Opini

Industri Berbasis Teknologi Sebagai Engine of Growth

Industri Berbasis Teknologi Sebagai Engine of Growth

Oleh : Rikard Djegadut - Jum'at, 05/02/2021 11:15 WIB

F. Harry Sampurno, Ph.D

 

Oleh: Harry Sampurno, Ph.D

Ringkasan : Program industrialisasi sebagai salah satu kebijakan ekonomi yang ditujukan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional, haruslah disesuaikan dengan trend VUCA dengan mengarah ke era regionalisasi ekonomi dunia saat ini. Di Indonesia pernah dilaksanakan kebijakan industrialisasi dengan falsafah "berawal dari akhir dan berakhir di awal" dengan program transformasi industri melalui wahana industri berbasis teknologi (technology-based industries) yang terbukti berhasil mendorong peningkatan penguasaan teknologi dan mempercepat pembangunan nasional. Hal ini karena dukungan kepemimpinan nasional dan regulasi yang berpihak kepada industri dalam negeri serta pembangunan sumber daya manusia yang merupakan pelaksana kunci dari industri yang berbasis teknologi.

Opini, INDONEWS.IDDari survey konsultan global Delloitte tentang kesiapan dunia usaha menghadapi interconnected era (Renjen, 2020) diketahui bahwa sektor industri menghadapi realitas baru dalam pendekatan Industry 4.0 dari sisi strategi, dampak sosial, talent dan teknologi. Industri berbasis teknologi semakin menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi.

Ratusan tahun yang lalu sebagaimana diringkaskan oleh Patnaik (2018), penemuan hal-hal baru mendorong terjadinya Revolusi Industri yang ditandai dengan digunakannya mesin uap pada paruh kedua abad 18 dan disebut dengan era mekanisasi. Revolusi Industri tahap kedua atau 2.0 terjadi karena dimanfaatkannya listrik dalam proses produksi sejak akhir abad ke-19 yang disebut elektrifikasi oleh ekonom Erick Zimmerman.

Tak lama kemudian gelombang ketiga 3.0 atau zaman komputerisasi di dekade 1970an melahirkan computer aided machine yang terkenal dengan istilah CAD/CAM. Barulah tahun 2011 istilah Industry 4.0 dikenalkan di Hannover Fair untuk suatu proyek inovasi teknologi digitalisasi sistem manufaktur yang memadukan pertukaran data yang masif melalui IoT dengan Cloud computing yang kemudian disebut Cyber Physical System.

Inovasi teknologi memang merupakan andalan dari negara yang tidak mempunyai atau tidak ingin tergantung pada sumber daya alam (Sekimoto, 1990; Carey, 1994), sehingga mereka membangun industri berbasis teknologi yang terbukti mengubah perekonomian dunia(1). Industri ini bersifat jangka panjang sehingga disebut juga “industri strategis” dimana manusia yang terbarukan merupakan penentu kemajuan suatu bangsa. Perpaduannya dengan infrastruktur ekonomi seperti transportasi, komunikasi, energi dan iptek, menjadi landasan kemampuan memproduksi barang dan jasa yang berkualitas dengan biaya yang rendah(2).

 Menurut Mark Elam (1993), hal tersebut dapat terlihat dengan terjadinya pergeseran persaingan perdagangan dunia yang menjadi lebih “science-based” sehingga sumber daya alam yang menjadi daya saing perekonomian suatu negara menjadi kurang berarti lagi.

 Faktor kuncinya adalah produktivitas nasional; yaitu kemampuan memanfaatkan kekayaan yang ada untuk menghasilkan surplus neraca perdagangan dan neraca pembayaran yang meningkatkan cadangan devisa. Produktivitas ini adalah ukuran partisipasi sumber daya manusia dalam proses nilai tambah yang menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi oleh pasar domestik, regional maupun internasional dengan kualitas dan harga yang bersaing (Kuffal, 2011).

