Opini

Pertarungan Geopolitik Amerika-Tiongkok: Bagaimana Menghindari "Perangkap Thucydides"?

Oleh : Mancik - Senin, 12/07/2021 15:10 WIB

Mantan Dubes RI di Belgia, Yuri O. Thamrin.(Foto:Dok.Kemlu.go.id)

Oleh: Yuri O. Thamrin*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Boleh jadi "kunci" bagi masa depan dunia terletak di masa lalu. Universitas Harvard saat ini mengembangkan disiplin Applied History atau "Sejarah Terapan" (Graham Allison, 2017). Intinya: bagaimana memahami beragam tantangan, peluang dan opsi yang ada pada masa kini melalui analogi, preseden dan kajian sejarah. Bahkan, kini ada usulan agar Presiden Amerika Serikat (AS) dapat membentuk suatu "Dewan Penasehat yang terdiri dari akhli-akhli sejarah" (Council of Historical Advisers) yang perannya setara dengan "Dewan Penasehat Ekonomi" (Council of Economic Advisers).

Sejatinya, dari perspektif sejarah, pertarungan geopolitik AS-Tiongkok pada saat ini memiliki banyak preseden di masa lalu. Sebagai contoh, dalam 500 tahun terakhir terdapat 16 kasus persaingan geopolitik antara "rising power" dan "ruling power," dengan 75% diantaranya (12 kasus) berakhir dengan peperangan (Graham Allison, 2017). Pecahnya peperangan inilah indikasi nyata dari terjebaknya negara-negara kompetitor geopolitik tersebut ke dalam "perangkap Thucydides."

Pertanyaannya, apakah Amerika dan Tiongkok akan jatuh ke dalam "perangkap Thucydides"? Apakah akan terjadi peperangan diantara keduanya? Apa yg harus dilakukan untuk mencegah kemungkinan itu?

Jendral dan Sejarawan

Thucydides (460 - 404 SM) adalah seorang jenderal dan sekaligus sejarawan. Ia hidup 2500 tahun yang lalu di masa Yunani kuno. Kegagalannya mempertahankan kota Amphipolis dari serangan pasukan Sparta menyebabkannya diadili, dipecat dan bahkan dibuang dari Kota Athena. Selama masa pembuangan itu, Thucydides menulis 8 jilid buku Sejarah Perang Peloponnesos yang merupakan karya klasik yang hingga kini tetap menjadi rujukan dalam disiplin Hubungan Internasional, khususnya dari perspektif teori dan juga etika (vide Dialog Melia).

Sebetulnya apa yg disampaikan Thucydides sangat sederhana yakni mengenai kebangkitan Athena sebagai kekuatan baru (rising power) dan ketakutan Sparta (ruling power) akan hal itu. Kemudian terjadi dinamika berbahaya ketika Athena sebagai kekuatan baru mencoba mengambil alih kepemimpinan dari Sparta sebagai kekuatan yang berkuasa. Selanjutnya, terdapat juga kegagalan manajemen hubungan diantara keduanya sehingga menyebabkan pecahnya perang. Fakta sejarah ini kemudian disebut sebagai "Perangkap Thucydides."

Perkembangan Kekuatan China

Secara kasat mata, saat ini terdapat perubahan distribusi kekuatan di dunia dimana China bertambah kuat dan AS relatif menurun (Hugh White, 2017). Kebangkitan China ini jelas berpengaruh pada sistim internasional yang didominasi AS. Akibatnya, Amerika kini menganggap Tiongkok sebagai lawan dan "pesaing strategis."

Pricewaterhouse Cooper meramalkan bahwa pada 2030 ekonomi China akan 40% lebih besar dari pada ekonomi Amerika. Pada 2040, ekonomi China akan 3 kali lebih besar dari ekonomi AS.

Ada satu fakta menarik, sesuai statistik, ekonomi China pernah tumbuh impresif sebesar US$ 2 trilyun hanya dalam tempo 2 tahun, yakni dari US$ 8,6 Trilyun pada 2012 menjadi US $ 10,6 Trilyun pada 2014 (Graham Allison, 2017). Sejatinya, pertumbuhan China itu setara dengan seluruh ekonomi India pada 2014 sebesar US$ 2 trilyun. Luar biasa!

Dari sisi militer, kekuatan China pun mulai menyusul AS. Sesuai testimoni Admiral Phil Davidson (Panglima US Indo-Pacific Command) di Kongres AS pada Maret 2021, Angkatan Laut China kini 4-5 kali lebih besar dari kekuatan laut AS di kawasan Pasifik Barat. Dengan kata lain, China dapat merebut Taiwan dengan kekuatan senjata pada tahun 2027, ketika Tiongkok menuntaskan program modernisasi militernya. Dalam berbagai "war games" yang dilakukannya, US Navy mengalami kekalahan jika mencoba lakukan intervensi untuk membela Taiwan dari invasi China (the Economist, 1 Mei 2021).

Selanjutnya, di bidang infrastruktur, China pun menunjukan "international leadership" melalui program "Belt and Road Initiative." Sementara itu, Tiongkok tampak semakin "Pede" karena berhasil atasi krisis pandemi covid-19 dengan baik dan ekonominya pun kini kembali tumbuh positif ketika sebagian besar negara-negara di dunia masih terpuruk.

