Bisnis

Gede Sandra: Seharusnya Pemerintah Bisa Minta Pengurangan Utang di Tengah Pandemi

Oleh : very - Senin, 21/06/2021 10:15 WIB

Gede Sandra, mantan staf ahli Kementerian Koordinator Maritim. (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID – Polemik terkait Indonesia “pengemis utang bilateral” terus berlanjut. Kali ini muncul dari mantan anak buah Rizal Ramli saat menjabat Menteri Koordinator Bidang Maritim. Dia adalah Gede Sandra, mantan staf ahli Kementerian Koordinator Maritim.

Kementerian Keuangan menyampaikan, imbal hasil atau yield surat berharga negara (SBN) 10 tahun terus mengalami penurunan. Berdasarkan data Bloomberg, yield SBN 10 tahun khusus denominasi rupiah turun 13,5%, sementara SBN valas turun 34,6% secara year to date.

Namun demikian, Gede Sandra mengungkapkan untuk mengetahui naik atau turunnya yield surat utang pemerintah bukan membandingkan dengan masa lalu, melainkan membandingkannya dengan yield surat utang negara lain yang memiliki peringkat sama dengan Indonesia.

"Bila Indonesia bisa membayar yield lebih murah secara relatif dibandingkan dengan yield yang dibayarkan negara lain, itu baru bisa dibanggakan," kata Gede Sandra seperti yang dikutip detikcom, Selasa (24/11/2020).

Menurut Gede, kenyataannya justru berbeda. Dia mencontohkan, peringkat surat utang Filipina (BBB) dan Vietnam (BB-). Kedua negara ini relatif setara atau lebih rendah peringkat surat utangnya dibandingkan Indonesia yang (BBB).

Gede Sandara mengatakan, dilihat dari selisih yield atau yield spread antara surat utang tenor 10 tahun antara Indonesia-Vietnam dan Indonesia-Filipina nilainya terus meningkat.

"Dengan Filipina yield spread naik dari 1,65% di Januari 2019 menjadi 3,47% di November 2020. Begitupun dengan Vietnam, yield spread juga naik dari 3,1% di Januari 2019 menjadi 4,4% di Oktober 2020," ujarnya.

"Artinya, dengan Filipina dan Vietnam yang seharusnya Indonesia bisa memberikan yield sama atau lebih murah, faktanya Indonesia harus memberikan yield lebih mahal dari kedua negara tersebut dengan selisihnya/spread yang terus meningkat," ujarnya.

Tidak hanya itu, Gede Sandra juga mengungkapkan APBN harus tetap berutang untuk melunasi bunga utang. Salah satu indikasinya terlihat dari primary balance atau keseimbangan primer.

Dia menjelaskan, bila angka keseimbangan primer mengalami defisit maka artinya pemerintah terpaksa membuat utang baru untuk melunasi bunga utang lama.

"Faktanya keseimbangan primer kita sudah defisit, dan nilai semakin besar. Per Juni 2020 saja keseimbangan primer sudah defisit Rp 700 triliun," ujarnya.

Gede Sandra mengatakan, seharusnya pemerintah bisa meminta pengurangan utang atau debt relief di tengah pandemi COVID-19, bukan malah menambah utang baru. Sebab, belakangan ini banyak lembaga dunia seperti IMF, World Bank dan lainnya yang memberikan fasilitas penambahan utang.


Dengan kebijakan tersebut, Gede Sandra pun menyinggung soal capaian Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan terbaik dunia.

"Pada era pandemi COVID-19 ini seharusnya yang Indonesia minta dari negara-negara maju adalah pengurangan utang (debt relief) bukannya menambah utang baru. banyak lembaga dunia, IMF, WB, G-20 yang memberikan fasilitas ini dan banyak negara yang sudah memanfaatkan fasilitas pengurangan utang (debt relief) ini," katanya.

"Tapi mungkin karena Indonesia punya menteri terbaik sedunia, makanya jalur yang dipilih sama sekali tidak umum: bukannya mengurangi utang, malah minta utang baru!," pungkasnya. (*)

 

Artikel Terkait