Nasional

Vaksin Nusantara: Sebuah Pencermatan dari Seorang Saintis

Oleh : Rikard Djegadut - Sabtu, 17/04/2021 15:45 WIB

Peneliti Lily Hikam (Foto: ist)

Oleh: Lily Hikam*)

Opini, INDONEWS.ID - “Saya membayangkan diri saya sebagai virus atau sel kanker dan mencoba merasakan seperti apa rasanya.” Jonas Salk, M.D.- penemu vaksin Polio.

Bagi sebagian orang, pandemi COVID-19 adalah berkah tersembunyi. Virus SARS-CoV2 dan penyakit yang ditimbulkannya, COVID-19, sangatlah baru dan merusak sehingga mendatangkan malapetaka di hampir setiap lapisan masyarakat.

Tingkat keparahan dan dampak pandemi ini hampir tidak sebegitu menakutkannya dibandingkan dengan ketidakpastian kapan atau apakah bisa pandemi ini akan berakhir.

Sebagai referensi, pandemi terakhir dengan skala sebesar ini adalah pandemi influenza Spanyol (Spanish Influenza) yang berlangsung kurang lebih dua tahun, dari 1918-1920.

Sebelumnya adalah Wabah Hitam yang membunuh 25-60% populasi benua Eropa dan berlangsung selama tujuh tahun (1346-1353) [1].

Menambah ketidakpastian ini adalah kemungkinan bahwa virus ini mungkin akan tetap ada dan menjadi bagian dari kehidupan kita di masa depan, sama seperti virus lainnya yang telah menyebar di dunia.

Maka, tidak mengherankan bahwa orang-orang sangat membutuhkan suatu obat dan cara untuk mengendalikan bencana ini, apa pun yang dapat membantu mereka merasa memiliki kendali atas hidup mereka yang telah dijungkirbalikkan oleh mikroorganisme submikroskopis yang bahkan tidak dapat bereplikasi tanpa tuan rumah.

Di saat-saat seperti ini, negara dan masyarakat beralih ke anggota masyarakat mereka yang sering kali terlupakan: para ilmuwan dan peneliti yang mengabdikan hidup mereka mempelajari penyakit-penyakit ini untuk menyembuhkan mereka dan mencegah kemunculannya pada populasi umum, tetapi diacuhkan karena penelitian mereka biasanya dianggap “terlalu mahal” atau “buang-buang uang dan waktu”.

Minimnya pemahaman dan apresiasi terhadap ilmu pengetahuan, penelitian dan pengembangan, serta metode ilmiah telah lama menjadi ciri masyarakat Indonesia.

Tentu, kami memberi tahu anak-anak kami untuk unggul dalam MIPA untuk prestise dan agar mereka lebih mudah menavigasi melalui proses penerimaan perguruan tinggi, tetapi hanya sebatas itu saja.

Pengeluaran penelitian dan pengembangan (R&D) Indonesia sebagai persentase dari GDP dilaporkan sebesar 0,226% pada tahun 2018 [2].

Bandingkan dengan pengeluaran R&D dari salah satu tetangga terdekat kita, Malaysia, yang mencapai 1,44% dari GDP mereka dan kita berada pada posisi yang sangat tidak menguntungkan dalam hal meningkatkan kemampuan ilmiah kita [3].

Dan itu telah menjadi sangat jelas sekarang lebih dari sebelumnya dengan pandemi yang merobek ilusi kesiapan dan kemampuan ilmiah dan mengungkapkan betapa tidak siapnya Indonesia dalam menangani bencana skala besar seperti pandemi.

Di Indonesia, bisa dikatakan bahwa pemerintah setengah hati memberlakukan kebijakan lockdown, dan terkadang kebijakan tersebut tampak paradoks satu sama lain (seperti adanya larangan mudik namun membuka kembali tempat wisata) dan bantuan ekonomi tidak memadai.

Dengan orang-orang yang seharusnya menjadi pihak penerima menerima kurang dari apa yang dijanjikan. Situasi ini diperburuk dengan ketidak pastian akan apa yang diperlukan untuk menyembuhkan penyakit ini.

Potensi vaksin untuk mengalahkan virus corona dengan cara membangkitkan kekebalan kawanan (herd immunity) telah dibahas setelah penyakit ini dinyatakan sebagai pandemi.

