Opini

Rekonsiliasi: EBT Untuk Pemulihan Ekonomi Nasional

Oleh : indonews - Senin, 15/03/2021 12:43 WIB

Dr. Ir. Agus Puji Prasetyono, M.Eng., IPU., anggota Dewan Energi Nasional Republik Indonesia Periode 2020-2025. (Foto: ist)

 

Oleh: Dr. Ir. Agus Puji Prasetyono, M.Eng., IPU.*)

INDONEWS.ID –Destruktifikasi ekonomi terhadap makna kemandirian nasional merupakan sebuah ketidakseimbangan ekosistem industri, yaitu ketika industri memiliki “ketidakmampuan” untuk tetap konsisten dalam menjaga stabilitas produksi, dan selalu memiliki reaksi negatif terhadap setiap guncangan termasuk berbagai akibat yang menyertainya.  Kemandirian ekonomi terdestruktif ketika industri tidak memiliki “daya tahan” untuk melawan guncangan tersebut.

Pada setiap sistem penciptaan dan operasionalisasi industrial zone di Indonesia berlaku “adopsi” perhitungan pengeluaran biaya minimal dan efisien. Namun demikian sistem operasionalisasi tersebut bisa berdampak pada “tingginya” biaya logistik untuk mendistribusi hasil industri menuju pasar global. Dengan demikian, industrial zone yang telah tumbuh dan berkembang di Indonesia terutama di Pulau Jawa perlu dilakukan penataan ulang sistem logistiknya secara terstruktur dalam tata ruang wilayah yang memadai. Sistem logistik itu harus berorientasi pada pencapaian atau terwujudnya fungsi mendekatkan seluruh komoditas industri dalam negeri menuju pasar ekspor yang memiiki efisiensi dan ketahanan yang tinggi terutama di Provinsi yang memiliki keunggulan geo-strategis, seperti; Aceh menuju pasar Asia, Kalimantan menuju pasar China, dan Nusa Tenggara menuju pasar Australia dan oceania. Jika penataan pintu gerbang export-import ini berhasil maka upaya “pemulihan ekonomi nasional” akan terwujud. Paradigma ini mendorong para teknokrat berperan dalam meningkatkan kapasitas Iptek sistem produksi yang ramah lingkungan, membuat formulasi bisnis model yang tepat, serta mengawal sistem inovasi yang sesuai. Keberlangsungan pengembangan wilayah ini ditentukan oleh seberapa tinggi emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan. Akibatnya pemanfaatan EBT dalam bauran energi nasional menjadi meningkat dan optimal.

Pada berbagai studi, ketahanan dan kemandirian energi merupakan indikator utama dan strategis dalam rangka membangun perekonomian di setiap negara, termasuk Indonesia.  Lebih dari itu banyak negara telah berhasil menciptakan satu pola “keseimbangan” antara “energi dan industri” sebagai tradisi turun temurun. Tradisi itu dapat dijadikan pertimbangan dalam mengintegrasikan semua aspek guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun dengan degradasi lingkungan hidup dan efek gas rumah kaca memaksa “energi dan Industri” mencapai keseimbangan baru. Padatnya industry di sebuah Kawasan berakibat buruknya kualitas udara di Kawasan itu.

Rekonsiliasi diperlukan di berbagai kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan pemanfaatan EBT. Dan EBT merupakan parameter kunci dalam membangun system logistic yang efisien. Oleh karena itu ritme “keseimbangan pasokan energi” EBT terhadap Industri harus tersusun objektif di dalam satu rancangan model ekonomi makro prediktif yang mampu menghitung kebutuhan jumlah total EBT di berbagai sector untuk mendorong bangkitnya perekonomian terutama pada pasca pendemi.

Kini, Model ekonomi makro prediktif dipergunakan oleh setiap negara untuk memahami dan mengimplementasikan neraca ketahanan dan kemandirian energi. Model itu terintegrasi dengan memasukkan variabel emisi CO2 yang keluar dari proses pembakaran bahan bakar. Naiknya emisi CO2 ini sejalan dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan industri, dan ekonomi, serta pola konsumsi energi berbagai sektor lainnya. Model itu, memungkinkan terjadinya keseimbangan ketersediaan pasokan energi bagi industri sehingga memiliki dampak signifikan terhadap pertumbuhan dan pemulihan ekonomi negara (The Energy Balance, Roberta Quadrelli, Head of Energy Balances, Prices, Emissions, RDD & Efficiency Statistics).

 

Bagaimana memanfaatkan EBT di dalam skema tersebut??

