Opini

Digitalisasi Jaringan Televisi Terestrial Free to Air Indonesia (Diary) Part 1

Oleh : Rikard Djegadut - Kamis, 19/08/2021 20:51 WIB

Mantan Direktur Tekni TVRI (BODPAW 1417), Syafrullah (Foto: Ist)

Oleh Syafrullah, Mantan Direktur Tekni TVRI (BODPAW 1417)

Opini, INDONEWS.ID - Sebagai pengantar, bagi penulis, ini hanya merupakan cuplikan catatan harian pribadi, yang kemudian coba disusun dengan hanya mengambil beberapa bagian terpenting terkait riwayat, perjalanan tugas, yang pernah dijalani penulis ketika masih sebagai pegawai TVRI.

Berharap semoga saja ada beberapa pesan dari catatan ini dapat mewariskan semangat, dalam rangka “mengantarkan TVRI menuju usia baru pengabdian yang ke-59, pada tanggal 24 Agustus 2021 mendatang”.

Pada kesempatan ini penulis tertarik untuk menguraikan bagian-bagian terkecil dari sebuah cerita, tentang digitalisasi penyiaran televisi terrestrial free to air TVRI bagi Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui, terlepas mau diakui atau tidak, fakta bahwa kini TVRI telah berada ditempat terdepan (leading), memasuki era penyiaran digital di Indonesia.

Semoga peluang besar ini dapat dikawal sebaik-baiknya untuk mengembalikan peran TVRI sebagai Rumah Bangsa dan Sokoguru Media Penyiaran Televisi Indonesia.

Sejarah Panjang Ujicoba

Tahun Ketetapan 2007

Tanggal 21 Maret 2007, adalah tapak penting dalam sejarah dimulainya Digitalisasi Jaringan Bumi (Terrestrial) Penyiaran Televisi Indonesia.

Saat itu oleh Bapak Sofyan Djalil, melalui Peraturan Menteri Kominfo Nomor 07/P/M.KOMINFO/3/2007, ditetapkan standar Digital Video Broadcasting Terrestrial (DVB-T), akan diadopsi oleh Indonesia.

Sejak saat itulah semua rencana dan upaya dilakukan. Langkah-langkah penting perintisan menuju Era penyiaran TV digital dimulai.

Periode Ujicoba 2008 - 2010

Pada periode ini ujicoba lapangan siaran digital dilaksanakan, ditandai dengan peresmian Soft Launching Penyiaran TV Digital di TVRI oleh Wakil Presiden Bapak Yusuf Kalla, rangkaian ujicoba Penyiaran TV Digital dimulai.

Selanjutnya pada tahun 2010, Oleh Presiden Bapak Susilo Bambang Yudoyono, langkah persiapan dilanjutkan dengan diresmikannya ujicoba penyiaran digital serentak di 3 (tiga) lokasi yakni: Jakarta, Batam, dan Surabaya.

Tahun 2012: Tahun Perubahan Ketetapan dan Gugatan

Cukup surprise dengan apa yang terjadi kemudian pada periode ini. Melalui Keputusan Menteri Tifatul Sembiring yang diterbitkan melalui Permen Kominfo Nomor 05 tahun 2012, Standard Penyiaran Televisi Digital Terestrial Free to Air, dari yang sebelumnya menggunakan DVB-T bahkan masih dalam rangka ujicoba, kemudian ditetapkan berubah menggunakan standard DVBT2 (sebagai generasi kedua DVB-T).

Tanpa harus berpanjang untuk membahas banyak catatan yg tersimpan atas perubahan itu, tapi itulah fakta dari pesatnya perkembangan teknologi penyiaran digital saat itu, sehingga dalam waktu 5 tahun saja, ketika ujicoba Standard DVB-T masih berlangsung, Indonesia ternyata harus segera melakukan adaptasi kedua, yakni beralih ke DVB-T2.

Selanjutnya, sebagai tindak lanjut atas perubahan tersebut, upaya digitalisasi penyiaran TV Digital disibukkan dengan proses seleksi bagi TV Swasta sebagai calon-calon penyelenggara multipeksing TV digital.

Dimana nantinya, bagi yang terseleksi akan berhak mendapat ijin penyelenggaraan penyiaran Multipleksing, sesuai zona-zona layanan yang ditentukan.

Memang pada awalnya cukup gegap-gempita semangat Indonesia, paling tidak dikalangan para elit pelaku media, dalam menyikapi persiapan menuju penyiaran digital ketika itu (saya disini tidak mengatakan public yang gegap gempita, karena publik tak terlihat peduli dengan keadaan
ini).