 Data di Indonesia juga menunjukkan bahwa nilai ekspor komoditi pertanian pada tahun 2010 hanya mencapai US$ 5 milyar, hasil pertambangan sebesar US$ 26,6 milyar dan migas sebesar US$ 28 milyar, sedangkan ekspor produk manufaktur/industri pada tahun yang sama telah mencapai  hampir   US$   100   milyar.   Hal   ini   menjelaskan   bahwa   peranan   sumber   daya alam dalam devisa ekspor kian menurun sementara peran sumber daya manusia yang dicerminkan melalui sektor industri terus meningkat. Inilah rahasia pembangunan Jepang yang kemudian ditiru negara Asia Timur yang tidak memiliki kekuatan sumber daya alam.

 Fakta dan kajian menunjukkan bahwa pada masa mendatang kemajuan terletak pada sektor industri dan ini berarti bahwa kunci kesejahteraan pada masa yang akan datang terletak pada pembangunan yang didasarkan pada sumber daya manusia, atau dengan kata lain terletak pada kemampuan bangsa menerapkan iptek dalam perencanaan produksi barang dan jasa yang dibutuhkan oleh dunia yang akan semakin kaya.

 Carey (1994) menyatakan bahwa iptek merupakan kunci keberhasilan pengembangan sumber daya manusia, pembangunan infrastruktur ekonomi dan pembangunan industri. Ada dua tahapan pengembangan sumber daya manusia yaitu pendidikan untuk memperoleh kemampuan yang diperlukan pada sektor produksi serta pengembangan kemampuan tersebut menjadi keahlian atau skill dengan produktivitas yang tinggi.

Kedua tahap itu membutuhkan perhatian dan perencanaan yang seksama sehingga dapat dilaksanakan secara selaras melalui regulasi yang terpadu dan koordinasi dengan lembaga pendidikan. Pendidikan harus diarahkan dan disesuaikan dengan proses nilai tambah produksi perusahaan (pihak pemberi kerja). Investasi sumber daya manusia pasti akan menghasilkan kemampuan untuk menciptakan output yang bernilai lebih tinggi.

Produktivitas manusia harus dilihat sebagai satuan rupiah perjam perorang dan produktivitas kapital yang dinyatakan dalam output per mesin perjam. Dan jika peningkatan produktivitas tersebut digabungkan dengan inovasi, entrepreunership dan perencanaan strategis yang tepat dan berpandangan jauh kedepan hasilnya merupakan peningkatan produktivitas nasional yang besar.

 Peningkatan produktivitas tergantung pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Entrepreunership, inovasi dan pandangan ke depan merupakan produk dari sumber  daya manusia yang berkualitas. Dengan perkataan lain peningkatan produktivitas nasional tergantung pada kemampuan meningkatkan upaya dan pengembangan sumber daya manusia. Oleh karena itu sangatlah penting penerapan peningkatan skill dan kemampuan manusia dalam suatu sistim pendukung yang terpadu dan saling menguntungkan.

Salah satu penyebab penurunan tingkat produktivitas AS dibandingkan dengan Jepang dan Jerman adalah langkanya lulusan perguruan tinggi AS dibidang  iptek ( AS 6%, Jepang 20%  dan Jerman 37%). Akibatnya di tahun 90an perusahaan AS kalah bersaing dalam memenuhi permintaan konsumen akan produk yang berkualitas dengan harga yang murah (Carey, 1994).

 INDUSTRIALISASI INDONESIA

Secara tradisional, perekonomian Indonesia bertumpu pada ekspor hasil bumi seperti migas, karet dan produk pertanian. Walaupun diindikasikan oleh Briggs (1963), pasar produk-primer tersebut berubah secara drastis dengan semakin meningkatnya persyaratan kualitas lebih tinggi, harga lebih murah dan ketepatan waktu penyerahan.

Pada tahun 1960an, Indonesia memulai industrialisasi dengan maksud mempercepat peningkatan penguasaan teknologi3 di sektor industri pengolahan/manufaktur. Sejalan dengan itu, Indonesia mengembangkan industri berbasis teknologi 4 mulai tahun 1970an walaupun banyak terjadi perdebatan mengenai strategi pengembangan sektor industri ini (Djojohadikusumo, 1985).

Industri berbasis teknologi adalah industri yang tergolong dalam ISIC (International Standard of Industrial Classification rev.4) nomor 24 s/d 30 yaitu industri kimia, pengolahan migas, plastik, pengolahan berbasis logam dan industri permesinan. Hal ini untuk membedakan dengan istilah 

Dampak dari kebijakan tersebut dapat dilihat dari peningkatan sumbangan sektor industri dalam GDP dari 8.5 % di tahun 1965 menjadi 30,5 % di tahun 2000 sebagaimana digambarkan dalam grafik 1. Peningkatan yang cukup drastis terjadi saat pembangunan nasional dititikberatkan pada sektor industri di REPELITA 3 yang menetapkan kebijakan pengembangan industri tertentu sebagai wahana transformasi industri melalui penguasaan teknologi. Industri teknologi tinggi yang didasarkan antara lain pada rasio biaya R&D serta peralatan canggih yang digunakan (Bolland & Hofer, 1998).

 

Sejak tidak ada lagi kebijakan transformasi industri setelah 1999, peran ini kemudian menurun terus sampai pada angka 19% di tahun 2019. Hal ini menegaskan premis umum bahwa struktur ekonomi merupakan cerminan dari kebijakan ekonomi dan industrialisasi suatu negara.

 Struktur industri juga terlihat dari intensitas faktor produksi sebagaimana pada tabel 1, dimana 54% dari output sektor industri pada tahun 1988 masih berasal dari pengolahan hasil alam seperti kayu, produk karet dan komoditi pertanian. Sementara produk berteknologi hanya berperan 10.7% dan 6,8% dari total export. Pada tahun 1995 perannya meningkat menjadi 14.8% dari total ekspor dan kemudian stagnan menjadi 14,1% di tahun 2010.

Tabel 1. Output dan Ekspor Produk Industri

Berdasar intensias faktor produksi (%))

 

Output

 

Export

 

1977

1988

1977

1988

1995*)

2010**)

Natural Resource

59.2

54.0

89.5

63.1

33.6

40.6

Unskilled Labor

22.9

26.2

1.8

22.9

43.3

38.8

Skilled Labor

11.0

9.0

4.5

7.2

8.3

6.5

Technology

6.9

10.7

4.3

6.8

14.8

14.1

Sumber: Nasution, Mahyudin dan Bash, 1993. p.145

*) diolah dari Lall (1998) dengan menggunakan kategori yang sedikit berbeda

**) diolah dari Industry, Facts & Figures (2011) berdasarkan HS Code

Mengikuti cara berpikir Habibie, pembangunan sektor industri dicapai melalui transformasi industri melalui pemanfaatan iptek yang dipercaya akan menjamin pertumbuhan bernilai tambah tinggi serta berkelanjutan sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat akan meningkat (Rice, 1998). Kemajuan teknologi dalam industri pengolahan tidak berarti hanya menggunakan teknologi canggih semata, tetapi memberikan sumbangan kepada kesejahteraan nasional melalui proses nilai tambah. Pelaksanaannya dilakukan dengan transformasi industri melalui tahapan sebagai berikut (Habibie, 1983) :

  1. Pemanfaatan teknologi yang telah ada dalam proses nilai tambah melalui produksi barang dan jasa
  2. Integrasi teknologi untuk menghasilkan barang dan/ atau jasa yang baru
  3. Pengembangan teknologi melalui inovasi
  4. Penemuan teknologi baru melalui penelitian

 Tahapan inilah yang dikenal saat itu dengan istilah “to begin at the end, ending at the beginnings”. Tahapan ini kemudian diterapkan pada industri tertentu yang ditetapkan sebagai wahana penguasaan teknologi dalam rangka transformasi industri atau lebih dikenal dengan “wahana transformasi industri”.

