Opini

Restorasi Otonomi Daerah dan Politik Lokal

Oleh : luska - Rabu, 15/09/2021 17:11 WIB

Oleh: M. NAZARI SYAM

Menjadi koki Otonomi Daerah. Prof. Dr. Djohermansyah Djohan bukanlah ujug-ujug, seperti kebanyakan tiba-tiba muncul jadi pengamat di layar Televisi di rumah saya dan rumah anda. Beliau telah mulai berfikir dan perhatian semenjak mahasiswa sekolah pamong. Ketika itu dalam sebuah pertemuan dengan Bung Hatta wakil presiden pertama, melakukan interupsi untuk bertanya tentang otonomi daerah yang cocok untuk Indonesia yang luas dan beragam. 

Dan sampai saat ini sekalipun setelah purna tugas atau purna bhakti pamong praja sebagai praktisi birokrasi, sebagai akademisi dan Guru Besar IPDN, Beliau tetap cumungut bila membahas, berdiskusi terkait Otonomi Daerah Dan Politik Lokal.

Sebagai orang yang memiliki segudang pengalaman dalam mencicipi asam-garam perjalanan Otonomi Daerah, membuat beliau berhati-hati dalam meracik bumbu otonomi agar dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia sesuai dengan citra rasa kuliner Nusantara.

Salah satu testimoni dalam buku "Koki Otonomi : Kisah Anak Sekolah Pamong", datang dari Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum MA, guru besar FIA-UI mengukuhkan Prof Djo, panggilan akrab Djohermansyah Djohan, sebagai Meastro Otonomi Indonesia yang jam terbangnya tinggi dan layak dapat acungan jempol dalam berkontribusi untuk kemajuan Bangsa dan Negara Indonesia yang kita cintai ini.

As Far As I Know, Otonomi daerah pada prinsipnya adalah politik pemerintahan daerah (political of local government), untuk mendapatkan hak, kewenangan dan kewajiban dalam mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah dalam rangka kesejahteraan rakyat berbasis inklusi atau sering disebut dengan desentralisasi.

Sejarah panjang Undang-Undang Pemerintah Daerah terjadi tarik-menarik dan saling mendominasi antara desentralisasi dengan sentralisasi. Selama 25 tahun berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah di Daerah, hampir semua daerah tidak berdaya karena UU ini dinilai sangat sentralistik. Baru pasca reformasi lahir UU nomor 22 tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah, UU ini lebih populer dengan UU Otonomi Daerah karena dinilai sangat Desentralisasi.

UU ini awal dari restorasi otonomi daerah dan politik lokal, UU inipun tidak bertahan lama, baru seumur jagung sudah diganti lagi dengan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, untuk mencari keseimbangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah karena Aroma desentralisasi nya sangat kuat malah kecenderungan mengobral otonomi (Djohermansyah Djohan dan Jose Rizal, koki otonomi 2020).

Kecurigaan terhadap Daerah dengan kewenangan otonomi luas menjadi batu sandungan untuk pengembangan Daerah dan ketergantungan bantuan finansial kepada pemerintah pusat. Daerah-daerah dapat diibaratkan pondasi dari tonggak - tonggak rumah besar yang bernama Indonesia, bila pondasinya kuat dan kokoh tentu tidak akan goyang diterpa badai, tidak lapuk di hujan dan tidak lakang di panas kata orang minang. Maka Pemerintah Pusat berkewajiban membuat Daerah-Daerah mandiri dibawah Payung panji Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kelihatan UU Pemerintah Daerah sangat seksi, betapa tidak!, baru 10(sepuluh) tahun berjalan berganti lagi dengan UU 23Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kemudian dilakukan perubahan 2 (dua) kali yaitu dengan UU Nomor 2 Tahun 2015, tentang penetapan PERPU menjadi Undang-Undang. Dan UU nomor 9 Tahun 2015 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat dinamis dan politis. 

Secara konseptual UU ini kamuflase terhadap konsep otonomi daerah, tidak seperti UU sebelumnya kalau bukan desentralisasi ya sentralistik. Bila merujuk ke pasal 9(4): Urusan Pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah. Spesifiknya UU ini lebih menekankan pada pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dengan  pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota.

Dengan pertimbangan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan perlu ditingkatkan dengan memperhatikan aspek-aspek hubungan pemerintah pusat dengan daerah dan antar daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan Negara, Bagi Daerah penyerahan urusan pemerintahan bila tidak diikuti dengan sumber pembiayaannya akan menjadi beban terlebih kabupaten dan kota, maka tidak heran kebijakan anggaran lebih besar pembiayaan rutin dengan pembangunan. Karena setiap urusan pemerintahan yang diserahkan harus diikuti dengan pembentukan dan pengembangan Kelembagaan dan tata laksana unit kerja perangkat daerah.

Ketergantungan Daerah terhadap pusat akan terus menjadi beban pusat seperti DAU, DAK dan DBH serta Otsus yang bersumber dari APBN. Daerah akan kolaps apabila pembiayaan penerimaan dari APBN macet, demikan juga di Daerah ketergantungan masyarakat terhadap APBD. Apabila APBD macet maka pergerakan ekonomi masyarakat lesu. Ketergantungan ini ibarat lingkaran setan yang tidak pernah usai, sengaja diciptakan atau tercipta sendiri karena manajemen pemerintahan buruk dan pejabat bermental koruptor?.  Wallahu a'lam bissawab.

Artikel Terkait