Indonesia telah menghabiskan sebagian besar pandemi mengembangkan varian vaksin kita sendiri, yang paling terkenal dan dibicarakan di media adalah Vaksin Merah Putih.

Vaksin ini berdasarkan teknologi protein rekombinan, di bawah naungan Lembaga Penelitian Biologi Molekuler Eijkman dan Bio Farma, badan usaha milik negara yang memiliki keahlian dalam pembuatan vaksin. Sekarang, vaksin ini masih dalam tahap pengembangan preklinik dengan perkiraan ketersediaan tanggal April 2022 [4].

Tentunya ini masih sangat lama bagi orang-orang yang ingin mendapatkan bantuan, tetapi untungnya pilihan vaksin lain tersedia untuk digunakan sekarang ada.

Vaksin yang paling banyak tersedia saat ini adalah vaksin Sinovac yang bahan bakunya diimpor ke Indonesia dari China dan diproduksi massal oleh Bio Farma. Vaksin lain seperti vaksin AstraZeneca yang penggunaannya dirusak kontroversi kehalalannya juga telah diberikan.

Baru-baru ini, jenis vaksin baru juga telah mengangkat kesadaran publik, tetapi bukan karena kemanjurannya. Varian vaksin baru yang diberi nama Vaksin Nusantara dan diperjuangkan oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto ini menarik perhatian publik karena cara pengembangnya mengiklankan vaksin ini sebagai satu-satunya vaksin yang dapat memberikan kekebalan seumur hidup kepada penerimanya [5] .

Namanya sendiri, Nusantara, mengandung konotasi bahwa vaksin ini dikembangkan oleh para ilmuwan Indonesia, padahal sebenarnya dikembangkan oleh sebuah perusahaan Bioteknologi yang berpusat di Irvine, CA, Amerika Serikat.

Lantas, apa itu Vaksin Nusantara? Bisakah kita mengklasifikasikannya sebagai vaksin berdasarkan cara kerjanya? Dan apakah itu benar-benar memberikan kekebalan seumur hidup, seperti yang diklaim promotor?

Teknologi di balik Vaksin Nusantara adalah teknologi yang sama yang mendasari imunoterapi kanker. Saat ini, penelitian kanker telah difokuskan pada pelatihan sistem kekebalan pasien untuk mengenali sel-sel kanker dalam tubuh, menyerang dan menghancurkannya, dengan harapan para dokter dapat menghindari penggunaan obat-obatan dan perawatan seperti kemoterapi dan radioterapi yang menyebabkan efek samping yang signifikan pada pasien.

Imunoterapi kanker berkisar pada rekayasa sel-T untuk membawa reseptor antigen chimeric (CAR) khusus untuk jenis sel kanker yang akan ditargetkan. Sel T yang direkayasa ini, yang disebut sel CAR-T, awalnya adalah sel T (sel darah putih) yang diperoleh dari pasien atau aliran darah donor yang sehat dan diisolasi melalui apheresis leukosit.

Sel-sel ini kemudian akan dibiakkan dalam cawan petri sampai jumlahnya cukup tinggi sebelum ditransduksi (diberikan) dengan vektor yang mengandung protein dari antigen khimerik yang diinginkan oleh peneliti untuk diekspresikan oleh sel-T yang direkayasa.

Setelah sel CAR-T siap, mereka akan disuntikkan kembali ke pasien untuk memulai proses imunoterapi. Imunoterapi kanker menggunakan sel CAR-T telah disetujui oleh FDA AS sejak 2017 untuk mengobati leukemia limfoblastik akut sel B. Sampai saat ini, ada lima imunoterapi kanker yang menggunakan metode ini yang telah disetujui untuk digunakan oleh US FDA [6,7].

Selain merekayasa sel-T, imunoterapi kanker juga telah diperluas untuk melihat kemungkinan merekayasa sel lain dalam sistem kekebalan untuk aplikasi yang sama. Sel dendritik (DC) yang fungsi utamanya adalah menunjukkan antigen (bahan asing seperti potongan virus yang menyerang) ke sel T untuk menginduksi respons imun adaptif adalah topik hangat berikutnya dalam imunoterapi kanker.

