Nasional

Hijrah dari Narasi Kebencian dan Perpecahan dengan Menjadi Manusia Digital

Oleh : very - Sabtu, 30/07/2022 23:42 WIB

Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia (UI), Dr Devie Rahmawati, S. Sos, M. Hum. (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Jagad maya masih disibukkan dengan berbagai konten narasi yang bernuansa hasutan, cacian, provokasi dan adu domba. Banyak sekali kasus hukum di Indonesia yang terkait dengan ujaran kebencian.

Karena itulah, Indonesia membutuhkan upaya dan gerakan bersama untuk hijrah dari narasi kebencian yang berpotensi memecah belah persatuan bangsa, sebab persoalannya bukan sekadar dampak hukum, namun berimplikasi sosial pada retaknya persatuan menjadi taruhannya.

Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia (UI), Dr Devie Rahmawati, S. Sos, M. Hum, menilai, sejak era pandemi Covid-19 masyarakat Indonesia pada khususnya mengalami kondisi ‘Mendadak Digital’. Akibatnya masyarakat seakan belum siap untuk hidup dan bermasyarakat di dua dunia baik dunia maya dan dunia nyata.

“Karena kita ini mendadak digital, dan kita ini tidak siap harus hidup di dua dunia baik dunia maya dan dunia nyata. Kalau sopan santun, tata krama di dunia nyata kan kita dari kecil sudah dilatih, tapi kehiduan di ruang digital, kita belum tahu bagaimana cara hidupnya,” ujar Dr Devie Rahmawati, di Jakarta, Jumat(29/7/2022).

Dirinya melanjutkan, untuk itu masyarakat juga harus dituntut untuk menjadi Manusia Digital yang memiliki 4 aspek dalam dirinya agar mampu hidup dan bersosialisasi dengan baik khususnya di ruang dunia maya, yaitu Keterampilan, Etika, Budaya, dan Keamanan Digital.

“Kalau empat aspek ini dikuasai maka insyaallah masyarakat akan aman dan nyaman. Jangan hanya menekankan pada aspek keterampilan, tapi lupa aspek etika, budaya dan keamanan digital. Sehingga empat hal itu sebagai pilar yang wajib dikuasai kalau ingin hidup paripurna dan sempurna di ruang digital,” jelas wanita yang juga berkarir sebagai praktisi komunikasi professional ini seperti dikutip dari siaran pers Pusat Media Damai (PMD) BNPT.

Pasalnya, dewasa ini sering dijumpai kasus dan fenomena yang cukup miris, dimana banyak tokoh dan elite yang justru membuat kegaduhan di jagad maya melalui narasi kebencian yang menjurus pada perpecahan di masyarakat.

Hal ini semakin diperparah dengan karakter sosial masyarakat Indonesia, yaitu Patron-Klien atau ‘Lokomotif-Gerbong’, yang membuat masyarakat cenderung lebih sering mengikuti apa yang dicontohkan oleh elite, penguasa atau pemimpinnya.

“Kehadiran para tokoh dan elite menjadi krusial, karena Indonesia inikan karakter sosialnya patron-klien, atau lokomotif-gerbong. Sehingga cara percepatannya adalah terlebih dahulu memastikan para tokoh, elit itu memiliki empat hal tadi itu. Karena mereka akan menjadi contoh,” kata perempuan yang pernah menjabat sebagai Direktur Kemahasiswaan Universitas Indonesia ini.

Elite menurut Devie, merupakan kelompok yang dicirikan dengan 4K, yaitu Kekuasaan, Kekayaan, Ketenaran dan Kewibawaan yang dalam hal ini tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat. Dan kelompok 4K, menurutnya merupakan kelompok yang berperan besar dalam percepatan hijrah dari narasi kebencian menuju jagad maya yang positif.

“Orang 4K atau elite ini harus yang duluan kita bantu agar memiliki sikap yang paripurna di ruang digital, yang kita sebut dengan cakap digital. Begitu 4K ini punya kecakapan digital tadi, insyaallah masyarakat kita akan ngikut dan lebih mudah,” ujar Ketua Program Studi (Prodi) Vokasi Komunikasi UI ini.

Dalam kesempatan itu, salah satu pendiri Prapancha Research dan website berita Selasar.Com ini juga menilai, fenomena para elite dan tokoh yang terjerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) hingga ke meja hijau akibat narasi kebencian.

Hal ini peraih Doktoral dari Universitas Padjadjaran dan Swansea University, Inggris ini bukan semata-mata karena lemahnya regulasi pemerintah terkait ujaran kebencian di ruang digital. Tetapi lebih dari itu Devie menegaskan perlu adanya dukungan terkait program pemerintah yang mendorong terciptanya masayarakat yang cakap digital.

“Bukan karena lemahnya regulasi, tapi kita semua gagap digital. Semua orang nggak ada yang siap dan perlu belajar. Makanya negara punya program yang namanya ‘Makin Cakap Digital’  itu tadi supaya orang punya etika, budaya, keterapilan dan keamanan digital,” ujar peraih gelar Magister dari program studi Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI ini mengakhiri. ***

 

Artikel Terkait