Berbekal aneka kesuksesan ini, para pemimpin China mencanangkan 3 target spesifik bagi Tiongkok(Graham Allison, 2017), yakni: (i) menjadi kekuatan dominan pada 2025 menyangkut 10 teknologi unggulan seperti Artificial Intelligence (AI), Robot dan Driverless car; (ii) menjadi "innovation leader" pada 2035 di seluruh jenis teknologi canggih; dan (iii) menjadi negara "nomor 1" di dunia pada 2049 --- ketika China merayakan hari jadi ke-100, dengan kekuatan militer yang mampu bertempur dan memenangkan perang.

Mencegah Perang

Memperhatikan "perangkap Thucydides," perang antara AS dan Tiongkok "bisa saja terjadi," namun bukan berarti "pasti terjadi" --- war is likely but not inevitable!

Untuk mengelola kemungkinan ini, empat hal perlu ditempuh (Graham Allison, 2017) (Kevin Ruud, 2021).

Pertama, perlu dilakukan langkah "eksternalisasi." Artinya, AS dan Tiongkok secara bersama perlu mengantisipasi terjadinya situasi krisis di beberapa "hot spots" seperti Selat Taiwan, Laut China Timur (Senkaku/Diaoyu), Laut China Selatan (kepulauan Spratlys) dan Semenanjung Korea.

Dalam kaitan ini, kedua belah pihak perlu menyepakati cara-cara praktis untuk cegah "accidents," lakukan de-eskalasi jika krisis pecah serta untuk cegah kemungkinan mereka "terseret" ke dalam perang.

Kedua, perlu pula ditempuh pendekatan "rivalry-partnership." Artinya, AS dan Tiongkok berperan sebagai "pesaing," namun sekaligus juga sebagai "mitra."

Dalam keseharian kita, Samsung dan Apple telah memainkan peran "rivalry partnership" ini dengan baik. Di satu sisi, Samsung dan Apple bersaing ketat dalam penjualan smart phones; namun Samsung pun adalah pemasok terbesar komponen-komponen elektronik canggih untuk Apple.

Dengan kata lain, AS dan China pun harus mampu bekerjasama, meskipun mereka bersaing ketat di berbagai bidang untuk perbesar pengaruh strategis, ideologi dan ekonomi masing-masing. Kerjasama tersebut dapat dilakukan untuk isu-isu dimana ada kepentingan bersama seperti climate change, penanganan bencana alam dan juga penanggulangan pandemi Covid-19.

Ketiga, AS dan Tiongkok perlu pula menerapkan visi Presiden Kennedy tentang "the world safe for diversity." Visi ini dilontarkan Kennedy pasca "krisis Kuba" pada 1961 yang nyaris menyeret dunia ke dalam perang nuklir. Dengan kata lain, walaupun berbeda ideologi, ambisi strategis dan kepentingan nasional, AS dan Tiongkok harus sanggup hidup bersama secara proper dan decent.

Keempat, AS dan Tiongkok harus kembangkan "new rules of the road" -- semacam "aturan main baru" untuk menstabilkan hubungan mereka, berdasarkan prinsip "timbal-balik" dan "trust but verify."

Beberapa komponen dari "aturan main baru" tersebut, antara lain, (i) AS dan Tiongkok sepakat tidak lakukan serangan siber terhadap insfrastruktur vital masing-masing; (ii) keduanya tahan diri dari provokasi: AS, misalnya, tidak kirim high level visit ke Taipei (sesuai prinsip "satu China") dan Tiongkok pun tahan diri dari "provocative military exercizes" di Selat Taiwan; (iii) Tiongkok hentikan militerisasi di Laut China Selatan dan hormati "Freedom of Navigation"; (iv) kedua pihak tetap buka akses pasar bagi produk masing-masing; (v) lakukan kolaborasi terkait isu-isu strategis seperti Climate Change dan denuklirisasi semenanjung Korea untuk perkuat "common trust"; dan (vi) kembangkan "confidence building measures" di kawasan Indo-Pasifik seperti, misalnya, misi bersama penanganan bencana alam atau misi distribusi vaksin covid-19.

Prospek ke Depan

Pertarungan AS dan Tiongkok jelas merupakan salah satu faktor penentu Abad ke-21. Namun, tidak bisa dipastikan apa hasil akhirnya.

Yang jelas pertarungan geopolitik di antara kedua raksasa itu mulai memasuki tahapan decisive mengingat pada penghujung dekade 2020-an ini ekonomi China akan melewati Amerika.

"The decade of living dangerously" mungkin tepat untuk menggambarkan "suasana kebatinan" pada dekade ini. Kita harapkan AS dan Tiongkok tidak jatuh dalam "perangkap Thucydides."

Karena itu, masyarakat internasional perlu mendesak AS dan Tiongkok untuk bersikap arif dan bertanggung jawab dan agar mereka tidak membahayakan keamanan internasional, perdamaian dunia dan keselamatan umat manusia.

*)Penulis adalah mantan Dubes RI di Belgia.

Artikel Terkait