Terapi atau vaksin berbasis DC ini adalah teknologi di balik vaksin Nusantara. Premisnya sederhana: isolasi DC dari pasien, paparkan DC ke spike protein SARS-CoV2 lalu suntikkan kembali ke pasien sehingga DC yang direkayasa ini akan menunjukkan spike protein SARS-CoV2 ke sel-T yang akan mengaktifkan sel T untuk menargetkan dan menghancurkan spike protein jika individu yang divaksin nantinya terpapar SARS-CoV2 [8].

Kedengarannya seperti strategi yang cukup bagus untuk pengembangan vaksin. Jadi apa masalahnya?

Pertama, vaksin berbasis DC ini akan mahal. Sangat mahal. Proses mengisolasi DC dari tubuh, membudidayakannya kemudian merekayasa adalah proses yang mahal dan membutuhkan fasilitas laboratorium klinis yang sesuai dengan praktik klinis yang baik (GCP) yang sejujurnya belum tersedia di Indonesia.

Mereka juga mengandalkan reagen kultur dan molekul perangsang yang bukan kelas GMP dan sangat mahal untuk diimpor ke Indonesia. Perkiraan biaya salah satu varian terapi sel CAR-T, Yescarta, adalah sekitar $ 375.000 dan $ 475.000 (sekitar Rp 5.447.587.500.00 - 6.900.277.500.00) [9].

Di saat yang kita butuhkan adalah vaksin yang akan tersedia secara luas untuk semua orang di negara ini, mengembangkan terapi yang mahal dan eksklusif bukanlah pendekatan yang baik untuk mencapai imunitas kelompok.

Apa yang akan dilakukan justru lebih jauh menyoroti kesenjangan antara orang kaya dan miskin di negara ini dan selanjutnya menunjukkan bahwa ekuitas perawatan kesehatan masih menjadi masalah besar di negara ini.

Kedua, data praklinis tentang vaksin ini sangat sedikit dan terbatas. Belum ada makalah yang dipublikasikan dengan tinjauan sejawat (peer review) tentang keamanan, kemanjuran, dan kesesuaian vaksin ini.

Justru, yang kita miliki adalah kata-kata promotor, mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, bahwa vaksin ini adalah karya ilmuwan Indonesia, yang sejak itu terbukti salah, dan akan menimbulkan kekebalan seumur hidup, satu lagi klaim palsu oleh mantan Menteri.

Teknologi di balik vaksin ini dipelopori oleh perusahaan bioteknologi Amerika bernama Aivita Biomedical yang menurut pengajuan di ClinicalTrials.gov adalah salah satu kolaborator dan telah mengembangkan terapi berbasis DC ini untuk diaplikasikan pada kanker, bukan COVID-19.

Data di ClinicalTrials.gov juga menunjukkan bahwa studi ini masih dalam uji coba fase I untuk menetapkan apakah vaksin ini aman, oleh karena itu agak terlalu dini untuk membuat klaim tentang kekebalan dan kemanjuran [10].

Masih ada tahap II dan III yang harus dilakukan yang akan menjelaskan lebih lanjut tentang kemanjuran dan kesesuaian vaksin ini untuk membantu mencegah infeksi COVID-19.

Terakhir, protokol yang diusulkan adalah mode pemberian "autologous", yang berarti DC pasien akan diisolasi, dikembangkan, lalu disuntikkan kembali ke pasien yang sama. Ini adalah pendekatan terapi yang sangat personal dan eksklusif karena hanya satu orang, dan biasanya orang dengan kekayaan atau prestise yang signifikan, yang akan dapat menggunakan terapi tersebut.

Bandingkan ini dengan pendekatan "alogenik" yang mencakup semua varian vaksin COVID-19 lain di mana terapi yang sama dapat digunakan oleh sebanyak mungkin orang karena terapi tersebut tidak dipersonalisasi untuk penggunaan satu orang.

Sekali lagi, pendekatan autologous ini mengecualikan sebagian besar populasi yang tidak memiliki sarana untuk menggunakan atau membeli terapi ini karena alasan sistemik dan moneter yang dikenakan pada mereka.

Pendekatan ini hanya akan menjadi penghalang dalam upaya mencapai kekebalan kawanan dalam populasi dengan cara mengikis kepercayaan publik dan secara signifikan berdampak pada upaya pemulihan pandemi.

