Opini

Melihat Kebijakan Fiskal Pemerintah Menghadapi Dampak Pandemi Covid-19

Oleh : Mancik - Jum'at, 16/07/2021 12:20 WIB

Wasekjend Bidang Ekonomi dan Perdagangan PB PMII, Kamaluddin.(Foto:Ist)

Oleh: Kamaluddin*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Dampak Pandemi Covid-19 atau penyebaran virus corona memberikan dampak yang cukup luas terhadap kegiatan perekonomian yang dilakukan masyarakat maupun para pelaku ekonomi khusunya di sektor pariwisata dan manufaktur.

Di Indonesia, penyebaran virus ini dimulai sejak tanggal 02 Maret 2020. Pernyataan tersebut diumumkan oleh bapak Presiden Joko Widodo. Seiring dengan berjalannya waktu, penyebaran Covid-19 telah mengalami peningkatan yang signifikan dan paling banyak terjadi di pulau Jawa.

Data yang diperoleh per tanggal 15 Juli 2021 bahwa ada 2.726.803 Juta pasien positif, dan sebanyak 70.192 yang meninggal dunia (covid.go.id, 2021).

Semakin hari semakin bertambah jumlah orang yang terinfeksi virus corona membuat pemerintah menerapkan berbagai himbauan untuk menjaga jarak antara masyarakat atau yang disebut dengan istilah social distancing hingga melakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di berbagai daerah terutama dipulau Jawa dan Bali.

Kondisi ini tentu berdampak pada perputaran roda perekonomian di dalam negeri. Tak hanya itu, perekonomian secara global otomatis juga terganggu. Peranan pemerintah dalam meningkatkan pembangunan ekonomi serta memacu pertumbuhan ekonomi terutama di negara yang sedang berkembang dilakukan melalui kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.


Melalui kebijakan fiskal, pemerintah dapat mempengaruhi tingkat pendapatan nasional, kesempatan kerja, investasi nasional, dan distribusi penghasilan nasional.

Mengacu pada dampak buruk dari Covid-19 ini, diprediksi turunnya pendapatan negara sebesar 10 persen di tahun ini. Penurunan pendapatan akibat wabah Covid-19 itu terutama akan terjadi di sisi penerimaan perpajakan.

Penerimaan Perpajakan turun akibat kondisi ekonomi melemah, dukungan insentif pajak dan penurunan tarif PPh. PNBP turun dampak jatuhnya harga komoditas pandemi Covid-19 telah mengancam sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik.

Dari sisi pengeluaran, dampak yang diakibatkan Covid-19 ini sangat besar. Mengatasi permasalahan yang timbul akibat Covid-19 ini diharapkan tidak terlalu menekan defisit APBN. Oleh sebab itu, dibutuhkan strategi yang dapat membantu mengatur perekonomian saat ini.

Kebijakan fiskal dari sisi penerimaan dan pengeluaran pemerintah ternyata sangat besar perananannya dalam menanggulangi dampak Covid-19. Di bidang fiskal, kebijakan memfokuskan kembali kegiatan serta refisi pengalokasian anggaran juga telah dilakukan Pemerintah.

Presiden Joko Widodo, telah menerbitkan Inpres No.4/2020, tentang instruksi kepada semua jajaran kementrian serta para pimpinan termasuk di dalamnya para pejabat di tingkat daerah untuk mempercepat pemfokusan kembali kegiatan, realokasi anggaran juga dalam pengadaan barang jasa hal ini merupakan upaya untuk menangani wabah Covid-19.

Kebijakan Fiskal untuk Penerimaan Negara

Pertumbuhan komponen penerimaan Pajak pada tahun 2020 masih bersumber dari pajak atas konsumsi rumah tangga, meskipun penerimaan pajak juga masih dipengaruhi tekanan akibat tren pelemahan industri manufaktur dan aktivitas perdagangan internasional, serta pelemahan aktivitas ekonomi akibat penyebaran Covid-19.

Seiring adanya aturan terkait Work From Home (WFH) baik untuk sektor pemerintah maupun sektor swasta pada bulan maret 2020, maka mulai terjadi perlambatan kegiatan usaha yang berakibat menurunnya penyerahan dalam negeri yang kemudian menekan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) dibulan berikutnya pada tahun 2020.