Hingga tibalah pada suatu ketika, tapak perjalanan digitalisasi Indonesia kembali diramaikan dengan adanya gugatan dari beberapa Asosiasi TV Swasta (ATVJI dan ATVLI), terkait persiapan

penyelenggaraan TV Digital

Gugatan yang diajukan ke Mahkamah Agung dan Pengadilan Tata Usaha Negara itu, seputar isu terhadap regulasi dan proses seleksi penyelenggara multiplekser, dimana setelah gugatan itu, terasa tiba-tiba langkah-langkah digitalisasi Indonesia seperti membisu, dan sejauh pengamatan penulis, kebisuan itu kemudian terjadi cukup panjang.

Dan selain itu cukup mengherankan bahwa, digitalisasi yang dikatakan sebagai sebuah keniscayaan bagi dunia, tapi sepertinya itu tidak menjadi hal yang begitu penting bagi Indonesia.

Penulis menyimpulkan, bahwa sejak ujicoba di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, hingga memasuki era pemerintahan Presiden Jokowi, dampak dari gugatan hukum itu, membuat pembahasan RUU Penyiaran terus bergulir di jalanan panjang dan berliku. Kebisuan Digital pun semakin menjadi-jadi. Seluruh langkah persiapan mandeg.

Periode 2014 – 2017: Momentum Digitalisasi TVRI untuk Indonesia

Sebagaimana kita sadari bersama, bahwa Digitalisasi Jaringan Pemancar Televisi Terrestrial Free To Air merupakan keniscayaan dunia, sehingga tentunya merupakan masalah yang tidak ringan bagi Negara /Pemerintah dalam menghadapi keniscayaan itu.

Hingga tahun 2014 dalam catatan penulis, langkah-langkah tegas dalam mempersiapkan rencana imigrasi Jaringan Pemancar Televisi Terrestrial Free to Air dari Analog ke Digital, masih sangat mengambang.

Kondisi tersebut saat itu dapat terlihat melalui kondisi internal TVRI, yang mana untuk menghadapi keniscayaan untuk mengadopsi perubahan teknologi digital sebagai teknologi terbarukan, TVRI terlebih dahulu masih terus berkutat menghadapi ketidakjelasan dukungan pembiayaan dan komitmen Pemerintah atas posisi TVRI terkait perannya sebagai media negara, yang menurut penulis akan menjadi “penentu” apakah batas waktu ASO (Analog Switch Off) pada tahun 2018, akan dapat terlaksana atau tidak.

Keyakinan penulis bahwa TVRI adalah “penentu”, akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya dari penulisan ini. Bagi TVRI kejelasan pembiayaan dan komitmen Pemerintah justru lebih merupakan keniscayaan itu sendiri dibandingkan keniscayaan digital, dan yang harus segera ditemukan adalah jalan penyelesaian dengan cara cerdas dan low profile.

Dalam ketidak pastian dukungan, TVRI harus tetap mampu melakukan langkah-langkah penting revitalisasi terhadap kondisi eksisting teknologi pemancar, yang ketika itu masih berteknologi analog dengan jumlah sangat besar, yakni sebanyak 361 lokasi dan tersebar keseluruh wilayah Indonesia.

Hingga memasuki tahun 2014, kondisinya pemancar eksisting terrestrial analog TVRI terus berkembang semakin rawan dan memprihatinkan oleh usia tua dan obsolete.

Dan tentunya, jikapun revitalisasi dilakukan, TVRI haruslah melaksanakannya secara selaras menapaki Langkah-langkah penting mendukung rencana pemerintah mengatasi keniscayaan digital.

Pada tahun 2014 itu, apabila ada yang mengatakan TVRI telah siap memasuki era digital, maka ungkapan itu adalah sebuah ungkapan innocence. Karena hingga tahun itu, TVRI baru memiliki sebanyak 12 lokasi Pemancar Digital, yang keberadaannya lebih tersebab sebagai alat yang digunakan untuk ujicoba. Itupun masih belum terintegrasi, masih dalam 2 (dua) jenis standard DVB-T dan DVB-T2.

Sebelum membahas lebih lanjut, saya penulis terlebih dahulu ingin mengajak publik pembaca, dengan bahasa awam, fokus bersama membahas kedalam beberapa tinjauan terhadap Digitalisasi Jaringan Pemancar Televisi Terrestrial Free To Air.

Karena menurut saya sudah saatnya publik turut terlibat memantau perjalanan digitalisasi ini, harus wajar menjadi kepentingan publik, dan bukan hanya kepentingan para elit media.