Sebagai penutup, saya akan merangkumnya kepada Anda dengan lelucon Gus Dur yang pernah diceritakan ayah saya kepada saya dan berdampak besar bagi saya sebagai peneliti sejak saya pertama kali mendengarnya.

Gus Dur menceritakan kisah seorang Menteri Riset dan Teknologi yang pergi ke sebuah pesantren di Jawa Timur dan membual tentang bagaimana Kementeriannya berhasil mengembangkan roket yang bisa terbang ke matahari.

Tentu saja, ini merupakan pencapaian besar mengingat jarak Matahari 149,6 juta km dari Bumi dan memiliki suhu permukaan 5.778 Kelvin [11].

Ketika dia menceritakan pencapaiannya, tidak ada seorang pun di antara hadirin yang bertepuk tangan atau bahkan tersentak kagum.

Dengan kesal, dia bertanya kepada salah satu santri mengapa dia dan teman-temannya tidak menganggap ini sesuatu yang hebat. Sambil mengangkat bahu, santri itu menjawab, “Kan tinggal terbang setelah Maghrib. Kok heboh amat?"

Moral dari lelucon Gusdurian ini adalah bahwa tidak akan ada artinya seberapa maju teknologi atau seberapa canggih penelitian Anda jika negara dan rakyat Anda tidak dapat memanfaatkan hasil riset anda.

Yang terjadi hanyalah pemborosan energi dan sumber daya jika penelitian Anda tidak membawa sesuatu yang bermanfaat bagi rakyat dan hanya berfungsi untuk memajukan tujuan politik atau tujuan pribadi.

Sangat mudah tersesat dalam mengejar penelitian ilmiah jika kita hanya meneliti untuk kepentingan penelitian, sehingga terkadang ada bagusnya untuk merefleksikan bagaimana karya kita akan berdampak pada orang lain.

Footnotes:
1. https://www.who.int/health-topics/plague#tab=tab_1

2. https://data.worldbank.org/indicator/GB.XPD.RSDV.GD.ZS?locations=ID

3. https://data.worldbank.org/indicator/GB.XPD.RSDV.GD.ZS?locations=ID-MY&name_desc=false

4. https://www.antaranews.com/berita/2105138/bpom-vaksin-merah-putih-eijkman-produksi-massal-semester-2-tahun-2022

5. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210217175237-20-607537/antibodi-vaksin-nusantara-terawan-diklaim-tahan-seumur-hidup

6. Srivastava S, Riddell SR (August 2015). "Engineering CAR-T cells: Design concepts". Trends in Immunology. 36 (8): 494-502.
doi:10.1016/j.it.2015.06.004. PMC 4746114. PMID 26169254.
7. Sadelain M, Brentjens R, Rivière I (April 2013). "The basic principles of chimeric antigen receptor design". Cancer Discovery. 3 (4): 388–98. doi:10.1158/2159-8290.CD-12-0548. PMC 3667586. PMID 23550147.

8. Saadeldin MK, Abdel-Aziz AK, Abdellatif A. Dendritic cell vaccine immunotherapy; the beginning of the end of cancer and COVID-19. A hypothesis. Med Hypotheses. 2021 Jan;146:110365. doi: 10.1016/j.mehy.2020.110365. Epub 2020 Nov 9. PMID: 33221134; PMCID: PMC7836805.

9. Lyman, Gary H.; Nguyen, Andy; Snyder, Sophie; Gitlin, Matthew; Chung, Karen C. (2020-04-06). "Economic Evaluation of Chimeric Antigen Receptor T-Cell Therapy by Site of Care Among Patients With Relapsed or Refractory Large B-Cell Lymphoma". JAMA Network Open. 3 (4). doi:10.1001/jamanetworkopen.2020.2072. ISSN 2574-3805. PMC 7136832. PMID 32250433.

10. https://clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT04685603

11. Williams, D.R. (1 July 2013). "Sun Fact Sheet". NASA Goddard Space Flight Center. Archived from the original on 15 July 2010. Retrieved 12 August 2013.

*) penulis adalah seorang peneliti. Lily meraih gelar doktor dari Department of Biological Chemistry School of Medicine, the University of California, Irvine, CA,

USA

Artikel Terkait