Pada umumnya pembangunan sistem logistik dan operasionalisasinya “tidak” diciptakan menggunakan satu model yang sama. Justifikasi kawasan industri merupakan proses “penting” dan “strategis” yang berimplikasi pada “ketertarikan” entitas industri sebagai penyedia pasokan (supply), untuk memenuhi kebutuhan pelanggan (demand). Salah satu proses yang digunakan untuk membangun Industrial Zone dengan system logistic dan operasionalisasinya secara efektif dan efisien adalah menggunakan skema Own Design Manufacturing (ODM). Skema itu mengutamakan keunggulan kompetitif, sesuai dengan tren-ekonomi global, dan berbasis pada keunikan lokal.

Misalnya, menciptakan landscape sistem logistik dan operasionalisasi seribu produk industri bertaraf nasional di Provinsi Aceh, sebagai penggerak devisa dan pembangunan ekonomi nasional, dapat disimulasikan sebagai satu penciptaan desain Outpost Factory Mode.  Desain tersebut digunakan untuk memberikan “motivasi” dalam melakukan seluruh aktivitas ekonomi, yaitu ketika memiliki; (1) keunggulan kepemilikan (ownership) bagi industri sebagai provider rantai pasok nasional dan internasional, (2) keunggulan internasional, yaitu “merubah” permasalahan biaya logistik tradisional yang mahal dengan tingkat manajemen yang rendah, dan (3) Keunggulan lokasi, sebagai driven factor dalam proses internasionalisasi.

Kembali, ketika Provinsi Aceh terupdate sebagai lokus model Outpost Factory, maka provinsi ini akan berada pada posisi strategis di garis depan (export-import gate) pasar Asia, Timur Tengah hingga Eropa. Bahkan hal itu akan “memainkan” peran tidak hanya sebagai pintu gerbang export produk industri nasional, namun terlibat aktif dalam mengumpulkan informasi terkait supply dan demand. Ketika landscape sistem logistik dan operasionalisasi ini berada dalam sebuah mata rantai pasok utama, maka secara otomatis Industri berada dalam aliran produktivitas dan daya saing yang tidak pernah berhenti. Akibatnya ekosistem inovasi akan tumbuh termasuk R and D akan berkembang membangun system produksi yang semakin efisien. Sistem kontinyu yang berada dalam rantai pasok utama ini memerlukan EBT sebagai penggerak yang murah, handal, stabil, dan ramah lingkungan.

Oleh karena itu, diperlukan “sistem dinamis” Renewable Energy Supply Chain (RESC) dalam mengintegrasi pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk mendukung manajemen Outpost Factory tersebut, agar seluruh pengaplikasian “teknologi” pada seluruh bisnis proses di dalam bisnis model yang akan disusun dapat dioperasionalisasikan dengan maksimal.

 

Sistem Dinamis pada Renewable Energy Supply Chain (RESC)

Di Indonesia, potensi sumber EBT tersedia di berbagai lokus, namun eksploitasinya baru sebatas energi terbarukan saja, seperti; panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut, yang notabene selalu “fluktuatif” terhadap kapasitas dan waktu operasi pembangkit. Model penyimpanan energi atau memanfaatkan bauran EBT dari berbagai sumber sangat diperlukan. EBT juga berpotensi untuk memenuhi kebutuhan listrik level “rendah” rumah tangga, area komersial dan umum.

Namun untuk memanfaatkan desain Outpost Factory Mode pada landscape sistem logistik dan operasionalisasi seribu produk industri nasional di beberapa Provinsi diperlukan listrik yang stabil, kontinyu dan handal, tidak akan bisa hanya mengandalkan Energi Terbarukan.  “Keseimbangan pasokan” dalam manajemen Outpost Factory dapat berjalan dengan baik ketika pengaplikasian “teknologi” pada seluruh bisnis proses dapat dijalankan dengan menggunakan sumber EBT yang kuat, yaitu jika menggunakan opsi; 2GW Pressurized Water Reactor NPP (Nuclear Power Plant/PLTN), Pembangkit Hidro, Panas bumi, Hidrogen, Gas Metana Baru (coal bed methane, CBM), batu bara tercairkan (liquified coal), atau batu bara tergaskan (gasified coal).

Implementasi (konstruksi) Renewable Energy Supply Chain (RESC) di bawah skema Own Design Manufacturing (ODM) Outpost Factory Mode pada landscape sistem logistik dan operasionalisasi seribu produk industri nasional di Provinsi Aceh merupakan update dari sistem manajemen logistik global, dari berbasis konvensional (efisiensi) menjadi peningkatan sistem operasionalisasi logistik yang fleksibel dan berketahanan (resiliensi). Implementasi RESC juga memiliki kemampuan dalam menyediakan pelayanan logistik global, utamanya kepada klien (customers) internasional.

