Opini

Diplomat Partikelir

Oleh : Rikard Djegadut - Sabtu, 14/08/2021 17:41 WIB

Mantan KSAU selaku Chairman Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI) Chappy Hakim (Foto: Ist)

Oleh Mersekal TNI (Purn) Chappy Hakim, Mantan Kepala Staf Angkatan Udara dan Pendiri sekaligus Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI)

Opini, INDONEWS.ID - Ini cerita lama, walau sudah lebih dari 17 tahun yang lalu, namun tetap menarik untuk diceritakan ulang. Tahun 2002, saya menerima undangan untuk mengikuti Pacific Rim Air Chief Conference (PRACC) di Amerika Serikat.

Karena baru saja terjadi peristiwa 911 di tahun 2001, maka pihak penyelenggara sangat paham bahwa tidak akan banyak peserta yang antusias untuk datang ke Amerika Serikat.

Hal itu berkenaan dengan sistem prosedur baru dalam pemerikasaan keamanan (additional security check procedures) di Airport Amerika Serikat yang super ketat dan sekaligus menjengkelkan serta memakan waktu yang lama.

Untuk itu, kemudian disiasati oleh penyelenggara agar para peserta datang ke Hawai saja dulu dan kemudian dari Hawai menuju Washington DC dijemput oleh pesawat terbang angkut strategis milik Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF) Boeing C-17 Globe Master III.

Undangan diterima lebih kurang 3 minggu sebelum tanggal pelaksanaan. Acara ini adalah untuk pertama kalinya bagi saya, karena baru beberapa bulan menjabat sebagai Air Chief.

Saya pelajari run down acara yang sangat singkat dan padat itu, yang ternyata adalah sebuah perhelatan rutin diselenggarakan setiap 2 tahun sekali. Dari daftar acara yang demikian bergengsi dan padat itu, ternyata Angkatan Udara (AU) Indonesia tidak memperoleh kesempatan apapun dalam seluruh rangkaian acara.

Beberapa AU negara tertentu misalnya memperoleh kesempatan memaparkan tentang salah satu kesatuannya yang unik atau menonjol. Beberapa lainnya memperoleh giliran untuk memimpin ziarah misalnya dan lain-lain.

Menghadapi kenyataan ini sebenarnya saya sudah memahami karena selain memang diberikan secara bergilir, posisi Indonesia sendiri saat itu sedang dilanda isu pelanggaran HAM yang antara lain mengakibatkan di “embargo”nya suku cadang pesawat terbang AU kita oleh Amerika Serikat.

Dengan berbagai pertimbangan, saya tetap memutuskan untuk menerima undangan dan akan turut serta dalam rangkaian acara PRACC tersebut. Saya segera mengatur strategi untuk dapat turut serta tetapi tidak sebagai “zombie“ alias “peserta pelengkap” semata.

Saya segera membuat rekaman lagu-lagu tahun 1960-an dan juga lagu-lagu instrumental Saxophone. Saya siapkan 2 CD untuk souvenir dengan membuat rekaman mengajak beberapa musisi beken seperti Jopie Item, Johnny Swadie dan teman-teman.

Maka jadilah 2 CD masing-masing lagu barat populer yang saya nyanyikan dan instrumental Saxophone duet dengan Kenny Joe membawakan beberapa lagu dari nomor lagu Billy Vaughn yang terkenal seperti “Sail along silvery moon”.

Malam pertama di Hawai, dalam acara khusus welcome dinner kami diperkenalkan oleh tuan rumah, Panglima Pacific AU Amerika kepada seluruh dan antar sesama peserta.

Pada acara makan malam tersebut, sudah ada beberapa KSAU yang tukar menukar souvenir perorangan karena memang ada yang sudah saling mengenal satu dengan lainnya.

Saya sendiri sebagai peserta yang baru pertama kali turut serta, memutuskan untuk mengirim saja 2 CD saya masing-masing ke kamar hotel para peserta Air Chief Conference selepas acara makan malam.

Demikianlah di acara keesokan harinya dalam Breakfast Program, terjadilah “kehebohan”, yaitu pembicaraan antar KSAU membicarakan CD saya. Ternyata ada beberapa dari mereka yang sudah langsung mendengarkannya di kamar hotel tadi malam.

