Nasional

Indonesia Harus Desak Pembebasan Aung San dan Presiden Win Myint Sebagai Syarat Dialog dan Rekonsiliasi

Oleh : very - Selasa, 23/03/2021 19:28 WIB

Kudeta Militer di Myanmar, Kemenlu Imbau WNI Tenang. (Foto: AFP)

Myanmar, INDONEWS.ID -- Sudah hampir dua bulan belakangan ini situasi di Myanmar semakin memanas. Ribuan rakyat di sejumlah kota seperti Yangon dan Mandalay terus turun ke jalan memprotes kudeta militer dan menuntut pembebasan Daw Aung San Suu Kyi dan tahanan lainnya. Sampai hari ini tercatat setidaknya 1.800 orang ditangkap dan 183 orang tewas di mana 20 di antaranya merupakan pemerotes damai yang ditembak aparat militer.

Kudeta militer telah menghancurkan transisi menuju demokrasi yang berjalan satu dekade terakhir di Myanmar dan menganulir pemilihan umum yang baru saja dilaksanakan pada November lalu. Pemilihan umum yang diperkirakan banyak pengamat kembali akan dimenangkan secara mayoritas oleh partai NLD dibawah pimpinan Aung San Su Kyi.

“Sebagai bagian dari komunitas ASEAN dan juga mengemban amanat dalam pembukaan UUD 1945 yang menekankan peran Indonesia untuk ikut aktif melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sudah menjadi kewajiban Indonesia untuk mengambil tindakan nyata merespon situasi politik di Myanmar,” ujar Wakil Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos, dalam siaran pers kepada Indonews.id, di Jakarta, Selasa (23/3).

Apalagi, kata Bonoar, sejarah menunjukkan Myanmar atau dulu dikenal dengan nama Burma turut membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan mengirimkan bantuan beras dan membolehkan pesawat yang membawa diplomat Indonesia untuk mengkampanyekan kemerdekaan di dunia internasional bisa transit padahal lintas udara internasional yang melewati sejumlah negara telah di blokade oleh pemerintah sekutu.

Sejauh ini, katanya, pemerintah Indonesia bersama Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei —yang tahun ini menjadi Ketua ASEAN—telah mengupayakan pertemuan dengan pemerintah negara ASEAN lainnya dan sejumlah negara sahabat mencari solusi bagi penyelesaian kemelut politik di Myanmar. Namun sejauh ini belum ada kesepakatan solusi yang efektif. Terbukti dari pertemuan online para Menlu ASEAN 2 Maret lalu yang juga dihadiri wakil dari junta milter Myanmar.

Seperti diketahui, hari ini kembali Presiden Jokowi menghimbau agar kekerasan di Myanmar dihentikan dan mendorong pertemuan tingkat tinggi ASEAN untuk membahas situasi di Myanmar.

Indonesia memang berharap bisa mendorong berlangsungnya dialog di Myanmar sembari berharap ada ruang yang lebih terbuka dan memungkinkan transisi demokrasi yang inklusif.

Persoalannya adalah apakah prakarsa Indonesia dalam mendorong dialog di Myanmar bisa dimulai dalam kondisi setara dan adil sementara Presiden yang sah di Myanmar dan sejumlah pimpinan partai NLD berada dipenjara.

“Bukankah tanpa pembebasan mereka itu nantinya hanya akan menjadi dialog yang tidak setara dan lebih menguntungkan pihak junta militer. Lagipula kalau ASEAN hendak memprakarsai dialog seharusnya pemerintah negara ASEAN juga membuka saluran komunikasi dengan pihak NLD dan masyarakat sipil Myanmar termasuk tokoh agama,” ujarnya.

Peneliti Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan SETARA Institute Kidung Asmara Sigit, menambahkan, sekarang ini komunikasi pemerintah negara ASEAN hanya sepihak dengan junta militer dan itu terkesan memberikan legitimasi terhadap kekuasaan mereka.

Karena itu, pemerintah negara-negara ASEAN sudah seharusnya mendesak diberikannya akses bagi perwakilan mereka untuk bertemu dengan Aung San Suu Kyi beserta tahanan lainnya.

Indonesia, katanya, mungkin tidak perlu mengikuti langkah tegas pemerintah AS, Inggris, atau Australia yang memberikan sanksi di bidang ekonomi seperti embargo perdagangan dan blokir keuangan.

“Tetapi pemerintah bisa mendesak junta militer untuk membebaskan Aung San Suu Kyi dan tahanan lainnya sebagai prasyarat untuk dialog dan rekonsiliasi,” ujarnya.

Selain itu Indonesia juga bisa mendesak dicabutnya pembatasan media dan dipulihkannya koneksi internet. Termasuk mendesak agar aparat militer tidak menggunakan kekerasan dalam menghadapi pemerotes damai.

Kidung Asmara mengatakan, sebagai Presiden dari negara terbesar di ASEAN, Jokowi ditunggu kiprah kepimpinannya di ASEAN. Indonesia harus mampu menjadi eksemplar bagi negara-negara ASEAN lainnya.

“Indonesia saat ini memang bukan Ketua ASEAN tapi tak terbantahkan secara de facto adalah pemimpin ASEAN, Indonesia seharusnya mampu mendorong perubahan pendekatan dengan menyuarakan posisi yang lebih tegas terhadap kemelut politik di Myanmar,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait