Opini

59 Tahun Perjalanan Rejuvenasi TVRI

Oleh : luska - Rabu, 01/09/2021 11:43 WIB

Penulis : Markus RA ‘kepra’ Prasetyo
( Direktur Program dan Berita TVRI Pergantian Antar Waktu )

Desember 2014 – April 2017

TAK HENTI MEREJUVENASI DIRI
Hal klasik yang dihadapi oleh sebuah BRAND di usianya yang tidak muda lagi, seperti TVRI yang 
memasuki usia 59 tahun, adalah bagaimana brand ini bisa selalu merejuvenasi diri untuk tidak 
dipersepsikan sebagai brand ‘jadoel’. Banyak orang muda di dunia tetap merasa keren, punya ikatan 
emosional dan tidak merasa ‘jadoel’ saat mereka minum sebuah brand minuman soda berwarna hitam dari Amerika yang usianya sudah lebih dari seratus dua puluh lima tahun itu. Juga para penikmat bakmi dari berbagai kalangan yang tetap memenuhi semua gerai atau memesan (di masa pandemi ini) sebuah brand bakmi yang lahir di seberang Kali Ciliwung yang usianya sudah lebih dari 60 tahun. Brand bakmi yang sudah berumur ini tetap eksis dan tetap ada di jajaran atas daftar bakmi yang patut di pilih. Itulah contoh 2 brand yang tidak termakan usia, tidak sekedar bertahan dengan khalayak sasarannya yang semakin sempit, tapi sanggup mengembangkan diri beradaptasi dengan tuntutan jaman dan diterima oleh khalayak sasaran yang semakin luas.

Bagaimana dengan TVRI sebagai brand siaran televisi pertama di Indonesia? TVRI tampaknya tak henti berupaya mencari program-program yang tepat dalam rangka merejuvenasi diri. Sadar atau tidak, TVRI beberapa waktu lalu alih alih merejuvenasi diri malah memposisikan diri sebagai televisi nostalgia. Dan masih diperkuat pula dengan jargon yang mempersepsikan kerinduan pada masa lalu. Patut disyukuri di 59 tahun usianya tetap banyak program-program TVRI yang diingat oleh publik. Tapi dengan jujur pula harus diakui justru yang banyak diingat malah program-program di era-era 70/80/90an. Tidak jarang di berbagai media sosial kita jumpai obrolan soal kerinduan ingin nonton lagi Aneka Ria Safari, film seri Oshin, Little House on The Prairie dan banyak program-program yang tayang saat TVRI masih sebagai pelaku tunggal dunia penyiaran televisi di Indonesia. Di satu pihak sangat membanggakan. Di lain pihak,  betulkah kalau progam-program ini diproduksi dan atau ditayangkan kembali di saat ini maka akan 
berdampak pada audience share TVRI yang langsung akan melambung tinggi? Pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Karena masalah mendasarnya bukan itu. Sebetulnya khalayak sasaran mana yang akan dituju oleh program-program TVRI? Jangan sampai karena tidak mampu move-on secara kreatif, yang terjadi tidak melahirkan hal-hal yang baru, malah terjebak di zona nostalgia. Sekalipun berlabel transformasi. Jadi merejuvenasi atau meremajakan diri untuk TVRI adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Harus. Atau tersisih. Tapi rejuvenasi juga harus ditafsirkan dan diterjemahkan dengan benar. Jangan malah lari dan menjauh dari raison d’etre TVRI.