Selesai sarapan pagi para KSAU tidak berhenti membicarakan CD saya, lebih karena memang lagu-lagu rekaman saya, baik yang vocal maupun instrumental adalah lagu-lagu populer yang banyak diminati oleh mereka dengan usia tidak jauh berbeda dengan saya.

Acara pertama PRACC di Hawai sudah sukses untuk mengundang perhatian dari hampir seluruh peserta terhadap keberadaan peserta dari Indonesia.

Hari berikutnya, seluruh peserta berangkat dari Hawai menuju Washington DC “direct flight” dengan pesawat terbang USAF (United States Air Force) Boeing C-17.

Peserta ditampung di Pangkalan Angkatan Udara dekat Washington DC, ditempatkan dalam rumah-rumah mungil yang didepannya sudah dikibarkan bendera negara masing-masing.

Untuk urusan Bendera, Amerika Serikat memang terkenal sangat fanatik dan itu sebabnya protokoler penyelenggara Conference juga memberikan perhatian khusus bagi tamu negara lain.

Bangga sekali melihat dalam deretan rumah mungil dengan sekian banyak bendera, berkibar juga Sang Merah Putih dengan megahnya. Terasa mekar sekali dada saya memandangnya penuh kebanggaan, walau tetap ingat masih di embargo persenjataan oleh Amerika Serikat.

Keesokan harinya, saat diterima secara resmi di Pentagon (Mabes TNInya AS) para peserta digiring kesatu ruangan besar untuk acara kecil “Welcome Drink” sambil beramah tamah saling berkenalan lagi satu dengan lainnya.

Tidak berapa lama datang tergopoh-gopoh General Richard Myers, Chairman of The Joint Chiefs of Staff (Panglima TNInya AS) yang langsung menyapa saya “Hallo Marshal How Are You?” belum sempat saya menjawab, Sang General langsung meneruskan, "saya sudah dengar CD anda, wah bagus sekali".

"Bagaimana anda bisa menyanyi dengan baik dan istimewa sekali memainkan Saxophone?" (Rupanya CD saya sudah sampai terlebih dulu di Pentagon). Dengan santai dan setengah bercanda saya katakan kepadanya bahwa saya memang sedang tidak ada pekerjaan karena tidak ada lagi kiriman suku cadang pesawat terbang untuk AU Indonesia dari Amerika Serikat, ha haha ha ha .

Dengan rona muka yang agak memerah General Myers langsung merangkul saya sambil mengatakan bahwa "wow itu kan keputusan kongres, jangan khawatir Pentagon will always support You !" Saya pun tersenyum-senyum walau di dalam hati saya ngakak habis.

Berhasil sudah saya menyampaikan complain yang “straight forward to the point” kepada the right person tentang AU Indonesia yang ketika itu tengah di “embargo” alutsistanya.

Menyampaikan complain secara santun tanpa membuat orang yang dicomplain meradang. Dalam pembicaraan lanjutan yang lebih rileks saya sampaikan kepadanya bahwa Indonesia sangat membutuhkan dukungan spare parts pesawat buatan AS terutama bagi misi-misi social kemanusiaan dan penanggulangan bencana alam.

Saya tekankan pula bahwa itu pun dalam kerangka jual beli biasa yang bukan dalam status permohonan bantuan. Tidak berapa lama setelah penyelenggaraan PRACC di tahun 2002 itu, entah ada hubungannya atau tidak, akan tetapi kemudian AS melonggarkan embargonya dengan melaksanakan kembali dukungan suku cadang bagi pesawat-pesawat terbang AU kita buatan US, kecuali spare parts yang berkait atau berkategori “lethal weapon”.

Itulah mungkin hasil dari Air Diplomacy, Air Chief yang berdiplomasi, ha ha ha ha ha ha ha ha ha, “diplomat partikelir” alias diplomat jadi jadian.

Jakarta 14 Agustus 2021
Chappy Hakim
Pusat Studi Air Power Indonesia

 

Artikel Terkait