Nasional

Jalan Keluar Kehebohan RUU PPN Sembako

Oleh : luska - Senin, 14/06/2021 13:20 WIB


Jakarta, INDONEWS.ID -  Menjawab bagaimana jalan keluar kehebohan RUU PPN sembako, Pengamat Hukum Pajak Dr. Jody Antawidjaja mengatakan perlu opsi yang lebih sejuk.

Geger, berita pengenaan pajak atas sembilan bahan pokok (sembako) dan jasa pendidikan terjadi di pertengahan 2021 ini. Berbagai penolakan dan keberatan datang dari masyarakat. Bahkan ada anggota DPR yang mempertanyakan apakah Sri Mulyani lelah mencintai negeri ini. Tak kurang Ketua DPD RI pun imbau pemerintah tinjau ulang PPN sembako dan pendidikan karena karena menurutnya kebijakan tersebut tidak tepat karena akan membebankan masyarakat kecil. 

Rencana tersebut termaktub dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas pada 9 Maret 2021.

Padahal draf tersebut belum diserahkan dan dibacakan di sidang paripurna DPR, baru disertakan bersama surat presiden untuk memulai pembahasan RUU tersebut. Pada kesempatan Rapat kerja Menteri Keuangan dengan Komisi XI DPR RI tentang Pagu Indikatif Anggaran BA-15Tahun 2022, hampir semua anggota dewan peserta rapat menanyakan keriuhan yang terjadi di konstituennya masing-masing. Dalam penjelasannya, Menteri Keuangan merunut proses legislasi yang ditempuh untuk RUU KUP, terhitung sejak RUU itu dinyatakan masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021.

Seiring mencuatnya polemik soal RUU KUP, terutama soal tak lagi dimasukkannya sembako dari pengecualian pengenaan PPN, DPR pun sontak bersuara belum menerima draf RUU ini. Padahal, surat presiden untuk membahas RUU KUP sudah diterima DPR pada pengujung Mei 2021. Ini sesuai pula dengan penjelasan Menkeu di rapat dengan Komisi XI di DPR tersebut.

Menteri Keuangan dalam statementnya menyatakan bahwa dari sisi etika politik tentu belum bisa menjelaskan ke publik sebelum ini dibahas, karena itu adalah dokumen publik yang disampaikan kepada DPR melalui surat presiden.

Sebetulnya, Apakah soal yang terjadi? Wartawan Indonews.id sengaja mempertanyakan pendapat Dr. Jody Antawidjaja, pengamat Hukum Pajak sekaligus pembina Tax Center Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia.

-Timing yang kurang tepat ?

Dr. Jody Antawidjaja dalam penjelasannya ke Indonews menjabarkan bahwa persoalan yang membuat ramai adalah karena pada draft RUU KUP tersebut sudah beredar wacana di masyarakat mengenai pengenaan PPN untuk sembako dan jasa pendidikan dalam draf revisi UU Perpajakan yang beredar, muncul dari redaksional Pasal 44 E RUU KUP tersebut. Klausul ini menghapus ketentuan Pasal 112 Angka 2 Ayat (2) Huruf b UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah sejumlah ketentuan Pasal 4A ayat 2 UU No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 8/1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) yang membahas pengecualian pengenaan PPN dan PPnBM.

Hal yang sangat sensitif dan menyangkut hajat hidup masyarakat banyak ini yang kemudian membuat seakan membangunkan kucing tidur yang sakit gigi. Saat pandemi covid-19 yang hampir membuat orang putus asa, isu mengenakan pajak pada makanan pokok sehari-hari bergulir. Belum lagi dampaknya terhadap inflasi. Sehingga beberapa pihak menganggap policy ini  timingnya yang kurang tepat.  

Dijelaskan lebih lanjut, bahwa Pasal 4A ayat 2 huruf b UU No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 8/1983 tentang PPN dan (PPnBM) semula menyebutkan "barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak", sebagai salah satu jenis barang yang tidak dikenai PPN. Di draf revisi UU KUP yang beredar, klausul ini dihapus. Begitu juga Pasal 4A ayat 3 huruf g di Undang-undang tersebut yang semula tidak dikenai PPN yaitu atas Jasa Pendidikan, juga dihapus. Artinya, atas jenis Barang dan Jasa tersebut akan dikenakan PPN dari semula tidak dikenakan.