Kalau publik tidak pernah tertarik untuk bertanya, maka saya akan memulai pembahasan dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

1. Apa sih jaringan terrestrial televisi free to air itu?
2. Bagaimana topografi nya jaringan terrestrial televisi analog hingga saat ini?
3. Apa sih bedanya pemancar Analog dan pemancar Digital?
4. Apa sih ASO itu?
5. Sejauh mana sih dampak bagi sebuah stasiun TV, dan stasiun mana yang sesungguhnya akan sangat terdampak atas ASO tersebut?.

PERTAMA : Apa sih Jaringan Terrestrial Televisi Free to Air itu?

Ada terdapat 2 (dua) suku kata yang digunakan untuk menjawab pertanyaan ini. Kita mulai dari kata Terrestrial yang dimaksud adalah jaringan pemancar-pemancar yang tersebar merayap di bumi, terhubung antara satu dan lainnya.

Jaringan pemancar itu adalah rangkaian sistim untuk menyampaikan sinyal siaran program atau acara sebuah stasiun televisi ke rumah-rumah publik, dengan kata lain ke rumah rakyat atau masyarakat.

Perangkat penyebar sinyal yang disebut Pemancar ini, terdiri dari Gedung dan Menara, yang populer disebut perangkat Satuan Transmisi
atau sering disingkat TX Station.

Kemudian apa yang disebut free to Air, adalah model layanan kepada publik yang hanya cukup menyediakan antena dan perangkat penerima atau perangkat TV /Televisi, untuk menerima sinyal siaran itu.

Untuk ini masyarakat tidak perlu membiayai tambahan apapun untuk membayar sinyal itu, hingga masuk ke pesawat penerima masing-masing. Meskipun TVRI sempat melakukan pemungutan bayaran iuran penyiaran pada awal keberadaannya.

Sesuai tugas dan fungsinya sebagaimana amanat dari UUD45, maka layanan Free To Air adalah paling tepat bagi TVRI, sesuai perannya sebagai TV Publik.

Ada terdapat model lain cara penyebaran sinyal siaran televisi, adalah mengandalkan satelit, dimana selanjutnya adalah dapat diteruskan oleh perangkat (ground segment /parabola mini) sederhana yang bisa dimiliki oleh masing-masing rumah, atau dimiliki seseorang yang selanjutnya
bisa disebarkan dalam satu lingkungan, yang dinamakan TV Kabel.

Cara ini cenderung sederhana, tidak rumit dan berbiaya murah, bahkan lebih memberi banyak keuntungan, bagi stasiun televisi yang bertujuan usaha atau bisnis. Cara ini biasanya membebankan biayanya menjadi biaya tambahan yang harus dikeluarkan oleh rakyat atau masyarakat.

KEDUA : Bagaimana sih topografi nya jaringan pemancar terrestrial analog saat ini?

Menjawab pertanyaan ini, maka gambaran mudahnya untuk difahami adalah, bahwa TVRI adalah pemilik jaringan terrestrial televisi analog terbesar Negara.

TVRI dalam rangka melayani publik /rakyat Indonesia ke seluruh pelosok negeri, baik perkotaan hingga wilayah pedesaan bahkan yang terpencil sekalipun, memerlukan pemancar yg tersebar ke seluruh wilayah Indonesia.

Bagi TVRI layanan publik itu tidak terbatas, apakah akan memberikan nilai keuntungan secara eknomi atau tidak sama sekali.

Sesuai tugas dan fungsinya sebagaimana amanat UUD45, adalah memenuhi hajat hidup bangsa untuk mendapatkan informasi. Sedapat mungkin rakyat seluruh negeri harus mendapatkan layanan TVRI.

Untuk memenuhi tujuan kewajiban tersebut, jumlah pemancar yang digunakan TVRI hingga saat ini, adalah sebanyak 361 lebih lokasi pemancar analog, dan tersebar ke seluruh wilayah Indonesia.

Dari sejumlah itu pun, TVRI belum pernah menjangkau 100% populasi penduduk Indonesia. Dari jumlah pemancar yang ada, TVRI baru mampu menjangkau 80% penduduk Indonesia. Masih cukup banyak wilayah yang belum terjangkau atau blank spot terutama wilayah-wilayah
tertinggal.

Sementara itu, jumlah pemancar TV Swasta dalam penyelenggaraan Jaringan Terrestrial Free to Air, tidaklah seragam. Dimulai dari yang terkecil memiliki hanya 30 lokasi hingga yang terbesar memiliki sebanyak hanya 60an lokasi saja.

