Nasional

Iluni Universitas Indonesia Nilai Wacana Demokrasi Indonesia saat Ini Mengkhawatirkan

Oleh : Mancik - Kamis, 25/03/2021 13:15 WIB

Diskusi daring Forum Diskusi Salemba Policy Center ILUNI UI dengan tema “Merefleksikan Kembali, Demokrasi Kita di Persimpangan Jalan?”.(Foto:Dok.Iluni UI)

Jakarta, INDONEWS.ID - Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) Andre Rahadian mengatakan, berbagai wacana demokrasi belakangan ini mengkhawatirkan.

"Berbagai isu dan wacana yang timbul belakangan ini terkait masa depan demokrasi yang jadi cita-cita reformasi sudah mengkhawatirkan,” ungkap Andre dalam sambutannya di acara diskusi daring Forum Diskusi Salemba Policy Center ILUNI UI dengan tema “Merefleksikan Kembali, Demokrasi Kita di Persimpangan Jalan?”, Jakarta, Rabu (24/3/2021)

Andre menyoroti, adanya stigma terhadap suara yang berbeda sebagai lawan. Wacana perubahan masa kepemimpinan dan keributan dalam partai politik yang melibatkan pihak lingkar kekuasaan pun menjadi ancaman terhadap demokrasi Indonesia. Untuk itu, dia menekankan segenap elemen bangsa untuk mengawasi dan menjaga jalannya demokrasi.

“Kami membuka diskusi bersama para pakar dengan harapan alumni UI dan masyarakat bisa dapat informasi yang tepat dan benar. Follow up dari diskusi ini akan ada kertas kerja dan informasi pemberitaan agar lebih banyak lagi masyarakat yang memahami isu demokrasi yang terjadi saat ini,” imbuh Andre.

Pada kesempatan yang sama, Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Bivitri Susanti menilai, pandangan yang berlawanan dengan pemerintah hampir tidak ada. Kasus kongres luar biasa Partai Demokrat jadi contoh konkret dari bacaan indeks demokrasi.

Fakta menunjukkan, Ketua Umum Kongres Luar Biasa Partai Demokrat bukan kader partai dan ia terafiliasi langsung dengan pemerintah.

”Isunya ada dua, satu pengambil alihan partai oleh pihak luar, yang kedua benturan kepentingan. Ini conflict of interest yang nyata sekali antara ketua hasil ”KLB” dengan pemerintah,” ujar Bivitri.

Lebih lanjut, Bivitri menyayangkan, fokus kerja DPR dan pemerintah saat ini terpecah untuk hal-hal yang tidak berdampak langsung dengan kepentingan rakyat. Salah satunya berkaitan dengan wacana amandemen.

Ia mempertanyakan implikasi hukum konkret dari wacana amandemen tersebut. Selain itu, implikasi hukum dari wacana presiden tiga periode juga jadi tanda tanya. Menurutnya, perubahan generasi kepemimpinan jadi terancam, serta oligarki menginginkan kekuasaannya terus menerus dipelihara.

"Bukan masalah Pak Jokowi tapi apa yang ada di sekelilingnya. Nggak ada yang omongin sebelum ini, tapi tiba-tiba elit politik yang membicarakan. Harus diperhatikan betul siapa yang membicarakannya,” tukasnya.

Sementara itu, Anggota Dewan Pembina PERLUDEM Titi Anggraini memaparkan, berdasarkan studi Global State of Democracy international IDEA, ada dua persoalan besar praktik demokrasi di Indonesia. Persoalan pertama adalah angka korupsi, yang kedua adalah kesetaraan gender (gender equality).

“Tingkat terbebas korupsi kita masih di bawah rata-rata dari Asia Tenggara. Artinya, praktik korupsi kita di atas rata-rata Asia Tenggara, dan itu terkonfirmasi dengan rilis dari Corruption Perception Index yang menyebutkan kita mengalami penurunan peringkat pada tahun 2020. Yang kedua jadi catatan adalah gender equality. Kesetaraan gender kita masih di bawah rata-rata Asia Tenggara,” ungkap Titi.

Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI), Firman Noor,membeberkan beberapa catatannya terkait kondisi demokrasi saat ini.

Menurutnya, meski demokrasi berjalan baik, tapi oligarki juga berjalan baik. Sehingga, Indonesia jadi salah satu negara di mana demokrasi dan oligarki bisa berjalan beriringan.

"Potensi oligarki mulai ada di dalam proses internal partai, dari proses pencalonan kandidat dalam kontestasi elektoral, sampai pembuatan kebijakan dan eksekusi kebijakan melibatkan oligarki. Dalam konteks elektoral, ada catatan sekitar 98 persen calon kepala daerah sangat bergantung pada oligarki,” ungkapnya.

Selain oligarki, Firman juga menekankan tidak maksimalnya fungsi checks and balances. Hal ini terlihat dalam lemahnya mayoritas peran partai sebagai satu elemen kritis dalam kehidupan politik.

"Bahkan kondisi ini menular ke DPR, bahkan kehakiman, ketika berhadapan dengan eksekutif justru cenderung akomodatif seperti dalam kasus KPK, omnibus law, dan isu amandemen. Jadi intinya, satu situasi yang tidak menguntungkan karena checks and balances relatif lemah padahal ini esensi paling penting dalam demokrasi,” pungkasnya.*

 

 

Artikel Terkait