WAHANA TRANFORMASI INDUSTRI

Strategi penguasaan teknologi 5 melalui wahana industri yang ditetapkan dianggap dapat menjamin pertumbuhan yang berkesinambungan karena memberikan nilai tambah yang tinggi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya (Rice, 1998). Industri yang menjadi wahana transformasi tersebut dipilih dengan pertimbangan “potential demand” yang dipengaruhi oleh geografis, penduduk, perkembangan ekonomi, kebutuhan prasarana dan sarana ekonomi untuk pembangunan ekonomi selanjutnya serta kepentingan keutuhan dan kesatuan wilayah nasional. Pertimbangan diatas sangat diperlukan karena akan menentukan kelangsungan hidup industri itu sendiri.

Dengan kriteria tersebut diatas, maka industri yang terpilih adalah sebagai berikut: Aerospace, Maritime and Shipbuilding, Land Transportation, Energy Generators, Engineering and Construction, Defense Equipments, Agricultural Machinery, Telecommunication and Electronics, Related and Supporting Industries

Semuanya adalah industri pengolahan yang memproses output dari industri dasar menjadi barang bernilai tambah yang tinggi. Produk hasil industri ini biasanya adalah barang intermediate atau barang modal yang akan digunakan oleh industri hilir untuk memproduksi barang dan jasa.

Inilah yang kemudian dikenal dengan nama kelompok Industri Strategis yang sebenarnya merupakan industri berbasis teknologi yang tergolong dalam ISIC nomor 37-38 yaitu industri pengolahan berbasis logam yang sangat penting sebagai sokoguru sektor industri sampai dengan sebelum krisis ekonomi, mempunyai produktivitas yang paling tinggi dibanding dengan industri lainnya sebagaimana pada Tabel 2.

Tabel 2. Produktivitas Sektor Industri

Gross Output per karyawan (dalam Nilai Rupiah 1983)

ISIC

1986

1990

1994

31 agro-industry

14.719

16.612

54.367

32 textile-footwear

7.502

9.337

20.921

33 wood products

10.934

11.876

30.241

34 paper

11.599

23.815

56.635

35 chemical

15.294

18.942

52.687

36 ceramic-cement

12.462

13.675

41.174

37 basic metals

67.600

104.686

221.755

38 machineries

17.827

25.472

69.460

39 others

6.734

6.648

19.505

Sumber: Nasution, Mahyudin dan Bash, 1993 p144, dan BPS

Dengan demikian, strategi industrialisasi melalui wahana transformasi industri sebenarnya memang terbukti menghasilkan produktivitas yang tinggi dan akhirnya kesejahteraan masyarakat akan menjadi lebih baik.

Memang bahwa strategi industrialisasi dengan mengembangkan industri berbasis teknologi memerlukan investasi yang relatif besar. Tabel 3 memperlihatkan bahwa struktur investasi di Indonesia selama 40 tahun ternyata masih belum berubah banyak. UNIDO (1997) melaporkan bahwa pada tahun 1994 pangsa investasi di bidang teknologi tinggi di Malaysia, Singapura dan Filipina adalah masing-masing 33.8%, 16.7% and 48.8%, sementara Indonesia hanya sekitar 6.4% dari total investasi dan bahkan hanya 9.2% berdasarkan data realisasi tahun 2010.

Tabel 3. Struktur Investasi Sektor Industri

1970 - 2010 ( % )

Level of Technology

1970

1980

1990

1994

2010*)

Low level Technology

77.1

76.5

76.5

67.1

43.3

Medium-level Technology

21.7

18.8

18.2

25.9

47.5

High Technology

1.1

4.3

4.6

6.4

9.2

Sumber:: Laporan UNIDO, dikutip oleh Bisnis Indonesia, 26 December 1997

**) diolah dari Industry, Facts & Figures (2011)

Negara-negara seperti Taiwan, Korea, HongKong dan Singapura telah menyadari hal ini berpuluh tahun yang lalu ketika mereka memutuskan untuk membangun industri berbasis teknologi yang secara terang-terangkan didukung oleh program pembangunan nasional masing- masing (Pack, 1993).