Kalkulasi Renewable Energy Supply Chain terhadap Own Design Manufacturing (ODM) Outpost Factory Mode pada landscape sistem logistik dan operasionalisasi seribuproduk industri nasional akan “terkait” langsung dengan; (1) manajemen inventori, (2) forecasting, (3) transportasi dan (4) optimasi jaringan transportasi melalui penerapan metode RESC pada jaringan rantai pasok energi yang berlaku saat ini. RESC juga memiliki kesamaan jika dibandingkan dengan model supply chain energi lainnya, komponen RESC juga mencakup; pekerjaan fisik, informasi digital, dan arus neraca keuangan.

Jika sumber EBT yang akan dipergunakan adalah 2GW Pressurized Water Reactor NPP (Nuclear Power Plant/PLTN), maka penggunaan dan proses distribusi EBT tersebut merupakan major tasks di dalam RESC, karena sistem ini “fokus” memperhatikan “adanya” variabel yang memerlukan pengelolaan dan pengendalian yang efektif, seperti; sistem pendingin, security and risk management, variabilitas, dan kemampuan manuver atau fleksibilitas tenaga listrik yang  merupakan komponen variabel pada semua proses RESC yang memiliki korelasi terhadap; penyimpanan, proses pendistribusian, efisiensi, dan sistem efisiensi berbasis aplikasi secondary.

Kesadaran tentang pentingnya Industri berbasis konsep green-manufacture, green-logistic system dan green-product, dengan mengoptimalkan pendekatan circular ekonomi sebagai salah satu upaya menjaga keberlanjutan dalam meningkatkan pengelolaan rantai pasokan energi terbarukan dari perspektif holistik melalui pendekatan aspek dinamis, sehingga langsung berdampak terhadap pemulihan ekonomi yang berkelanjutan.

Sistem Dinamisasi 2GW-PWR NPP Renewable Energy Supply Chain merupakan solusi dari seluruh permasalahan kapasitas maupun kehandalan pembangkit EBT, baik terhadap model Outpost Factory pada landscape system maupun proses operasionalisasi dalam rangka mencapai target pembangunan ekonomi. Dengan termanfaatkannya potensi maksimal EBT di dalam kawasan Outpost Factory, maka akan diikuti dengan meningkatnya kinerja sumberdaya manusia di dalam kawasan mengikuti prinsip-prinsip tren ekonomi global, yaitu ketika; (1) struktur operasionalisasi Outpost Factory dapat mempengaruhi dan menentukan perilaku pasar; sebagai contoh; hadirnya teknologi yang dapat menjadi solusi dalam menjawab kompleksitas interaksi komunikasi pada rantai pasok (supply) diantara berbagai komponen (seperti; pelanggan, pengecer, distributor, pabrikan, dan pemasok bahan baku) dalam hal pemenuhan “permintaan” pelanggan terhadap aliran bahan baku, (2) memungkinkan Struktur sistem organisasi Outpost Factory yang didukung oleh teknologi “soft variable” (yaitu ketika pola komunikasi digital mempengaruhi pemahaman mendalam tentang perilaku konsumen di masa depan), dan (3) berdampak langsung dan mampu merubah perilaku “mental” pasar yang berlaku saat ini.

 

Implikasi

Sistem Integrasi green ecosystem dan circular ekonomi di dalam RESC memiliki peluang agar industri nasional dapat meningkatkan kapasitas produksi berbasis pada pelestarian lingkungan, memiliki kelayakan ekonomi jangka panjang, memiliki keberlanjutan di dalam interaksi global.

Dampak terhadap pemanfaatan RESC secara langsung memungkinkan terwujudnya peningkatan PDB nasional melalui; manfaat pajak, subsidi modal investasi, biaya tenaga kerja yang lebih kompetitif, dan lokus transportasi yang nyaman serta dekat dengan pasar, sehingga biaya produksi dan operasi menjadi lebih rendah dan dapat diukur.

Dalam rangka membangun dan memulihkan ekonomi, proses Rekonsiliasi menjadi perlu dilakukan terutama dalam rangka meningkatkan ketahanan energi berskala besar yang handal dan ramah lingkungan.

*) Penulis adalah anggota Dewan Energi Nasional Republik Indonesia Periode 2020-2025.

Artikel Terkait