Opini

Catatan Pinggir Professor Muhammad Syarifuddin di Mata Professor

Oleh : luska - Rabu, 17/02/2021 07:49 WIB

Muhammad Syarifuddin saat pengukuhannya sebagai Guru Besar Tidak Tetap pada Fakuktas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 11 Februari 2021.

Oleh: Asri Hadi MA (Pengamat Sosial, Jurnalis & Dosen)

Opini, INDONEWS.ID - Ketua Mahkamah Agung (MA) Muhammad Syarifuddin menekankan pentingnya konsep heuristika hukum untuk menerobos kekakuan hukum normatif dalam mewujudkan keadilan substantif.

"Kepada teman sejawat para hakim di seluruh Indonesia, janganlah hanya terpaku pada aturan normatifnya saja. Akan tetapi, haruslah berpikir secara holistik dan progresif dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam mewujudkan keadilan sejati," kata Syarifuddin, dalam pernyataan tertulis, di Jakarta, Rabu.

Konsep heuristika hukum juga telah disampaikan Syarifuddin saat pengukuhannya sebagai Guru Besar Tidak Tetap pada Fakuktas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 11 Februari 2021.

Saya tergelitik untuk ikut memberikan komentar atas catatan pribadi Ketua Mahkamah Agung, Muhammad Syarifuddin perihal pandangan akademisnya saat menyatakan pentingnya “pembaruan” dalam perspektif heuristika hukum di Indonesia.

Di dalam mewujudkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hakim bukan hanya sekedar berperan memantapkan kepastian hukum, melainkan juga keadilan.

Sehingga, setiap hakim bersifat spiritual secara lahiriah. Juga terdapat tanggung jawab Hakim secara batiniah yakni bertanggungjawab pada hukum, diri sendiri dan kepada rakyat, serta lebih jauh dan dalam pada Tuhan Yang Maha Esa.

Maka dari itu, dalam merumuskan tujuan hukum yang sesungguhnya, tidak hanya dirumuskan dalam kata-kata, tetapi dipahami dan dihayati dengan hati karena bersumber pada hati nurani manusia. 

Menemukan keadilan humanistis seperti yang diungkap professor Muhammad Syarifuddin, kiranya hakim dalam memutus perkara jangan hanya terpaku pada aturan normatifnya saja, tetapi harus berpikir secara holistik dan progresif.

Hakim perlu mengedepankan nilai- nilai kemanusiaan dalam mewujudkan keadilan yang sejati dan menjunjung setingi-tingginya hak asasi manusia.

Menarik mengutip pidato Profesor Syarifuddin SH, MH, saat seorang hakim yang berpengalaman puluhan tahun. Ia melandasi teori Heuristika dengan menyebut bahwa hukum itu dibuat: "Untuk manusia bukan manusia untuk hukum".

Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. Tugas utamanya adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan semua perkara yang diajukan kepadanya. Sehingga, hakim tidak memiliki hak untuk melakukan penyelidikan pun penyidikan.

Kendati demikian, bukan berarti semua putusannya hanya berdasarkan pada teori-teori hukum yang sudah termaktub dalam undang-undang dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP). 

Hukum adalah seni pemecahan masalah (law is an art of legal problem solving) sebagaimana yang disebutkan Prof Syarifuddin sebagai Heuristika hukum, yaitu cara pandang terhadap hukum yang mengedepankan kreatifitas dan seni.

Dalam menjatuhkan putusan, hakim juga harus menggali dari perspektif lain. Misalnya, telah terjadi pencurian di salah satu kota. Biasanya, dalam dakwaan, jaksa telah menentukan unsur-unsur pasal yang diterapkan kepada si pelaku. Kemudian, kalau terbukti, pelaku dihukum sekian tahun.

Sejatinya penerapan hukum bukan sekedar itu tapi kenapa dia kok sampai mencuri? Karena secara nurani, tidak ada manusia hobi mencuri,  manusia selalu ingin berbuat baik. Tapi kenapa dia tiba-tiba mencuri.

Singkatnya, hakim harus mengkaji terlebih dahulu baik secara antropologis pun sosiologis ikhwal latar belakang dari kasus tersebut, sebelum akhirnya menjatuhkan putusan.

Hal ini sangat diperlukan agar terciptanya dinamika hukum di Indonesia yang menjunjung tinggi asas keadilan. Sehingga bisa sejalan dengan perkembangan ekonomi, sosial dan budaya. 

Kontribusi Prof Syarifuddin SH nyata, dengan teori Heuristika hukum di pengadilan yang mencerminkan bahwa hukum diciptakan untuk masyarakat atau manusia bukan manusia untuk hukum.

Gagasan hukum sebagai sebuah pendekatan baru. Jika ditelaah, ini tentu sebuah upaya mendobrak tradisi norma yang diformalkan, yang diberlakukan selama berabad-abad. 

Selain itu, butir lemikiran Prof Syafrudin ini merupakan lompatan pemikiran yang mengangkat tingkat pemahaman hukum sebatas aturan formal, tapi lebih ke pemahaman yang sistemik, sifatnya multifaset. Pada prakteknya bersifat praktis dan mendesak penerapannya.

Semoga semua hakim di Indonesia dapat mewujudnyatakan butir pemikiran progressif professor Muhammad Syarifuddin dalam setiap putusan perkara yang ditanganinya.

Salam!

 

Artikel Terkait