Di Indonesia, usaha meningkatkan kemampuan penguasanaan teknologi nasional dilakukan melalui BUMN tertentu yang memiliki fasilitas R&D walaupun belum didukung oleh suatu sistem pengembangan industri nasional yang terpadu (Soesastro, 1998). Pada akhir dekade 1980an, Pemerintah menyadari bahwa sebagai BUMN maka industri ini harus mengikuti logika dan konsep sebagai badan usaha.

Untuk itulah kemudian didirikan Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang menurut Rice (1998) menunjukan pilihan strategi ‘picking winners’. Peran utama BPIS sebenarnya adalah menjembatani program transformasi industri Pemerintah yang memerlukan investasi relatif besar dengan orientasi penguasaan teknologi yang kuat.

Stiglitz (2015) mengakui bahwa China adalah satu-satunya negara yang dalam waktu 30 tahun terakhir berhasil melakukan reformasi keseimbangan state-market dan dilakukan melalui “wahana” yang melakukan “decisive role” yaitu BUMN.

PERAN SEKTOR INDUSTRI MAKIN MENURUN

Setelah mencapai puncak sekitar 31% dari PDB sebelumkrisis ekonomi tahun 1997-1998, peran sektor industri terus menurun dengan pertumbuhan dibawah pertumbuhan ekonomi nasional. Bahkan nilai tambah sektor industri (manufacturing) yang masih sekitar 27,5% di tahun 2006 merosot tinggal menjadi 19,6% ditahun 2019.

Penurunan ini sempat dianalisis oleh Prof Firmanzah (2014), yang membandingkan bahwa memang terjadi penurunan kinerja manufaktur di banyak negara khususnya sektor manufaktur negara China, Jerman, AS, dan Uni Eropa yang menunjukkan tren memburuk.

Disebutkan bahwa selama tahun 2011, 2012, dan 2013 sektor industri pengolahan nonmigas semakin berperan yang tercermin dari sejumlah indikator: pertama, dalam tiga tahun terakhir pertumbuhan industri nonmigas lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan PDB nasional. Pada tahun 2011, industri nonmigas tumbuh 6,74% lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) nasional sebesar 6,49%.
Pada 2012, industri nonmigas tumbuh 6,42%, lebih tinggi dari pertumbuhan PDB nasional sebesar 6,26% dan pada 2013, pertumbuhan ekonomi nonmigas tumbuh sebesar6,1%, sementara PDB tumbuh 5,78%.

Kedua, penyerapan tenaga kerja di sektor industri nonmigas juga terus meningkat, yaitu pada 2005 sebesar 11,84 juta tenaga kerja sampai akhir 2013 meningkat 20% dan menjadi lebih dari 14,81 juta tenaga kerja.

Ketiga, dari sisi nilai ekspor sektor industri nonmigas mengalami peningkatan lebih dari 50% dari tahun 2005 yang senilai USD55,57 miliar menjadi lebih dari USD113 miliar. 


Keempat, dari sisi investasi, terjadi peningkatan tajam baik PMDN maupun PMA dari tahun 2005 dengan nilai investasi PMDN sebesar Rp20,99 triliun meningkat menjadi lebih dari Rp51 triliun pada 2013. Sementara nilai investasi PMA pada 2005 hanya berkisar USD3,5 miliar, meningkat tajam sebesar USD15,86 miliar. Kelima, tidak hanya di sektor industri besar, untuk industri kecil dan menengah (IKM) juga menunjukkan perkembangan yang sangat menggembirakan. Pada 2010, terdapat 2,75 unit usaha IKM dan pada 2013 diperkirakan unit usaha IKM meningkat mencapai lebih dari 3,49 juta. 

Tren peningkatan pertumbuhan industri nonmigas terjadi pada periode 2009-2011. Pada 2009, pertumbuhan industri nonmigas hanya sebesar 2,56% meningkat tajam menjadi 6,74% pada 2011. Bahkan untuk sektor industri automotif, Indonesia dianggap sebagai negara yang akan menjadi basis produksi industri automotif kawasan Asia-Pasifik.

Prof Firmanzah menjelaskan beberapa faktor penyebab kebangkitan sebagai berikut: pertama, stabilitas politik, keamanan, dan ketertiban nasional yang semakin kondusif  pasca-Pemilu  2009. 
Indonesia mampu mengawal transisi demokrasi pascareformasi secara aman, damai dengan stabil. Kedua, fundamental ekonomi yang semakin baik dan masuknya Indonesia dalam investment-grade turut mendorong semakin besarnya minat berinvestasi di Indonesia dalam tiga tahun terakhir.

Ketiga, daya beli masyarakat yang terjaga serta kemampuan Indonesia dalam mengelola inflasi semakin baik. Besarnya ekonomi domestik menjadi faktor penarik bagi kebangkitan industri manufaktur nasional. Keempat, hadirnya proyek infrastruktur dan besar sejak akhir dekade pertama abad 21 turut memberikan andil signifikan bagi investor baik dalam negeri (BUMN dan swasta) maupun asing untuk ikut membangun infrastruktur dan sektor riil di tanahair.

Kelima, komitmen nasional dalam hal industrialisasi dan hilirisasi juga membuat semakin derasnya investasi di sektor nonmigas. Keenam, semakin membesarnya ruang fiskal yang tecermin pada peningkatan anggaran belanja negara dalam APBN turut memberikan andil bagi berkembangnya sejumlah industri strategis nasional seperti PT Pindad, PT PAL, PT Dirgantara Indonesia. Semakin berkembangnya industri-industri strategis nasional akan menarik industri terkait dalam mata rantai produksi.

Bahkan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam wawancara khusus dengan media online menyampaikan bahwa sektor industri pada kuartal ketiga 2017 tumbuh 5,51% atau di  atas pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di angka 5,01%. Yang mana industri Indonesia berkontribusi sebesar 22% bagi jumlah PDB secara keseluruhan.

Sayangnya, kejadian lima tahun terakhir menunjukkan justru sebaliknya. Pertumbuhan sektor industri manufaktur Indonesia terus menurun dan  bahkan pada kuartal IV tahun 2019 dibawah 4%. Pertumbuhan yang menurun dan makin rendah ini mengakibatkan peran sektor industri manufaktur kepada PDB tahun 2019 turun ke angka 19% dari 23% pada tahun 2014 dan bahkan hampir 30% pada tahun 1997.

Padahal sebenarnya kita sudah mempunyai UU nomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian yang akan lebih menguatkan program dan rencana pengembangan sektor industri dengan telah disusunnya Rencana Induk Pembangunan Indusri Nasional (RIPIN) yang tujuannya mendorong inovasi dan penguasaan teknologi industri yang hemat energi dan ramah lingkungan, menguatkan struktur industri, peningkatan persebaran pembangunan industri, dan meningkatkan peran industri kecil dan menengah terhadap PDB.

Selain industri hijau, dengan sangat jelas UU ini mengamanatkan adanya regulasi dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang mengatur khusus Industri Strategis yang didefinisikan secara tegas dalam pasal 84. Dengan perkembangan seperti itu, dalam waktu tidak lama, Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi berbasis industri yang terkemuka di kawasan Asia-Pasifik.

INDUSTRIALISASI SETELAH NEW NORMAL

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, tidak pernah ada prediksi bahwa China sebagai negara manufaktur terbesar dunia lumpuh karena Virus Corona. Setelah pandemi COVID-19 awal tahun 2020 diumumkan oleh WHO, Indeks Ketidakpastian Global (WUI) meningkat, Volatility Indeks (VIX) mencapai titik tertinggi, Kapitalisasi pasar saham global jatuh.

Hal-hal diatas disampaikan dalam webinar yang diselenggarakan ISEI pada tanggal 9 Juni 2020 bersama Menko Perekonomian dan Gubernur Bank Indonesia. Indonesia juga terdampak namun dengan impact-lag selama dua bulan khususnya terhadap sektor industri. Sampai dengan triwulan 1 tahun 2020, perekonomian Indonesia masih bertumbuh sebesar 2,97% dengan perkiraan penurunan kegiatan dunia usaha -5,56%.

Namun pada April indeks keyakinan konsumen turun -11,8% dan pada bulan Mei angka PMI (Procurement Managers Index) anjlog ke level 28,6% dari normal 50%. Adanya musibah wabah pandemi COVID-19 harus dilihat sebagai kesempatan dan peluang untuk kembali melaksanakan kebijakan industrialisasi yang sebenarnya sudah didukung dengan sangat kuat oleh UU 3 tahun 2014 tentang Perindustrian.

Pengembangan industri manufaktur sebagai sokoguru perekonomian Indonesia adalah keharusan dalam era Indutri 4.0. Namun hal tersebut hanya dapat dicapai jika masing-masing perusahaan melakukan pembenahan yang didukung kebijakan yang terpadu dan tegas berpihak pada pemberdayaan industri sehingga tercipta ekosistem yang sehat bagi kebangkitan industri manufaktur.

Seperti dikatakan oleh Navy et.al (2012) dalam bukunya Jugaad Innovation bahwa prinsip inovasi yang sukses selalu berawal dari kesulitan atau tantangan (adversity), berusaha lebih engan lebih sedikit, berpikir dan bertindak dengan luwes, harus sederhana untuk mendapatkan keuntungan dengan “mengikuti kata hati”.

Tentu secara alami akan terjadi pergeseran dan shifting dari bidang industri mana saja yang akan lebih dibutuhkan setelah new normal. Sebagaimana dalam buku terbarunya Kim dan Mauborgne (2017) industri harus dapat membayangkan dimana nantinya akan berada dan akan menemukan adanya “ocean of non customers”.

Pemerintah harus berani menerapkan kebijakan “ofset” dan substitusi impor. Setiap investasi asing diwajibkan memberikan kesempatan kepada industri dalam negeri yang sudah memiliki fasilitas  dan SDM. Pengawasan yang ketat harus dilakukan bukan hanya dengan perhitungan TKDN (produk impor) yang seringkali diingkari dengan akal-akalan postaudit. 

Penerapan kebijakan substitusi impor akan memberikan insentif kepada industri manufaktur dalam negeri untuk meningkatkan kemampuannya sesuai dengan TRL dan MRL. Pada saatnya, ekspor akan terdorong dan menjadi motor penggerak ekonomi Indonesia dimasa mendatang. Heboh soal pandemi COVID-19 seharusnya disikapi sebagai kesempatan  membangun  kembali industri manufaktur demi masa depan perekonomian Indonesia yang sehat dan kuat. Bukan sebaliknya dengan membuka keran impor yang akan menghancurkan industri dalam negeri.

Catatan:

1 Rasio produk berteknologi tinggi terhadap volume perdagangan dunia meningkat dari 14% di tahun 1966 menjadi 22% di tahun 1986 (Ravenhill, 1994).

2 Disarikan dari Sambutan Prof.Dr.-Ing. B.J. Habibie dalam Wisuda Program M.B.A IPMI 25 Agustus 1989

3 Menjadi isu pokok sejak Solow menuliskan `Technical Change and Aggregate Production Function` (dikutip dari Briggs, 1963) yang menyatakan bahwa perubahan tekniologi adalah faktor dominan dalam pembangunan ekonomi suatu negara.

4 Yaitu industri yg mengolah bahan baku dgn “content” teknologi relatif tinggi dan tidak langsung berasal dari hasil bumi (natural resources- based). Industri pengolahan kayulapis atau makanan, misalnya tidak termasuk dalam kelompok ini.

5 Djojohadikusumo (1985, p.67), menggolongkan industrialisasi dalam 3 pendapat besar yaitu Industrialisation berdasarkan pada “Comparative Advantages” yang didukung oleh para ekonom-akademisi; Transformasi Industri melalui Penguasaan Teknologi yang dikemukakan oleh Habibie; dan Keterkaitan dan Pendalaman Sektor Industri yang dijalankan oleh Menteri Perindustrian.

Referensi: 

Bolland, Eric J and Charles W Hofer, 1998. Future Firms: How America’s High Technology Companies Work.

Oxford University Press

BPIS, 1997. Strategic Industries 1996-1997. Jakarta: BPIS.