Kondisi tersebut berlanjut dan semakin terkontraksi di hingga bulan desember 2020, mengingat pada tahun 2020 sebagian daerah melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah terdampak.

Mengatasi kebijakan pemerintah terhadap dampak tersebut, pemerintah memberikan fasilitas perpajakan berupa relaksasi pembayaran PPh Pasal 29 OP dan pelaporan SPT PPh OP.

Kebijakan makro-mikro penanggulangan wabah Covid-19 diharapkan akan dapat mempertahankan ekspektasi positif semua entitas ekonomi, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Keputusan lockdown ini tidak diterapkan karena berbagai alasan termasuk kesiapan negara dalam menanggung resiko apabila lockdown terjadi.

Sebagaimana yang terjadi di Indonesia, penerimaan pajak pada tahun 2020 tercatat mengalami kontraksi atau minus hingga 19,7%. Adapun beberapa sektor pajak yang minus setelah digunakan untuk penanganan Covid-19 adalah PPh Migas, Pajak Non Migas dan Pajak Perdagangan Internasional.

Situasi dampak pandemi Covid-19 saat ini sangat tidak menguntungkan untuk mencapai target penerimaan pajak. Sehingga pemerintah perlu mengantisipasinya dengan merevisi target penerimaan pajak, serta proyeksi pertumbuhan ekonomi, dan asumsi makro lainnya.

Apalagi, saat ini pemerintah juga banyak mengeluarkan insentif. Pemerintah menyusun ulang alokasi penerimaan negara dalam APBN 2020 karena target APBN diperkirakan sulit tercapai. Penerimaan perpajakan 2020 diperkirakan turun sebesar Rp 403,1 triliun.

Dalam APBN, penerimaan perpajakan dipatok Rp 1.865,7 triliun menjadi Rp 1.462,7 triliun. Penerimaan Perpajakan turun akibat kondisi ekonomi melemah, dukungan insentif pajak dan penurunan tarif PPh. PNBP turun dampak jatuhnya harga komoditas," (Indonesia, 2020).

Menteri keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23 Tahun 2020 (PMK 23 Tahun 2020) Tentang Instentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Covid-19.

Pemberian insentif ini sebagai respon dari pemerintah atas menurunnya produktivitas para pelaku usaha karena roda perekonomian wajib pajak yang menurun drastis akibat wabah ini.

Pada April 2020 pemerintah mulai mengeluarkan kebijakan untuk menanggung pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Ini merupakan salah satu paket stimulus kebijakan pemerintah untuk mencegah perlambatan ekonomi lebih jauh akibat wabah virus corona.

Tiga kebijakan lain merupakan penangguhan pembayaran untuk PPH Pasal 22, PPh pasal 25 serta restitusi dipercepat untuk Pajak Penghasilan (PPN).Bagi wajib pajak yang melakukan aktivitas impor akan diberikan pembebasan PPh Pasal 22 impor selama 6 bulan. Pemberian fasilitas ini diberikan melalui Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 22 Impor kepada wajib pajak.

Sedangkan penurunan tarif merupakan konsekuensi dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1/2020 yang menurunkan tarif PPh Pasal 25 menjadi 22% pada 2020 dan 2021 dan menjadi 20% pada 2022, satu tahun lebih cepat dari yang direncakan dalam Omnibus Law Perpajakan.Untuk penerimaan Kepabeanan dan Cukai, secara nominal realisasinya minus 0,3% dari target APBN-Perpres 72/2020.

Penerimaan yang tumbuh positif hanya penerimaan dari Cukai sebesar Rp 176,3 triliun. Sementara itu, realisasi perdagangan internasional tumbuh negatif, dimana realisasi Bea Masuk tumbuh negatif 14 % atau sebesar Rp32,3 triliun dan realisasi Bea Keluar tumbuh positif 19,5 % atau sebesar Rp4,2 triliun.

Pertumbuhan perpajakan perdagangan internasional ini terjadi akibat turunnya volume impor, penurunan harga komoditas, dan melambatnya aktivitas ekspor barang mineral nikel dan tembaga sebagai dampak mewabahnya Covid-19 di berbagai negara.

Pertumbuhan minus juga dialami dari sektor migas maupun non migas. Di sisi lain, belanja negara pada tahun 2020 tercatat senilai Rp.1.633,6 triliun atau 96,1% dari yang ditetapkan dalam Perpres nomor 72 tahun 2020. Realisasi belanja negara itu hanya tumbuh 2.589,9 triliun, realisasi itu hanya sebesar 94,6% dari yang telah ditetapkan.

