Opini

Sekuler, Pancila, Syariah

Oleh : Rikard Djegadut - Senin, 21/06/2021 15:15 WIB

Twibbonize Hari Ulang Tahun Jokowi dan Haul Bung Karno

Oleh: Christianto Wibisono, Founder Chairman, Pusat Data Bisnis Indonesia

Opini, INDONEWS.ID - Sarasehan 5 Presiden dilanjutkan dengan tumpengan dwifungi memperingat haul Bung Karno ke 51 dan harlah Presiden ke-7 dalam suasana peduli prihatn tapi tetap assertive, optimis.

Bung Karno: saudara-saudara Panca Presiden RI pasca pertobatan mawas diri dan telah mencapai tahap begawan arif bijaksana, Selasa 22 Juni adalah peringatan ulang tahun kota Jakarta ke-494 bersamaan dengan hari perumusan Piagam Jakarta.

Saya ingin memberikan tafsir proaktif dan prokreatif terhadap konflik ideologi sekuler vs syariah sejak Piagam Jakarta dengan rumusan Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya.

Kelompok sekuler memperjuangkan 7 kata itu diubah dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi sebetulnya, memang beda posisi ideologis syariah vs sekuler itu hanya anda Ketuhanan itu lakukan dalam semangat inklusif tiga kata atau emosi sektarian menekankan aspek eksklusif sgama tertentu dalam hal ini Islam.

Saya ingin menegaskan sampai detik ini bahwa semangat saya dalam menggali dan merumuskan Pancasila dan sila Ketuhanan dengan trobosan orisinal Ketuhanan Yang Maha Esa adalah untuk menghindari perang saudara, perang sabil, perang salib yang pernah dialami ummat mansia selama 3 abad pada pergantian mileniial.

Dalam perspektif lintas sejarah kita harus bersyukut telah mengatas genetika DNA perang agama dengan rumusan sublimasi eenhogere opetrekking dari ideologi sekuler vs syariah, dengan rumus Pancasila yang tidak didominasi oleh dua ekstrem kilafah atau agnostik sekuler yang rawan jadi atheis.

Kita sudah mengalami konflik dan pemberontakan berbasis konflik ideologi syariah vs sekular sejak Kartosuwiryo memproklamirkan NII dan DI/TII pada 1949, setahun setelah Musso menjebak PM ke-3 Amir Syarifudin ikut pemberontakan PKI membawa RI ke blok komunis anti kapitalis 1948.

Gus Dur: Izin Yth. Bung Karno lho ini kok kayak materi ujian TWK yang heboh pak kita justru mesti membicarakan kenapa sekarang ini masih ada dikotomi dan analisis kubu kiri Jokowi dan kubu kanan Prabowo. Setelah Prabowo dirangkul jadi Menhan, seolah kan sudah dikubur dikotomi dan perang "sabil" antara kiri dan kanan.

Lha ini ternyata tetap hangat bahkan memanas dalam perebutan posisi Capres 8 yang bahkan merasuk PDIP yang dipimpin trah Sukarno. Maaf ini memang harus tuntas bapak yang memberi resep supaya dicamkan oleh elite dan masa generasi milenial.

Habibie: Betul pak sebetulnya perkubuan Piagam Jakarta (PJ) vs Pancasila PS) ini kan sudah rekonsiliasi dan transformasi dari kubu cebong vs kampret PSnya sudah jadi Menhannya PJ kebagian rezeki APB ribuan triluun kan harus melestarikan rekonsilasi dan transformasi NKRI sesuai moto 76 tahun RI Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh.

Soeharto: Saya korban "adu domba" yang terjadi dalam rezim saya yang awalnya cuma rivalitas antar jendral, kemudian dibumbui virus predator sara. Saya jadi presiden 32 tahun karena ada elite eseloon satu yang jumlahnya mungkin cuma selusin saling berebut mau jadi orang kedua, wapres atau pengganti penerus saya.

Sekarang saya kapok melihat bahayanya main agama dan militer yang bisa berkolusi jadi kubu perang salib yang bisa menghancurkan Indonesia jadi Yugoslavia atau Uni Soviet.

CW: Wah ini Bung Karno haus memberi pesan pamungkas menghadapi ancaman perkubuan yang membahayakan Indonesia. Barangkali bapak ewuh pakeweh membicarakan keluarga bapak. Tapi kita semua melihat bapak cukan cuma kepala keluarga Trah Sukarno dan dinasti Menteng Sukarno, Tapi bapak adalah pendiri NKRI yang tidak mungkin merestui lenyapnya NKRI gara gara "perang saudara antar dinasti.

BK: Megawati sudah membuktikan mengorbitkan Jokowi 2014 kurang apa lagi kepentingan nasional di atas kepentingan keluarga Sukarno. Sekarang ada peluang seorang Ganjar mengulangi skenario Jokowi. Babak pengambilan keputusan masih relatif lama meski semua politisi dan pengamat pakar sudah gerah jadi cheerleader dan kepengen jadi tim sukses justru karena bisnis sepi terkena pandemi.

Lha ini kan berbahaya gara-gara penggembira dan penikmat data kampanye politik, kita membahayaan operasi menaklukkan Covid ini secara serius. Hari ini Dahlan Iskan menulis bahwa Iran telah membangun RS pusat transpaltasi organ tubuh manusia salah satu dari 5 pusat yang terlengkap.

Mereka telah mengatasi fatwa agama tentang transplantasi dan sekarang menjadi kiblat pasien yang butuh operasi. Jadi kalau Iran sudah melompat dari tengkurung oleh dogma ayad ketujuh, sedang politisi Indonesia masih pakai fatwa model pra Shiraz. Maka Indonesia akan ketinggalan secara tehnokratis, profesional dan intelektualitas rasional.

Seharusnya sistim pemilu langsung menjadi dua partai yang tidak perlu menjadi ideologi kiri Marhaen dan kanan Masyumi berantem sampai kiamat tidak ada kiri 100% dan kanan 100%, semua kembali ke jalan tengah C. Cuma titik berat prioritas katakanlah golongan kiri adalah konstrukksi membangun, sedang golongan kanan adalah distributif. Kiri itu insinyur, kanan itu ekonomi dan lawyer yang concern distributif. Yang satu membangun kue yang lain concern dengan membagi kue.

Tapi sebetulnya tidak perlu dipertentangkan jadi musuh bebuyutan model perang salib. Nah kalau sudah bersih dari DNA genetik destruktif itu, kita efisien bikin dwipartai jadi menghemat kampanye pemilu.

Dulu itu 22 Agustus 1945 KNIP setuju sistim partai tunggal PNI. Tapi PSI Syahrir dan Hatta pada 16 Oktober berubah taktik mengubah sistem presidensial jadi parlementer dan rencana partai tunggal batal diganti multipartai sampai detik ini.

Bahkan Jendral Soeharto pakai junta terselubung saja memelihara panggug-panggung partai 1 Golkar supaya tampak demokratis. Padahal calon tunggal presiden 7 kali sampai lengser 21 Mei 1998. Angka 21 ini kayaknya keramat dalam Algorithme Big Data kita.

Kita sambung besok dan seterusnya ini kan never ending story yang tidak akan pernah berhenti. Trima kasih atas acara tumpengan dwitunggal haul saya dan harlah Presiden Jokowi. 

CW: Terima kasih atas bedah sejarah dan resep transplantasi sistem politik dan dogma fatwa abad pertengahan dengan kinerja model Shiraz Iran.*

Artikel Terkait