Sosok

Kenang Christianto Wibisono, Begini Pengakuan Eks Kepala BPIP Yudi Latif

Oleh : Rikard Djegadut - Sabtu, 07/08/2021 20:46 WIB

Ekonom Senior terkemuka Indonesia, Christianto Wibisono dan Eks Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudi Latif

Jakarta, INDONEWS.ID - Kepergian ekonom senior sekaligus salah satu tokoh pengamat ekonomi politik terkemuka Indonesia, Christianto Wibisono meninggalkan duka yang mendalam tidak hanya bagi lingkaran keluarga terdekat, namun juga bagi segenap sahabat dan kenalannya.

Seperti diketahui, Pendiri dan Ketua Pusat Data Bisnis Indonesia (PBDI) itu meninggal dunia pada Kamis (22/7/21) di usia ke 78 tahun, tepat jelang sehari sebelum perayaan pesta emas pernikahannya.

Salah satu sahabat dekatnya yang mengaku sangat berduka atas berpulangnya salah satu anggota Komite Ekonomi Nasional era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu adalah Yudi Latif.

Eks Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu mengatakan bahwa baginya, kepergian Christianto Wibisono adalah berita yang sangat mengejutkannya, karena begitu tiba-tiba.

"Kepergian Mas Chris ini memang apa ya, suatu berita yang sangat mengejutkan ya. Karena rasanya kok seketika. Apalagi saya karena ada moment-moment terakhir itu masih sempat ketemu, meski pun lewat zoom dalam beberapa event," kata Yudi Latif dalam acara In Loving Memory of Christianto Wibissono bertajuk "Pesan Kebangsaan Christianto Wibisono: Mengenang dan Melanjutkan Perjuangan Membangun Negeri" Sabtu, (7/8/21).

Cendekiawan Muda itu menuturkan kendati kehadiran covid-19 membuat banyak rekan dan sahabatnya berpulang secara mendadak. Namun menurutnya, justru dengan demikian, kita diingatkan akan jemputan pulang yang selalu mengintai siapa saja dan setiap saat.

"Tapi saya kira, dengan begitu kita justru diingatkan bahwa setiap hari jemputan pulang itu bisa mengintai siapa saja. Kita ini dikasih bonus umur, dan ternyata kematian ini random. Kita tidak mengerti," ucap Yudi.

Oleh karena itu, menurutnya, semoga dengan tambahan usia yang menjadi bonus, kita bisa menghitung-hitung dan berpikir akan apa yang bisa disumbangkan untuk kehidupan yang lebih baik.

"Mas Chris saya kira, sepanjang umurnya itu, memberi contoh yang luar biasa. Bagi saya beliau semacam hero. Ketika saya kuliah di Bandung tahun 1990an baru belajar nulis, karya-karya beliau sudah muncul di Kompas yang menulis tentang dialog imajiner dengan Bung Karno," cerita Yudi.

Karya-karya Christianto Wibisono, kata Yudi, diam-diam memberi efek role model pada dirinya tentang bagaimana bisa menulis pada level semacam Christianto Wibisono dan lain-lain.

Sehingga waktu itu, Yudi berpikir, sebagai mahasiswa di bidang komunikasi, ukuran keberhasilannya adalah bukan pada kesuksesan meraih gelar S1 Komunikasi, melainkan sukses menerbitkan tulisan di Kompas. "Karena itu adalah ukuran prestasi. Tulisan-tulisan beliau di Kompas menjadi inspirasi".

Yudi mengatakan kalau kita punya mimpi, semesta akan memberi jalan. Hal ini terjadi ketika kelak dirinya bertemu untuk pertama kalinya secara fisik dengan Christianto Wibisono.

Pemimpin Redaksi Indonews.id, Drs. Asri Hadi bersama Christianto Wibisono (Foto: Ist)

Bahkan, Yudi menuturkan, beberapa tahun kemudian dia berkesempatan mendapat penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia satu dengan Christianto Wibisono.

"Beliau dapat rekor atas buku serial dialog imajiner dengan Bung Karno dan saya meraih penghargaan untuk seri buku tentang Pancasila," ujarnya.

Konon, beber Yudi, Pendiri Museum Rekor Indonesia Jaya Suprana mengatakan kepada dirinya bahwa Christianto Wibisono dengan senang hati menerima penghargaan dalam satu paket dengannya.

"Konon, kata Jaya Suprana, Mas Chris dengan senang hati bahwa beliau akan menerima penghargaan dalam satu forum yang sama dengan saya," ungkapnya.

Sepanjang hidupnya, lanjut Yudi, Christianto Wibisono selalu memperjuangkan kebaikan Indonesia untuk terlepas dari isu-isu yang mempersoalkan masalah identitas.

"Mari kita perjuangkan bersama, selain conetivity ya, inklusivity dalam arti people akses dan juga di dalam oportunity dan priviledge. Dan itu semua menjadi concern selama ini dari almarhum Christianto Wibisono," terangnya.

Yudi mengatakan dirinya dapat memahami kecemasan beliau karena sepanjang hidupnya, ia banyak melewati pengalaman-pengalaman traumatik yang membuatnya selalu memiliki semacam bayangan kelam.

"Jangan sampai kepemimpinan nasional jatuh pada orang-orang yang bukan membawa Indonesia pada harapan-harapan tadi yakni inklusivitas yang lebih baik, tapi malah mengarah kepada pengerasan-pengerasan baru," jelasnya.

"Jadi saya komunikasi terakhir itu waktu saya menulis terakhir di Kompas tanggal 24 Juni, kalau tidak salah. Judulnya itu "Kompas Etis Kepemimpinan," pungkasnya.

Dimana, di dalam tulisan itu, Yudi menyatakan bahwa apapun yang terjadi ke depan, sebaiknya kita tetap tegak lurus pada konstitusi.

Jadi meskipun kita tidak punya bayangan saat ini siapa yang harus menggantikan pemimpin saat ini, kita harus tetap mengatakan bahwa sirkulasi kepemimpinan nasional itu harus terjadi.

Kemudian melalui aplikasi perpesanan WhasApp, Christianto Wibisono, kata Yudi, mengatakan bahwa kalo bukan inkumben yang jadi presiden lagi, yang jadi kecemasan itu terjadinya semacam operasi senyap kekuatan-kekuatan buatan global.

"Sah-sah saja kemudian ikut cawe-cawe di dalam menentukan kandidat-kandidat yang nanti bisa bertarung, bahkan bisa jadi mempengaruhi pilihan-pilihan bagi partai terbesar sekalipun. Dan kalo itu terjadi, jangan sampai kepemimpinan nasional ini akan memutar arah sejarah balik pada kekerasan-kekerasa politik identitas," demikian tutur Yudi menirukan pesan Christianto Wibisono.

"Semoga dari perjuangan-perjuangan mas Chris, kita bisa melanjutkannya dalam batas-batas kemampuan yang bisa kita lakukan. Supaya old memories ini, ingatan-ingatan panjang dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia ini, ujungnya bisa menemukan jalan cahaya. Indonesia yang lebih baik, Indonesia seperti yang dia cintai dan segala harapan-harapan kebahagian hidup bersama," tutup Yudi.*(Rikard Djegadut).

Artikel Terkait