Pemancar di jalur free to air bagi mereka cenderung lebih diprioritaskan kearah layanan di lokasi strategis dari sisi usaha atau bisnis semata.
Dalam operasi penyiarannya TV swasta pada faktanya cenderung menggunakan layanan satelit untuk penyebaran sinyal siarannya.

Untuk sampai ke rumah-rumah publik di wilayah remote, rakyat harus menambah perangkat penerima decoder berbayar atau tv kabel.

Meskipun hal ini dapat dimaklumi dari segi pertimbangan bisnis penyiaran itu sendiri, maka sebagaimana dijelaskan menjawab pertanyaan PERTAMA di atas, memang keunggulan penyebaran penyiaran yang mengandalkan satelit, dan didukung perangkat sederhana (parabola) lalu kemudian dapat juga disebar melalui TV Kabel, menjadikan siaran TV Swasta dapat mudah tersebar, tanpa harus
membangun jaringan bumi (terrestrial) yang rumit dan berbiaya mahal.

Hanya saja resikonya cara itu menjadi beban tambahan bagi rakyat, yang harus merogoh kocek lagi untuk dapat menerima sinyal siaran mereka.

KETIGA : Apa sih bedanya Analog dan Digital?

Dalam jaringan bumi (terrestrial) free to air, maka pemancar atau transmisi yang berteknologi ANALOG memerlukan 1 frekuensi kerja untuk satu jalur layanan sinyal program dari satu stasiun televisi, atau dengan kata lain yg mudah difahami, bahwa untuk satu stasiun televisi, masing-masing memerlukan pemancarnya sendiri-sendiri, dan memerlukan frekuensi sendiri-sendiri.

Sementara tidak demikian dengan DIGITAL, sebagaimana perkembangan prinsip dari teknologi pasti menganut efisiensi/penghematan atau kemudahan baru, jika tidak maka dia bukan teknologi.

Dengan Digital, setiap 1 pemancar tetap membutuhkan hanya 1 (satu) jalur frekuensi, namun dapat digunakan untuk menyalurkan sinyal program dari beberapa stasiun televisi sekaligus, atau dengan kata lain semua stasiun Televisi dapat bersama-sama dan tergabung ke dalam hanya satu pemancar saja.

Sehingga mendukung penghematan penggunaan frekuensi. Dan semua stasiun televisi tidak perlu lagi memiliki pemancar masing-masing untuk menyalurkan sinyalnya.

Dengan Pemancar Digital, stasiun-stasiun yang ada sudah bisa bergabung, dan sesuai perkembangan teknologi yang terakhir ketika itu (2014), hanya dengan 1 (satu) pemancar digital dapat melayani 10 Stasiun TV, hingga bahkan 20 stasiun TV sekaligus.

“SEBUAH CATATAN PENTING BAGI KITA MASYARAKAT”, bahwa keuntungan yang jelas bagi Negara atas kehadiran teknologi digital adalah, dapat terjadi penghematan penggunaan frekuensi.

Sehingga sisa frekuensi yg sebelumnya banyak digunakan di jaringan terrestrial televisi, akan segera dapat digunakan memenuhi kuota penyediaan bandwith internet. Sehingga Internet akan sangat luar biasa kencang dan bagus.

Selain itu, perbedaan kualitas gambar dari sinyal analog dan digital, keunggulannya adalah sinyal digital sampai ke pesawat penerima pasti baik,
maka gambarnya pasti bagus. Tidak ada lagi garis2 semut pada layar.

Namun jika penerimaan sinyal tidak baik, maka gambarnya akan menghilang, atau terjadi freeze dan atau juga patah-patah gambar. Sementara analog, sinyal tetap akan sampai meski tidak baik, tapi semakin buruk atau rendahnya sinyal maka semakin buruk gambar. Terkadang hanya garis-garis yg meliuk-liuk tapi suara bisa jadi masih terdengar.

KEEMPAT : Apa sih ASO itu ?

ASO, adalah singkatan dari apa yang disebut “Analog Switch Off”, yakni batas waktu yang ditentukan kapan siaran penyiaran televisi terrestrial analog akan dihentikan, dan diganti dengan penyiaran TV terrestrial digital.

Itu sebutan yang sangat bergengsi dan berkemungkinan menggetarkan broadcast televisi seluruh dunia, untuk saling berlomba memasuki era itu. Selanjutnya, untuk menjawab pertanyaan

KELIMA, penulis akan menjawab tuntas dan sederhana di Bagian Kedua Penulisan ini.* Bersambung!

Artikel Terkait