Bisnis

Proyek Transportasi Andalan Bermasalah, Ekonom: Harus Ada Pihak yang Bertanggung Jawab

Oleh : very - Sabtu, 11/09/2021 10:36 WIB

Kereta api cepat Jakarta-Bandung. (Foto: kcic.co.id)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Dua proyek besar infrastruktur transportasi andalan pemerintahan Presiden Jokowi kini sedang menghadapi kendala. Proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung sedang menghadapi pembengkakan biaya yang besar. Sedangkan proyek Mass Rapid Transit (MRT) Fase 2 juga terkendala karena belum mendapat persetujuan harga dengan pihak kontraktor Jepang yang berpeluang pada perlambatan penyelesaian proyek.

Seperti dikutip dari keterangan resmi Kementerian Perhubungan, dalam proyek MRT Fase 2 tersebut masih ada permasalahan yaitu pada harga penawaran yang terlalu tinggi dari kontraktor Jepang. 

Untuk itulah Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi terbang ke Jepang dan meminta pihak Jepang agar melakukan penyesuaian harga dengan nilai yang adil dalam wajar.

Sementara itu, proyek kereta cepat Jakarta – Bandung saat ini juga masih dalam perhitungan angka karena pembengkakan nilai proyek sebagai imbas dari keterlambatan pembebasan lahan.

Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Wijaya Karya Ade Wahyu, dalam Public Expose, pada Rabu (8/9/2021) mengatakan pembengkakan biaya masih dihitung oleh PT Kereta Cepat Indonesia China.

Sebelumnya, ekonom Universitas Bung Karno, Gede Sandra mengatakan, harus ada pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya cost over-run dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung tersebut.

“Tapi yang lebih penting lagi, harus ada yang bertanggung jawab atas pemilihan China sebagai kontraktor proyek ini. Dan saya rasa orang yang paling bertanggung jawab secara bisnis saat itu adalah mantan Menteri BUMN Rini Sumarno,” ujarnya dalam artikel yang terbit sebelumnya dengan judul “Rini Sumarno Harus Bertanggung Jawab atas Pemilihan Kontraktor China untuk Kereta Cepat Jakarta-Bandung” yang tayang di Indonews.id, pada Senin, (6/9/2021).

Pada saat itu, kata Gede, diputuskan Indonesia memilih kontraktor China, dibandingkan kontraktor Jepang. “Rini Sumarno adalah pejabat yang paling agresif melakukan lobby-lobby, bahkan dilakukannya sampai ke Negeri China,” katanya.

Dia mengatakan, kemudian, pada suatu kesempatan di Bulan September 2015, Rini Sumarno diberitakan membawa sejumlah pimpinan direksi BUMN menyambangi Beijing untuk langsung menjajal kereta api super cepat buatan China.

 

Hitung-hitungan Tawaran pihak China dan Jepang

Dahulu (sebelum membengkak) China menawarkan nilai proyek sebesar US$ 5,5 miliar, sekitar US$ 4,4 miliar (82 persen nilai proyek) dibiayai oleh bank China dengan jangka waktu 50 tahun dan tingkat bunga 2 persen pertahun. Sisa modalnya disetor oleh Konsorsium.

Sementara Jepang, katanya, menawarkan nilai proyek sebesar US$ 6,2 miliar, 75 persen-nya (US$ 4,65 miliar) dibiayai oleh bank Jepang dengan jangka waktu 40 tahun dan bunga 0,1 persen pertahun. Sisa modalnya ditanggung oleh konsorsium.

Namun, jika dihitung, bunga pinjaman China sebesar 2 persen untuk 50 tahun dengan pokok US$ 4,4 akan menghasilkan total pinjaman (dengan bunga majemuk) yang harus dibayar sebesar US 11,8 miliar. Bila ditambah dengan kewajiban setoran modal konsorsium akan menjadi US$ 12,8 miliar. “Ingat, nilai ini sebelum terjadi cost over-run pada proyek,” katanya.

Jika dibandingkan dengan Jepang, bunga pinjaman sebesar 0,1 persen untuk 40 tahun dengan pokok US$ 4,65 miliar akan menghasilkan total pinjaman (dengan bunga majemuk) yang harus dibayar sebesar US$ 4,84 miliar. Bila ditambah dengan kewajiban setoran modal konsorsium akan menjadi US$ 6,4 miliar. “Artinya, sebelum proyek dimulai saja, telah terjadi selisih perhitungan bunga berbunga yang merugikan Indonesia dengan memilih kontraktor China dibandingkan Jepang,” demikian hitung-hitungan Gede Sandra.

Karena itu, dengan memilih China daripada Jepang, Republik Indonesia dipaksa untuk berutang dua kali lipat lebih mahal. “Selisih bunga kemahalan yang harus dibayar oleh Indonesia akibat memilih China adalah sebesar US$ 6,4 miliar (sekitar Rp 89,6 triliun). Dan kerugian ini harus ada yang bertanggung jawab secara bisnis, yaitu Menteri BUMN pada era itu: Rini Sumarno,” ujarnya.

Sekarang terjadi cost over-run pada proyek yang dikerjakan kontraktor China. Gede mengatakan, tidak jelas siapa yang menanggung cost over-run sebesar US$ 2,47 miliar (Rp 34,5 triliun, kurs Rp 14.000/$) ini. “Apakah ditanggung seluruhnya oleh China Development Bank dalam bentuk pinjaman atau oleh konsorsium BUMN?,” tanya Gede.

Bila ditanggung seluruhnya oleh China Development Bank, maka dengan skema yang sama (bunga majemuk 2% dan tenor 50 tahun) maka total pinjaman yang harus dilunasi akan sangat melonjak hingga ke US$ 18,8 miliar.

Bila ditanggung oleh konsorsium BUMN, berarti pemerintah harus siap melakukan Penyertaan Modal Negara (PMN). Seperti diketahui pada Juli 2021, Menteri BUMN Erick Tohir sudah mengajukan PMN Rp 8,46 triliun melalui BUMN PT KAI untuk proyek kererta cepat Jakarta Bandung.

Meskipun bila PMN (yang bersumber dari APBN) dikucurkan tentu akan menyalahi komitmen awal seperti yang tertuang dalam Pasal 4 Ayat (2) Peraturan Presiden no. 107/2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta Bandung yang menyebutkan, bahwa “Pelaksanaan penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta tidak mendapatkan jaminan Pemerintah.”

“Tetap Rini Sumarno yang harus bertanggung jawab karena skema pinjaman dengan bunga yang kemahalan ini adalah peninggalan dirinya,” pungkasnya.

Wijaya Karya dalam hal ini adalah pemimpin konsorsium dari kepemilikan pemerintah Indonesia melalui PT Pilar Sinergi BUMN sebesar 60%. Namun ditegaskan sampai saat ini target pengoperasian kereta cepat ini belum berubah yakni akhir 2022.

Awalnya biaya proyek yang menggandeng China ini dinilai mencapai US$ 6,07 miliar atau sekitar Rp 85 triliun. Kemudian, di tengah jalan ada kemungkinan biayanya membengkak setelah ada tinjauan dari konsultan yang dilakukan KCIC. Proyek ini diperkirakan tambah bengkak US$ 1,7-2,1 miliar sekitar Rp 24,14-29,82 triliun (kurs Rp 14.200). ***

 

Artikel Terkait