Dengan performa pendapatan negara dan belanja negara itu, defisit APBN tercatat mencapai Rp.956,3 triliun atau 6,09% dari produk domestic bruto (PDB). Nilai defisit APBN tahun 2020 melonjak 174,3% dibandingkan pada tahun 2019 yang sebesar Rp 348,7 triliun.

Kebijakan Fiskal untuk Pengeluaran Pemerintah

Dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19 ini, Pemerintah mengambil beberapa kebijakan yaitu : dukungan terhadap bidang kesehatan, insentif bulanan tenaga medis, perlindungan sosial, tarif listrik, menaikkan anggaran kartu pra kerja, pemulihan ekonomi, antisipasi defisit APBN, nasabah KUR dapat keringanan angsuran, bidang non fiskal, refokusing dan relokasi belanja, menyiapkan Perpu.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1/2020, pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas APBN dimana anggaran untuk pengeluaran tersebut masih belum atau tidak cukup tersedia.

Pemerintah juga memiliki kewenangan untuk menentukan proses dan metode pengadaan barang dan jasa serta melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen pada bidang keuangan negara.

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 43/2020, diatur bahwa alokasi dana untuk penaganan pandemi Covid-19 dialokasikan dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) kementerian dan lembaga (K/L).

Kegiatan dalam penanganan pandemi Covid-19 ini dilakukan berdasarkan alokasi dalam DIPA dan bila dalam kondisi mendesak, pejabat perbendaharaan dapat melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas APBN yang dananya tidak tersedia ataupun tidak cukup tersedia.

Adapun, pengeluaran dengan kondisi mendesak ini hanya dapat dilakukan untuk kegiatan penanangan Covid-19 berupa obat-obatan, alat kesehatan, sarana dan prasarana kesehatan, sumber daya manusia, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan penanganan Covid-19.

Keputusan pemerintah mengalokasikan anggaran besar untuk wabah Covid-19 relatif tidak jauh berbeda dengan negara-negara maju yang mencatat kasus positif dan kematian akibat korona tertinggi di dunia.

Anggaran penanggulangan pandemi Covid-19 dan sektor terdampak yang dialokasikan Pemerintah Indonesia termasuk besar. PDB nasional yang berkisar Rp 15.000 triliun, Indonesia berani menganggarkan sekitar Rp 400 triliun.

Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu untuk menambah alokasi belanja dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2020. Aturan ini terbit pada tanggal 31 Maret 2020.

Pemerintah memproyeksikan peningkatan pembiayaan anggaran menjadi Rp. 852,9 Triliun karena dampak pandemi Covid-19 Angka tersebut naik Rp. 547 Trilun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) 2020.

Berdasarkan bahan paparan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), mencatat realisasi pembiayaan anggaran dalam APBN 2020 sebesar 1190,9 triliun. Realisasi tersebut telah mencapai 114,6% dari target pembiayaan anggaran dalam Perpres Nomor 72 tahun 2020.

Realisasi pembiayaan juga naik 196,2% dibandingkan tahun sebelumnya. Pembiayaan anggaran tersebut digunakan untuk pembiayaan utang, investasi, pemberian pinjaman, kewajiban pinjaman, dan pembiayaan lainnya.

Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan yang komprehensif di bidang fiskal dan moneter untuk menghadapi Covid-19. Di bidang fiskal, Pemerintah melakukan kebijakan refocusing kegiatan dan realokasi anggaran.

Dari sisi penerimaan, pemerintah harus memperhatikan pemberian kontribusi penerimaan dari PPN dan PPh Badan dan dari sisi pengeluaran, pemerintah harus mampu memperhatikan realisasi penggunaan dana tersebut agar tepat sasaran dan mengutamakan kegiatan prioritas pencegahan pandemik Covid-19 Untuk menekan defisit anggaran.

Strategi kebijakan fiskal yang berpengaruh terhadap output dan inflasi pada perekonomian Indonesia dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang tertuang dalam 3 stimulus.*

*)Penulis adalah Wasekjend Bidang Ekonomi dan Perdagangan PB PMII dan Mahasiswa S2 Ekonomi Keuangan di Universitas Trisakti.

Artikel Terkait