Opini

Kemelut Partai Oposisi dan Masa Depan Demokrasi

Oleh : Mancik - Kamis, 01/04/2021 11:53 WIB

Tenaga Ahli DPR RI Periode 2019-2024, Wilibaldus Kuntam.(Foto:Istimewa)

Oleh: Wilibaldus Kuntam.*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Belakangan ini perhatian publik tertuju pada kemelut Partai Demokrat. Banyak alasan publik perbincangkan kelemut ini. Posisi Partai Demokrat sebagai oposisi pemerintah saat ini adalah salah satu alasannnya. Beragam spekulasi pun muncul terutama spekulasi soal kepengurusan yang sah antara kubu Moeldoko dan AHY.

Spekulasi terjawab saat Kemenkumham menolak kepengurusan kubu Moeldoko (Kompas,31/3/2021). Meski begitu, kemelut parpol oposisi ini membawa banyak hikmah dan pelajaran bagi siapapun yang ingin merebut kekuasaan. Juga penting bagi parpol yang sedang berkuasa dan parpol lainnya dalam membangun demokrasi ke depan.

Semenjak terpilih menjadi ketua umum versi KLB, Moeldoko bungkam. Aksi bungkam mantan panglima ini cukup lama. Hampir tiga minggu. Akhirnya Moeldoko muncul di ruang publik dan memberikan pernyataan yang relatif singkat. Banyak hal yang disampaikannya. Ia menampik keterlibatan pihak istana dalam kemelut Partai Demokrat.

Selain itu, Moeldoko menganggap perebutan kekuasaan Partai Demokrat punya pengaruh dengan masa depan demokrasi. Ia tegas bilang: saya didaulat menjadi ketua umum tak hanya untuk menyelamatkan partai tapi menyelamatkan bangsa (Kompas, 27/03/2021).

Keselamatan Demokrasi

Saat Moeldoko mengatakan bahwa perebutan kekuasaan pada Partai Demokrat bertujuan menyelamatkan demokrasi, itu artinya saat ini demokrasi sedang bermasalah. Begitu logisnya. Di sini publik tentu bertanya begini: siapa yang membuat demokrasi bangsa ini bermasalah? Jawabannya tentu pemimpin khususnya pemimpin parpol. Dari pernyataan Moeldoko sendiri jelas bahwa agar demokrasi tak bermasalah maka puncak kekuasaan partai mesti dipegang oleh orang yang benar dan orang benar itu adalah Moeldoko sendiri.

Fenomena perebutan kekuasaan pada Partai Demokrat adalah kejadian pertama kali di negeri ini. Ada yang tak percaya ini terjadi, bahkan tak ingin terjadi tapi nyatanya sudah terjadi. Apa ini persoalan baru di negara demokrasi? Tentu tidak. Negara lain sudah mengalaminya. Saya sodorkan contoh berikut. Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menulis kematian demokrasi dalam buku dengan judul "How Democracy Dies".

Di situ, mereka menulis riset soal bagaimana demokrasi bisa mati. Kematian tragis demokrasi terjadi saat kekuasaan dikendalikan oleh penguasa yang menolak aturan main demokrasi (Levitsky, 2019). Banyak contoh soal ini. Donald Trump adalah salah satu contoh nyata. Sebelum menjadi presiden, ia menolak aturan main demokratis yang ada di negerinya. Tak hanya itu, demokrasi mensyaratkan etos. Setiap ada usaha untuk menyelamatkan demokrasi, sistem dan etos mesti menjadi rujukan utama.

Sistem dan Etos Demokrasi

Demokrasi menyangkut sistem dan etos. Demokrasi sebagai sebuah sistem politik terkait dengan prosedur atau aturan main. Tak hanya aturan main yang penting tapi juga etos demokrasi. Kita bisa sebut ini dengan demokrasi sebagai etos politik. Etos berkaitan dengan nilai moral seperti kebenaran, keadilan, tanggungjawab, kejujuran dan seterusnya.

Setiap perebutan kekuasaan, sistem dan etos adalah rujukan yang utama. Dari pengalaman matinya demokrasi di negara lain, penguasa yang cenderung menolak aturan main dan etos demokrasi cenderung menjadi aktor utama yang menggali kubur kematian demokrasi.

Itu terjadi di negara lain, bagaimana dengan negeri ini? Kita perlu berkaca pada kemelut Partai Demokrat. Kemelut partai oposisi ini adalah percobaan awal mematikan demokrasi. Bila terlena, kita bisa alami nasib sama seperti di negara seberang, kecuali bila memang ingin agar demokrasi mati.

Partai Demokrat bergejolak karena ambisi perebutan kekuasaan tanpa prosedur dan etos. Prosedur yang dimaksud adalah soal aturan internal partai dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Moeldoko terpilih menjadi ketua umum tanpa menghargai prosedur dan etos. Ibarat seorang pendaki gunung, ia mencapai puncak dengan melawan aturan main. Padahal penguasa yang demokratis mesti mengikuti aturan main dan etika untuk mencapai puncak kekuasaan.

Perlawanan kubu Agus Harimurti Yudhoyono terhadap kubu Moeldoko mesti dilihat sebagai bentuk perlawanan terhadap upaya mematikan demokrasi. Ini bukan soal demokrasi dalam Partai Demokrat sebagai partai opisisi saja tapi soal demokrasi bangsa.

Pelajaran ke Depan

Kita mendapat banyak pelajaran dari kemelut Partai Demokrat. Saat Partai Demokrat menjalankan perannya sebagai "setan pengganggu" atau advocatus diaboli terhadap pemerintahan Jokowi, banyak kalangan yang menduga kepengurusan ketua umum AHY mungkin dinyatakan tak sah oleh pemerintah melalui Kemenkumham. Kenyataannya tidak begitu.

Keputusan pemerintah justru menolak kepengurusan Partai Demokrat kubu Moeldoko. Ini tentu disambut dengan gembira. Gembira karena pemerintah ingin parpol oposisi tetap berkembang. Demokrasi tanpa oposisi memang sedamai kuburan dan segersang padang pasir. Pemerintah tentu menyadari bahwa tanpa partai oposisi, pemerintah akan cenderung otoriter.

Keputusan Kemenkumham pun memberi pesan bahwa pemerintah tegakkan hukum dalam sengketa parpol, bukan utamakan kekuasaan. Tugas pemerintah seharusnya begitu. Hukum harus ditegakkan. Ia tak boleh dikalahkan kekuasaan sekalipun kekuasaan selalu berhubungan erat dengan hukum.

Kemelut ini pun ada hikmah dan pelajaran berarti bagi siapapun terutama orang yang ingin merebut kekuasaan. Dari sana kita tahu bahwa perebutan kekuasaan oleh yang melawan prinsip demokrasi akan mendapat perlawanan dari siapapun. Begitu pun bagi parpol. Parpol jangan ceroboh atau gegabah mencari pemimpin.

Lihatlah rekam jejak sebelum dipilih menjadi pemimpin. Orang yang melawan prosedur dan etos demokrasi semestinya tak diberi ruang mencapai puncak kekuasaan. Ini penting sebab memberikan kekuasaan pada orang yang menolak aturan main dan etos demokrasi sama dengan merusak masa depan demokrasi.

Penulis adalah Tenaga Ahli DPR RI Periode 2019-2024.*)

 

Artikel Terkait