Briggs, Asa. 1963. Technology and Economic Development. NY:Scientific American.

Carey, John. 1994. `Could America Afford the Transistor Today ?`. Business Week. March 7:38-43

Coyle, Diane, 1998. Weightless World: Strategies for Managing the Digital Economy. Cambridge: The MIT Press Djojohadikusumo, 1985. Perdagangan dan Industri dalam Pembangunan. Jakarta : LP3ES

Doyle, Peter, 2000. Value-Based Marketing. New York : John Wiley & Sons Ltd

Elam, Mark. 1993. `Markets, morals and power of innovation`. Economy and Society. 22(1):1- 41.

Firmanzah. 2014. ‘Kebangkitan Industri Nasional’. http://www.koran-sindo.com/node/378844 (diakses April 2014) Fisk, Peter. 2008. Business Genius. UK: Capstone Publishing Ltd

Fisk, Peter. 2009. Customer Genius. UK: Capstone Publishing Ltd

Habibie, 1989, ‘Beberapa Kendala Dalam Mentransformasikan Bangsa menjadi Masyarakat Yang Modern’.

Sambutan dalam Wisuda Program M.B.A IPMI 25 Agustus 1989

Hartarto, Airlangga, 2017. wawancara khusus https://economy.okezone.com/read/2017/11/02/320/1807384/menperin-kontribusi-sektor-industri-ke-pdb- tembus-22-kalahkan-amerika) (diakses 3 September 2019)

Kim, W Chan and Renee Mauborgne. 2017. Blue Ocean Shift, Beyond Competing. NewYork: Hachette Books Kourdi, Jeremy. 2015. The Big 100. London: John Murray Learning

Lall, Sanjaya. 1998. ‘Technology Policies in Indonesia’. Indonesian Technological Challenge. Singapore: ISEAS. McKendrick, David. 1992. `Obstacle to Catch-up’. Bulletin of Indonesian Economic Studies 28(1):39-66

Nasution, Mahyudin and Basri. 1993. `Tinjauan Triwulan Perekonomian Indonesia`. Economics and Finance in Indonesia 41 (2): 121-162

Osterwalder, Alexander & Yves Pgineur. 2010. Business Model Generation. NewJersey: John Wiley & Sons Inc. Pack, Howard. 1993.`Technology Gaps between Industrial and Developing Countries: Are there dividends for

Latecomers ?’.Proceedings of the World Bank Annual Conference on Development Economics 1992 (283-332). NY:IBRD.

Patnaik, Srikanta ed. 2018. New Paradigm of Industry 4.0. Switzerland: Springer Porter, Michael E., 1990. The Competitive Advantage of Nations. London: MacMillan

Radjou, Navy and Jaideep Prabhu and Simone Ahuja. 2012 Jugaad Innovation. San Francisco: Jossey Bass Ravenhill, John. 1994. `Australia and the Global Economy in Stephen Bell and Brian Head eds. State, Economy and

Public Policy in Australia. Melbourne: Oxford University Press.

Renjen, Punit. 2020. Industry 4.0: At the intersection of readiness and responsibility https://www2.deloitte.com/us/en/insights/deloitte-review/issue-22/industry-4-0-technology-manufacturing- revolution.html (diakses 21 April 2020)

Rice, Robert. 1998. ‘The Habibie Approach to Science, Technology and National Development‘. Indonesian Technological Challenge. Singapore: ISEAS.

Sampurno-Kuffal, F. Harry, 2011. Keruntuhan Industri Strategis Indonesia. Bandung: Khazanah Bahari

Sekimoto, Tadahiro. 1990. ‘Technological Innovation and Corporate Management for 21st century’. Computers in Industry 14(3):257-263

Soesastro, Hadi. 1998. ‘Emerging Pattern of Technology Flows in the Asia Apcific Region; Relevance to Indonesia‘. Indonesian Technological Challenge. Singapore: ISEAS.

Stiglitz, Joseph E. 2015. The Great Divide. Penguin Books:WW Norton & Company Inc.

Artikel Terkait