Nasional

Pembangunan Tidak Berkesinambungan, Banyak Pihak Dukung Pentingnya Haluan Negara

Oleh : very - Senin, 17/05/2021 22:15 WIB

Ketua MPR, Bambang Soesatyo (Bamsoet) dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, di Universitas Warmadewa, Bali, Senin (17/5/21). (Foto: ist)

Bali, INDONEWS.ID --- Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengapresiasi dukungan civitas akademika Universitas Warmadewa Bali agar MPR RI berwenang menyusun dan menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Melengkapi dukungan serupa yang datang dari Universitas Negeri Udayana Bali, Universitas Ngurah Rai Bali, Forum Rektor Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) serta berbagai organisasi sosial kemasyarakatan seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat Muhammadiyah, hingga Majelis Tinggi Agama Konghucu (MATAKIN). 

"Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, Indonesia memiliki Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Di pemerintahan Presiden Soeharto, memiliki Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sejak era Reformasi, pola pembangunan justru berubah karena berdasarkan visi dan misi presiden-wakil presiden terpilih, yang dielaborasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 5-10 tahun. Menjadikan tidak adanya kesinambungan pembangunan. Tidak heran jika kini banyak pihak menggaungkan kembali pentingnya haluan negara," ujar Bamsoet dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, di Universitas Warmadewa, Bali, Senin (17/5/21). 

Turut hadir Ketua Yayasan Kesejahteraan Korpri Bali Anak Agung Gede Oka Wisnumurti, Rektor Universitas Warmadewa Prof Dr Dewa Putu Widjana, Wakil Rektor I I Nyoman Kaca, Wakil Rektor II Ni Putu Pertamawati, Wakil Rektor III I Wayan Parwata, serta para mahasiswa, dosen, dan civitas akademika Universitas Warmadewa. 

Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, dukungan agar Indonesia kembali memiliki Haluan Negara juga pernah disampaikan Presiden ke-3 Indonesia, BJ Habibie, saat beliau menjadi narasumber diskusi di MPR pada 22 Agustus 2017. Sebelumnya, di akhir Maret 2014, dalam sebuah debat politik di Jakarta, Presiden BJ Habibie juga menegaskan pentingnya Indonesia menghidupkan kembali Haluan Negara. 

"Berbagai negara dunia memiliki perencanaan pembangunan jangka panjang. Bahkan sejak 1953, China mengadopsi pola pembangunan menyerupai GBHN dalam merancang peta jalan pembangunan untuk menatap China 2050. Ironisnya, Indonesia justru meninggalkan pola tersebut. Namun belum telat bagi kita jika ingin kembali menghidupkannya," jelas Bamsoet. 

Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan, gagasan mereformulasikan sistem perencanaan pembangunan nasional sebenarnya telah direkomendasikan MPR 2009-2014. Kemudian ditindaklanjuti MPR 2014-2019 dengan memunculkan gagasan melakukan perubahan terbatas terhadap UUD NRI 1945, yaitu dengan mengembalikan wewenang MPR untuk menetapkan pedoman pembangunan nasional `model GBHN`, yang dalam Rekomendasi MPR masa jabatan 2014-2019 disebut dengan nomenklatur Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). 

"Amandemen terbatas hanya berkaitan dengan dua pasal dalam Konstitusi. Antara lain penambahan ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN serta penambahan ayat pada Pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan Presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN," terang Bamsoet. 

Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia (IMI) ini kembali memastikan, hadirnya PPHN tidak menyebabkan presiden kembali menjadi mandataris MPR yang harus menyampaikan laporan pertanggungjawan kepada MPR. Presiden-Wakil Presiden tetap menjadi mandataris rakyat, yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Proses pemberhentian Presiden/Wakil Presiden juga tetap mengacu pada ketentuan yang diatur dalam Konstitusi, yakni pada Pasal 3 Ayat (3) dan Pasal 7B Ayat (1). 

"Amandemen terbatas tidak akan mengarah kepada hal lain diluar PPHN, seperti penambahan periodisasi masa jabatan presiden-wakil presiden. Mengingat Pasal 37 Konstitusi telah mengatur secara tegas mengenai mekanisme usul perubahan Konstitusi, yang tidak dapat dilakukan secara mendadak," tegas Bamsoet. 

Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Ketua Badan Bela Negara FKPPI ini memaparkan, proses amandemen terbatas dimulai dengan terlebih dahulu diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR atau paling sedikit 237 pengusul. Diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya, serta melalui beberapa tahapan sebagaimana diatur dalam Tata Tertib MPR. 

"Karena hanya akan membahas PPHN, amandemen terbatas konstitusi tidak akan membuka kotak pandora yang menimbulkan hiruk pikuk dan mengganggu stabilitas politik nasional," pungkas Bamsoet. (*)

Artikel Terkait