat di Komisi II bersama pemerintah, bahwa ada kekhawatiran terkait beban penyelenggara pemilu melayani dua kali pemilihan dalam satu tahun ini, karena dipastikan Januari sd April 2024 adalah puncak kampanye capres, caleg, dan pada saat yang bersamaan, para calon kepala daerah juga mulai bersosialisasi dikurun waktu itu.

Pertama, saya tidak bisa membayangkan bagaimana beban penyelenggara pemilu melayani dua kali pemilihan dalam satu tahun,belum selesai  capeknya mengurusi pilpres, DPR, DPD dan DPRD, lalu masuk lagi pada tahap penanganaan cakada. kondisi ini bisa saja mengulang tragedi pemilu 2019 dengan berjatuhan korban penyelenggara pemilu karena kelelahan.

Kedua, kalau  keserantakan ini dilaksanakan maka akan terjadi penurunan kualitas demokrasi kita.

Karenanya rakyat bingung mau layani siapa berkampanye, pilpres, DPR RI, DPD RI atau Pilkada. Karena di pastikan Januari sd April 2024 adalah puncak kampanye capres,caleg,dan pd.

Saat yang bersamaan, para calon kepala daerah juga mulai bersosialisasi dikurun waktu itu.

Ini pasti akan membingungkan rakyat kita dalam  menyimak visi misi capres, cawapres, caleg, cakada. Dalam kondisi seperti ini pilihan bukan lagi karena gagasan tapi karena alasan.

Dan yang ketiga, dijelaskan Anwar Hafid, seharusnya pemerintah mengkaji lebih mendalam sistim ketata negaraan kita khususnya hakekat otonomi daerah.

Salah satu hak rakyat daerah otonom itu adalah hak memilih pemimpinnya sendiri secara demokratis melalui pilkada yang diatur dalam peraruran perundang-undangan yang berlaku. Dengan tidak jadinya pilkada 2022, 2023 otomatis akan banyak daerah dipimpin oleh pejabat sementara yang ditunjuk langsung pemerintah atasannya,  dengan durasi masa jabatan yang sangat lama, padahal kita tau bahwa pjs itu lazimnya paling lama 1 tahun kecuali dalam keadaan yang sangat darurat.

Keempat kalau alasan bahwa kita harus fokus menghadapi pandemi,sekalipun angka positif masih tinggi tp ada optimisme bahwa dengan faksinasi di 2021 maka keadaan 2022  akan lebih baik di bandingkan saat  pilkada 2020, dimana pada saat itu  pandemi sedang meningkat tapi pemerintah tetap memaksakan dilakukan pilkada dan sampai hari ini belum pernah kita dengar adanya klaim claster pilkada 2020. Hal ini membuktikan pandemi bukan halangan untuk digelarnya pilkada 2022 dan 2023.

Ke lima, demi kemaslahatan dan terwujudnya kualitas demokrasi kita yang lebih baik, melakukan refisi undang-undang adalah keniscayaan.

Artikel Terkait