REASON D’ETRE dan POSITIONING.
Selalu ada alasan mengapa sebuah brand lahir. Raison d’etre atau alasan keberadaan TVRI sangat kuat dan jelas tercermin dalam visi dan misinya, yaitu menjadi media perjuangan 4 pilar negeri: Panca Sila, UUD 45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. TVRI haruslah menjadi rujukan nasional, sumber informasi yang benar dan terpercaya. Di era post truth, di mana informasi yang benar dan hoax sulit dibedakan, TVRI sesuai dengan tupoksinya harus berada di barisan terdepan melawan hoax. Hoax tidak saja melahirkan kekacauan, tapi juga pemicu terjadinya kehancuran negeri dan peradaban. Inilah peran utama TVRI, yaitu melawan hoax dan menyampaikan informasi yang benar. Disamping itu TVRI juga mengemban peran pendidikan, hiburan, pelestari seni budaya dan kontrol sosial. Dan semua peran ini praktis menjadi tanggung jawab dari hanya 1 saluran nasional.
Sebagai televisi publik, seluruh peran TVRI tidak mungkin dilaksanakan melalui satu siaran nasional. Saat ini TVRI Nasional memiliki 4 saluran terdiri dari 1 saluran simulcast (analog dan digital) dan 3 saluran digital. 3 saluran digital inilah yang harus segera diaktifkan dalam arti kata yang sesungguhnya. Mengaktifkan di sini harus diartikan sebagai dikelola dengan positioning yang jelas, mempunyai pola siaran yang terencana dan disediakan anggaran khusus untuk setiap salurannya. Setiap saluran dikepalai 
oleh seorang setara Kepala Stasiun. Dengan demikian setiap saluran bisa berkembang dan 
memposisikan diri secara khusus. Sudah bukan saatnya satu siaran nasional menjadi saluran serba ada, dengan positioning yang terlalu luas. Karena ini tidak akan bisa membangun hubungan personal dengan khalayak sasaran yang tepat.
Apabila hal di atas bisa direalisasikan, maka saluran utama yang saat ini merupakan saluran simulcast 
(analog dan digital), bisa diposisikan sebagai saluran informasi dan berita. Sedang 3 saluran digital yang ada diposisikan sebagai saluran dengan khalayak sasaran spesifik sesuai dengan peran yang diamanatkan pada TVRI. Sementara 30 saluran TVRI Daerah sudah saatnya sepenuhnya dikembangkan dan fokus sebagai saluran provinsi dengan mengemban peran kepublikan yang sama untuk tingkat provinsi. Sudah saatnya juga dibuka wacana pembiayaan TVRI Daerah tidak memakai APBN, tapi memakai APBD. Sehingga APBN yang ada bisa dialokasikan untuk mengaktifkan 3 saluran digital Nasional. Tentunya ini sebuah wacana yang bisa dibicarakan kemungkinannya setelah pandemi Covid 19 bisa diatasi.

RATING versus PENGGERAK MOTIVASI
Sering kita dengar bahwa TVRI tidak usah ikut-ikutan mengejar rating sebagai satu-satunya ukuran 
kinerja layar. Pendapat ini tidak sepenuhnya benar. Rating dan audience share adalah ukuran yang tidak boleh diabaikan. Tapi jangan dengan alasan mengejar rating, lalu TVRI memproduksi program-program asal ikut-ikut tren, misalnya membuat program-program ngeprank-ngeprankngan, gosip, berita-berita framing dan lain sebagainya. Salah-salah, sudah programnya gagal, harapan rating tidak tercapai pula, layar malah semakin dijauhi penonton dan TVRI kehilangan jati diri. TVRI harus bisa menerjemahkan dengan tepat faktor pembeda apa yang bisa memperkuat persepsi positif publik pada TVRI. 

Tidak mengejar rating harus diartikan sebagai menyajikan program yang tetap disenangi dan bisa 
memotivasi serta melahirkan gerakan masyarakat untuk berkontribusi dalam upaya mewujudkan rasa
saling peduli, proaktif dan produktif. Misalnya program yang sanggup membuat masyarakat peduli untuk saling membantu tetangga terdekat saat dibutuhkan. Atau gerakan untuk membeli produk UMKM, membangun komunitas hidup sehat, sadar penghijauan, rajin berolahraga dan sebagainya.

Inilah tantangan terbesar untuk TVRI dalam menghadirkan program-program yang memotivasi. Apakah ajakan untuk masyarakat bergerak positif dan produktif ini akan dikemas dalam program sinetron, musik, kuis atau tayangan feature, talk show dan berita, ini adalah tantangan terbesarnya. Dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang tepat di berbagai aspek manajemen, produksi dan penyiaran untuk bisa mewujudkan hal ini. Mampukah SDM TVRI menjawab tantangan ini? Menghadirkan killer content yang tidak lari dari raison d’etre TVRI?

SDM TVRI
Kualitas SDM TVRI sering dijadikan sasaran tembak saat membicarakan kinerja layar TVRI. Benarkah 
demikian? SDM TVRI adalah layaknya SDM di banyak lembaga di Indonesia. Baik swasta maupun 
pemerintah. Ada SDM dengan kinerja baik, ada SDM dengan kinerja standar dan tentunya ada yang
kinerjanya tidak baik. Hal seperti ini terjadi di mana-mana. Bukan hanya di TVRI. Sangat tidak adil 
menstigma SDM TVRI sedemikian buruknya sehingga sering terdengar tuduhan-tuduhan bahwa SDMnya tua, tidak memenuhi kualifikasi dan stigma negatif lainnya. Lalu dengan alasan seperti itu disimpulkan bahwa TVRI harus disuntik dengan banyak SDM segar dari luar TVRI. Lebih arif kalau issue ini diganti dengan issue yang lebih proporsional, yaitu: TVRI membutuhkan SDM berkualifikasi tinggi, baik itu dari dalam maupun dari luar TVRI. Jadi bukan asal dari luar, pasti SDM yang lebih berkualitas dan lebih baik ketimbang SDM internal TVRI. Mau dari dalam mau dari luar, mau tua mau muda, semua harus memenuhi kualifikasi yang telah ditetapkan. Sebetulnya yang paling perlu dijaga adalah adanya jaminan jenjang karir yang terpola dan terencana dengan baik. Juga yang harus menjadi perhatian, dalam setiap mutasi atau rotasi SDM, tetap diutamakan seseorang bekerja pada bidang yang dikuasainya dan sesuai dengan keahliannya. Selain itu program pendidikan dan latihan juga perlu dirancang dan dilaksanakan  dengan kurikulum yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan. Begitu pula dengan instruktur dan tenaga pengajar, juga peserta harus memenuhi kualifikasi yang ditetapkan

TVRI HAS TO BE SEENP

Pada akhirnya adalah layar. Pesan-pesan dan penyampaian nilai-nilai baik pada masyarakat harus 

dikemas secara kreatif dan jauh dari kesan menggurui. Apalagi setiap hari masyarakat sudah banyak dikepung dengan slogan-slogan propaganda komersial, politik dan lain lain. Memang bukan hal yang mudah untuk bisa diwujudkan dengan pas. Apalagi kalau diharapkan pesan-pesan ini dampaknya instan. Lembaga penyiaran bukan paracetamol. Butuh waktu. Waktu inilah yang harus direncanakan dengan baik, mengikuti irama kehidupan masyarakat dengan berbagai problemanya. Karena pada akhirnya layar 
televisi itu menjadi bagian dalam kehidupan nyata masyarakat. Layar televisi harus ‘hidup’. Jangan dibiarkan menjadi sekedar benda mati penggaung propaganda. Bila itu yang terjadi, masyarakat akan 
lari menjauh dari layar TVRI. Empati yang disalurkan melalui layar TVRI harus bisa dirasakan menyentuh 
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Semua ini akan tercapai apabila TVRI bisa menjawab apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Tugas TVRI adalah memberi banyak jawaban yang benar, bukan sekedar berasumsi menyodorkan jalan keluar atas permasalahan yang ternyata bukan itu masalahnya.

Kalau semua ini bisa direalisasikan oleh TVRI, maka masyarakat atau publik dengan sendirinya akan 
menjadikan TVRI sebagai bagian dari kehidupannya. Masyarakatlah yang pada akhirnya harus menjadi 
fasih soal TVRI. Biarlah berinteraksi dengan TVRI menjadi kebiasaan masyarakat. Cari berita terkini ke TVRI 1, cari hiburan ke TVRI 2, mencari info kuliner dan aktifitas budaya ke saluran TVRI daerahnya dan sebagainya. TVRI harus menjadi default channel masyarakat Indonesia. Baik itu di televisi rumah konvensional atau di gawai cerdas keluaran terbaru. Inilah yang dengan strategi yang tepat bisa segera direalisasikan. Perencanaan siaran yang baik berbasis positioning yang tepat dan tidak lari dari raison d’etre, akan menjadikan TVRI punya faktor pembeda. Dan faktor pembeda inilah yang akan semakin menyatukan empati masyarakat dengan TVRI. Apakah TVRI sanggup? Dengan kondisi TVRI yang kondusif 1 tahun belakangan ini, yang selalu menempatkan institusi TVRI sebagai subyek sentral, saat ini TVRI berada dalam jalur yang tepat untuk meneruskan perjalanan rejuvenasi diri yang berkesinambungan.

This time around, TVRI is on the right trajectory. This is all about TVRI, not about the leader. The leader does not have to be seen. Leader comes and goes. TVRI is the one to be seen. To be watched. And to become the go-to channel.

)* Catatan singkat dalam rangka HUT TVRI 59

TAGS : Tvri

Artikel Terkait