RUU KUP ini belum dibahas dan apalagi disetujui DPR ini berisikan draft rencana pengenaan PPN atas Sembako dan jasa pendidikan, dan jenis ini yang paling populer menjadi perbincangan dimasyarakat. Padahal dalam RUU KUP tersebut tidak hanya kedua jenis obyek pajak PPN itu saja. Selengkapnya, dalam RUU KUP menghapus jenis barang yang tidak dikenai PPN atas barang tertentu dalam kelompok barang terhadap (Pasal 4A ayat 2 huruf a dan b):
barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; 
barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak (yang dalam penjelasannya terdiri atas 11 jenis kelompok yaitu Beras, Gabah, Jagung, Sagu, Kedelai, Garam, Daging segar tanpa diolah, Telur yg tidak diolah, Susu perah murni, Buah-buahan dan  Sayur-sayuran segar)
serta menghapus jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai atas 11 jenis jasa tertentu dalam kelompok jasa terhadap (Pasal 4A ayat 3 huruf a,b,c,d,e,g,I,j,k,o dan p):
jasa pelayanan kesehatan medis; jasa pelayanan sosial; jasa pengiriman surat dengan perangko; jasa keuangan; jasa asuransi; jasa pendidikan; jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan; jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri; jasa tenaga kerja; jasa jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;dan jasa pengiriman uang dengan wesel pos;
Jenis Barang dan jasa yang dihapuskan dari pengecualian pengenaan tersebut merupakan kelompok jenis obyek pengenaan dengan tarif khusus yang berbeda dengan usulan Tarif PPN yang diusulkan dalam Pasal 7  ayat 1 sebesar 12%, atau multitarif 5% sd 15% sebagaimana Pasal 7 ayat 3,  tetapi dalam kategori multitarif sebagaimana yang diusulkan pada Pasal 7A ayat 2 yang beragam dengan tarif paling rendah sebesar 5%, dan paling tinggi 25%. Mengacu pada draft revisi RUU KUP tersebut, kemungkinan tarif PPN untuk sembako paling rendah adalah 5% dari semula yang bebas PPN. Pengenaan PPN atas sembako dan jasa pendidikan dan lainnya ini tidak bisa dihindari karena dikunci di ayat 2.

- Opsi Kebijakan: Pajak naik atau Subsidi Bansos ?

Lebih jauh Dr. Jody Antawidjaja mengatakan, bahwa masalah niat pemerintah dalam pengajuan RUU KUP yang ingin mengubah sistem pemungutan PPN ini, seyogyanya pemerintah perlu mengelaborasi grand designnya  secara holistik agar  tidak menjadi isu liar  yang justru menjadi isu kepentingan politik. 
Masalah pajak,  harus selalu dipedomani bahwa ruh pajak itu adalah keadilan, yang merupakan asas terpenting dalam pemungutan pajak. Hal ini diejawantahkan dari fungsi pajak yang salah satunya sebagai redistribusi pendapatan. Apapun policy yang akan ditempuh dengan pajak ini harus dikaitkan dengan neutralitas sebagai karakteristik PPN berikut  sifatnya yang regresif sebagai kelemahan pajak ini. 

Regresif (Tarif tetap atau tarif Regresif adalah Tarif Pajak yang nominalnya tetap tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya.)  Artinya, dengan menggunakan tarif tunggal pajak ini proporsional terhadap konsumsi seseorang, tetapi juga regresif terhadap penghasilan tahunan seseorang. Dalam arti, semakin tinggi tingkat penghasilan seseorang akan semakin rendah porsi PPN yang dibayar. Hal ini sudah barang tentu akan mengusik rasa keadilan. Sebaliknya, bila menerapkan multitarif sebagai upaya untuk mewujudkan rasa keadilan yang distributif, maka netralitas yang menjadi karakteristik dan superioritas pajak pertambahan nilai inipun akan berkurang.

Itulah sebabnya beberapa negara yang mengoperasikan pajak ini menempuh cara: bahwa atas Barang Kena Pajak tertentu yang hanya dikonsumsi kelompok warga tertentu selain dikenakan PPN dikenai juga tambahan pajak lainnya sebagai pembeda. Di Indonesia tambahan atas jenis barang klasifikasi mewah dikenal dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM).

Dalam draft RUU KUP, sembako mulai dari beras hingga gula konsumsi dihapus dalam daftar barang yang dikecualikan dari pemungutan PPN.  Beberapa aspek yang  jadi pertimbangan pemerintah adalah termasuk soal besaran belanja pajak (tax expenditure) dari pengecualian PPN. Dari laporan belanja perpajakan yang dirilis tahun lalu, diketahui bahwa belanja pajak dari kebijakan pengecualian PPN adalah sebesar Rp 73,4 triliun pada 2019, atau sekitar 29 persen dari seluruh total belanja pajak Indonesia. Hal ini juga mempertimbangkan rekomendasi OECD, World Bank, dan IMF yang merekomendasikan Indonesia untuk bisa mengurangi jumlah barang/jasa yang dikecualikan dari PPN. Kebijakan ini juga menjadi bagian dari strategi  broadening tax base. 

Keberpihakan pemerintah kepada masyarakat bawah khususnya atas keterjangkauan barang kebutuhan pokok dapat dilakukan melalui dua alternatif, yaitu pengecualian PPN yang berisiko memiliki potensi alokasinya tidak tepat sasaran karena atas barang yang sama juga dinikmati oleh kalangan menengah-atas, disatu sisi, dan disisi lain adalah keberpihakan bisa dilakukan melalui belanja, yaitu subsidi maupun bantuan sosial atau program lainnya. 

