Nasional

Jangan Serahkan Papua ke TNI dan Polri Saja, Perlu Peranan Tokoh Adat, Agama dan Masyarakat

Oleh : very - Kamis, 06/05/2021 22:40 WIB

Deputi V Bidang Politik Hukum Pertahanan Keamanan dan HAM - Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID – Deputi V Bidang Politik Hukum Pertahanan Keamanan dan HAM - Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani meminta agar semua pihak tidak melakukan generalisasi ketika bicara konflik Papua.

"Kita jangan gebyah uyah kalau bicara Papua. Kalau bicara daerah konflik tidak semua daerah Papua bergejolak. Tidak. Hanya beberapa daerah saja yang konflik, dan itu daerah yang IPM-nya masih rendah," kata Jaleswari dalam webinar yang diselenggarakan Indonesian Public Institute (IPI) dengan tema "Memahami Papua Serta Upaya Penyelesaian Secara Kolaboratif dan Holistik" pada Kamis, 6 Mei 2021.

Webinar itu juga menghadirkan pembicara Komjen Pol. Drs. Paulus Waterpauw (Tokoh Masyarakat Papua); Dr. AS Hikam, MA (Pengamat Politik President University); Billy Mambrasar (Staf Khusus Presiden/Pengusaha Muda Papua); dan Puspita Ayu Putri Dima sebagai Host.

Jaleswari meminta agar semua pihak dapat melihat Papua dalam kacamata luas, karena di Papua banyak sekali suku, adat, dan kelompok masyarakat. Sehingga tak bisa satu atau dua kelompok bicara dan mengklaim mewakili Papua.

Selain itu, Jaleswari menegaskan dalam melihat Papua harus berdasarkan data. Dengan begitu, akan terlihat secara utuh dan nyata tentang adanya kemajuan ataupun kekuatangan dalam pangunan Papua.

"Kita terlalu riuh dengan opini, maka kita harus sepakat bicara berdasarkan data yang kredible," jelasnya.

Terkait penanganan kekerasan di Papua, Jaleswari menilai masalah ini tak bisa hanya diserahkan ke pasukan TNI dan Polri saja. Tapi juga perlu peranan para tokoh adat, tokoh agama, dan kelompok masyarakat Papua.

"TNI Polri menjaga keamanan di daerah yang rawan. Tapi masyarakat adat, tokoh agama, pihak gereja juga penting memberikan arahannya bagaimana menjaga kondisi di daerahnya. Pendekatan adat menjadi pendekatan utama sebelum pendekatan keamanan. Ini yang terus didorong," kata Jaleswari.

 

Kaitan IPM dengan Kekerasan di Papua

Sebelumnya, dia mengawali paparannya dengan menyampaikan dua arahan Presiden Jokowi terkait Papua. Pertama pada 11 Maret 2020 Presiden mengusung semangat pembangunan Papua dengan paradigma baru dan cara kerja baru agar terbuka kesempatan kemajuan bagi rakyat Papua.

Kedua, belum lama ini Presiden Jokowi memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri mengejar dan menangkap Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan tak ada ruang bagi kelompok kriminal di Republik Indonesia.

Lebih lanjut, Jaleswari menyebut salah satu ukuran dalam pembangunan di Papua bisa dilihat dari rasio ASN dengan penduduk Papua 1:38, lebih ideal dibanding daerah lain, seperti Jawa 1:111, Sumatera 1:59, Sulawesi 1:43, dan Kalimantan 1:50.

"Namun yang menjadi masalah mendasar adalah sebaran ASN di Papua yang terkosentrasi di kota-kota. Ini membuat layanan publik dan fasilitas belum dapat menjangkau masyarakat secara merata," ujarnya.

(Dr. AS Hikam, MA (Pengamat Politik President University. Foto: Ist)

Jaleswari menilai ada korelasi yang kuat antara Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan konflik yang terjadi di Papua. Daerah yang IPM-nya rendah relatif sering terjadi kekerasan.

"Daerah yang IPM-nya masih rendah seperti Nduga, Puncak, Intan Jaya dan Puncak Jaya cenderung tingkat kekerasannya tinggi. Mimika juga tinggi, tapi ini pemicunya berbeda. Di sana ada tambang freeport," jelas Jaleswari.

Ia memaparkan, sejak era pemerintahan Jokowi, percepatan pembangunan Papua dilakukan dengan konsep botton up, yang memperhatikan masyarakat lokal Papua berbasis wilayah adat. Hal ini pun tergambarkan dalam Impres 9 / 2020 terkait percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat.

"Kita mengenal Jokowi bukan sekedar komitmennya terhadap pembangunan Papua. Bagaimana beliau 13 kali kunker Papua dan melihat progres pembangunan. Tapi Jokowi menginginkan cita-cita visi Indonesia Sentris harus dipenuhi," jelas Jaleswari.

Ia menyebut tiga paradigma pendekatan yang dipakai, Pertama, adalah pendekatan antropologis, bagaimana rakyat papua harus dilibatkan dengan pendekatan budaya. Masyarakat Papua bukan objek tapi subjek.

Kedua, pendekatan kesejahteraan (ketimpangan terjadi perlu dibongkar dengan program langsung ke bawah. Seperti BBM satu harga, jalan ruas, termasuk pengambilalihan 51 persen Saham Freeport dan sebagainya.

Sedangkan yang ketiga, kata Jaleswari, adalah pendekatan evaluatif. Yakni pembangunan diawasi ketat agar dana tepat sasaran dan dirasakan masyarakat.

 

Ajak Masyarakat Sipil Berdialog

Adapun AS Hikam mengatakan, pendekatan dialog tetap harus dikedepankan dalam mengatasi konflik Papua.

Namun bagi Hikam, pihak yang perlu diajak dialog dalam konflik Papua adalah Masyarakat Sipil Papua. Dalam hal ini kelompok masyarakat adat, pemuka agama, serta organisasi-organisasi masyarakat lokal.

"Artinya dialog itu bukan hanya pemerintah saja. Tapi semua masyarakat Papua bicara. Sebab selama ini dialog kesannya mengangkat kelompok separatisme yang menjadi equal dengan negara. Itu saya tak setuju," ujarnya.

"Yang dialog adalah masyarakat adat, pemuka agama, dan pemerintah atau yang sudah final soal NKRI," papar Hikam. (Very)

 

Artikel Terkait