Sedangkan Bantuan sosial pemerintah yang dipastikan akan dicairkan pada tahun ini meliputi program sembako, bantuan pangan ton tunai (BNPT), bantuan sosial tunai, kartu prakerja, hingga subsidi token listrik. Khusus program sembako dan BNPT saja, pemerintah menargetkan penerima bantuan ini siap disalurkan selama periode Januari sd Desember 2021 hingga 18,8 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dengan alokasi anggaran Rp 45,12 triliun. Bantuan yang lain adalah Program Keluarga Harapan dengan anggaran Rp 28,71 triliun untuk 10 juta keluarga penerima, Program Bantuan sosial Tunai dengan anggaran sebesar Rp. 12 triliun untuk 1,2 juta penerima.

Konsumen barang-barang tersebut memiliki daya beli yang jauh berbeda, sehingga fasilitas PPN tidak dikenakan atas barang/jasa tersebut memicu kondisi tidak tepat sasaran. Orang yang mampu bayar justru tidak membayar pajak karena mengonsumsi barang/jasa yang tidak dikenai PPN. 
Sebagai informasi, diketahui bahwa beberapa negara juga diketahui melakukan penataan ulang sistem PPN baik melalui perluasan basis pajak serta penyesuaian tarif. Paling tidak terdapat 15 negara yang menyesuakan tarif PPN untuk membiayai penanganan pandemi. Rata-rata tarif PPN di 127 negara adalah 15,4 persen. Sementara, tarif PPN di Indonesia cenderung lebih rendah, yakni 10 persen. 

Demikian pula halnya atas perlakuan pengecualian PPN di Indonesia yang terlalu banyak dan bisa dinikmati semua orang membuat penerimaan PPN tak optimal. Indonesia merupakan negara dengan fasilitas pengecualian terbanyak sehingga kadang distortif dan tidak tepat dibandingkan pengecualian pajak yang ada pada berbagai negara seperti Thailand, Singapura, India, dan China.

Di Thailand misalnya, pengecualian hanya diberikan untuk properti tempat tinggal, logam berharga, barang untuk keperluan investasi, jasa keuangan, dan sewa properti tempat tinggal. Beda lagi dengan China yang hanya memberikan pengecualian di Zona Ekonomi Spesial. Pengaturan yang demikian justru menjadikan tujuan pemajakan tidak tercapai. Yang mampu membayar pajak tak membayar karena mengonsumsi barang/jasa yang tidak dikenai PPN. 

Tentunya semua masyarakat mengharapkan  RUU ini tidak akan serta merta diterapkan di saat pandemi. Bahwa penerapannya menunggu ekonomi pulih dan bertahap, konon Pemerintah dan DPR dapat dipastikan akan mengutamakan saat yang tepat sebagi tempus delictinya.

Tentunya RUU ini masih terus dikaji, dipertajam, dan disempurnakan. Pada waktunya akan dibahas dg DPR. Jika disetujui, pelaksanaannya memperhatikan momen pemulihan ekonomi dan bersiap untuk masa depan yang lebih baik.

Diharapkan sistem baru dapat memenuhi rasa keadilan dengan mengurangi distorsi dan menghilangkan fasilitas yang tidak efektif, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pajak dan optimalisasi pendapatan negara. Pemerintah tetap mengedepankan asas keadilan distributif (justitia distributiva) yang secara proporsional yang diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum  yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang didasarkan atas kemampuan, jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya atau bebannya masing-masing,  untuk setiap kebijakan perpajakan termasuk pengenaan PPN atas sembako dan Jasa pendidikan ini.

- Solusi Alternatif adalah ?

Menjawab pertanyaan atas bagaimana solusi yang baik akibat keterlanjuran isu yang membuat heboh ini, dijelaskan bahwa memberlakukan kenaikan tarif PPN , walaupun tidak diberlakukan di tahun 2021, tapi rencana kenaikan pajak tersebut dapat memicu inflasi 2021. Rencana kenaikan PPN terhadap sembako akan mendorong masyarakat membeli sembako di luar kebutuhan karena takut harganya naik. Banyak pihak berharap agar sebaiknya ide kenaikan PPN sembako, pendidikan dan kesehatan dibatalkan saja, karena manfaatnya lebih kecil dibandingkan dengan bahayanya. Suka atau tidak suka pasti akan berdampak inflasi di saat ekonomi masih lemah. Untuk tidak menjadi kehebohan yang berkepanjangan dimasyarakat disaat “susah” ini. 

Sebagai solusi alternatifnya apabila dimungkinkan, adalah merevisi RUU khususnya PPN, dengan saran kepada otoritas penyusun RUU sebagai berikut: Pertama, mengubah skema multitarif pasal 7A ayat 2 dari jenjang antara paling rendah 5% sampai dengan paling tinggi 25% menjadi paling rendah 0% dan paling tinggi 25%, untuk memberi peluang obyek PPN atas barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak (sembako murah) dapat opsi tarif 0%, sedangkan yg premium bisa diatas itu, atau Kedua, tetap pengecualian pengenaan PPN atas sembako dan pendidikan yang berlaku tidak perlu dihapus, tapi menambahkan skema Pajak Penjualan atas Barang/Jasa Mewah (PPn BM) yang diberlakukan atas sembako mewah (seperti kategori mewahnya daging wagyu dan beras premium) dan atau pendidikan yg eksklusif. (Lka)

Artikel Terkait