Opini

ODHA, Depresi dan Solusinya

Oleh : indonews - Jum'at, 17/09/2021 14:53 WIB

Warga Labuan Bajo, Manggarai Barat, Sil Joni.(Foto:Istimewa)

Oleh: Sil Joni*

INDONEWS.ID - Suasana hati (mood) kita biasanya `terganggu` ketika divonis mengidap penyakit yang serius. Gejala semacam itu merupakan hal yang sangat manusiawi. Tidak semua orang `bisa selekas mungkin berdamai` dengan kenyataan ketika mendapatkan hasil diagnosis medis yang kurang menggembirakan.

Kenyataan yang sama tentu saja berlaku juga untuk orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Ketika virus itu `terdeteksi` maka peluang munculnya `kekalutan dalam berpikir`, tentu sangat besar. Sangat normal rasanya jika kita `tidak tenang` dalam menghadapi situasi semacam itu.

Namun, jika suasana guncangan itu tak bisa dikendalikan, bukan tidak mungkin para ODHA mengalami depresi. Itu berarti HIV/AIDS tak hanya menyerang manusia secara fisik, tetapi juga secara psikis. Depresi adalah gangguan suasana hati yang ditandai dengan perasaan sedih yang mendalam dan tak peduli. Hari-harinya terasa sedih dan murung. Ia merasa sedih, putus harapan, dan tidak berharga.

Saya kira, ODHA sama seperti manusia penyakitan lainnya, juga rentan mengalami depresi atau tekanan psikis itu. Bukan tidak mungkin, kondisi yang tak tertangani akan berujung pada mental disorder. Hal serupa ditegaskan oleh Guru Besar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof. Dr. dr. Tjin Wiguna Sp.KJ. Beliau mengatakan bahwa banyak ODHA memiliki gangguan mental.

Penilaian ini, rasanya tidak berlebihan jika mengacu pada factum empiris. Sebagian ODHA merasa `malu` untuk berinteraksi dengan orang lain. Mereka menjadi pribadi yang minder, murung, dan menarik diri dari pergaulan sosial.

Data dari Amerika, 8 dari 10 orang dengan gangguan jiwa melaporkan, mereka merasa malu untuk mengatakan dirinya mengalami masalah gangguan jiwa dan khawatir stigma yang ada sehingga mereka menunda mencari pertolongan. Dan di antara yang melapor itu, masalah individu dengan HIV berlipat ganda.

Dengan demikian, ODHA seakan memikul beban ganda. Di satu sisi mereka berjuang keras untuk mengurangi `daya rusak` HIV/AIDS terhadap tubuh. Tetapi, di sisi yang lain, mereka juga `tertimpa` beban mental. Beberapa gangguan mental yang juga dialami ODHA antara lain, gangguan depresi mayor (22-45 persen) dan gangguan depresi cemas (38 persen). Selebihnya ada gangguan psikotik, gangguan zat, dan sebagainya.

Beberapa riset menunjukkan bahwa mereka yang (memiliki) HIV atau AIDS, sangat berat untuk menerima dan mengakui kenyataan itu. Persoalan makin kompleks ketika dihubungkan dengan lingkungan sosial. Ada semacam kekhawatiran bahwa orang terdekat atau komunitas sosial umumnya, akan `mengucilkan mereka`.

Turbulensi mental akibat HIV/AIDS itu sebetulnya jauh lebih destruktif ketimbang `serangan virus in se`. Proses menuju kematian akan jauh lebih cepat jika penanganan aspek mental ini kurang diperhatikan. Kita tahu bahwa ketika ODHA merasa khawatir dan malu akan penyakit yang dialaminya, mereka justru cenderung lupa untuk melakukan pengobatan, termasuk terapi psikis.

Dalam keadaan seperti ini, ODHA juga merasa malu datang ke konselor untuk bercerita tentang persoalan yang dihadapi. Mereka lebih memilih untuk `mendiamkan` kasus itu. Akibatnya adalah pengobatan dan penanganan terhadap kasus HIV/AIDS terkesan `terlambat` sebab sudah memasuki stadium lanjut (kronis).

Banyak yang mengira, bila ODHA datang ke konselor, maka kisahnya akan diceritakan ke orang lain yang dikenalnya. Kemudian dia akan berpikir, bila orang lain tahu dia akan dibully atau dijauhi oleh lingkungan. Rasa malu dan khawatir yang tidak ditangani dengan baik ini pada akhirnya memicu depresi dan gangguan psikis lain.

Padahal, ketika mereka (ODHA) datang, tentu saja psikolog tidak membicarakan tentang sakit jiwa yang mereka alami, tapi memancing mereka membicarakan orang-orang yang mereka tertarik atau siapa saja di sekitar dia. Tujuannya adalah selain menggali banyak hal, juga untuk `memberikan penghiburan dan penguatan`.

Saya berpikir, ini sebuah catatan atau masukan yang bagus bagi lembaga yang `peduli` terhadap kasus HIV/AIDS seperti Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), Dinas Kesehatan, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Penanganan terhadap ODHA itu tidak bisa hanya berfokus pada aspek fisik saja. Sisi tekanan psikologis juga harus mendapat porsi perhatian yang seimbang.

Jadi, kasus HIV/AIDS ini merupakan persoalan bersama yang bersifat kompleks. Perlu kerja keras dan cerdas dari semua komponen untuk `meminimalisasi` efek destruktifnya. Untuk mengatasi terjadinya peningkatan kasus depresi yang dialami oleh ODHA, perlu adanya berbagai pihak terkait untuk melakukan pencegahan dan penanganan yang optimal. Hal itu guna dapat menangani persoalan ini secara efektif.

Penanganan secara psikologis untuk ODHA sangat relevan dan urgen. Ilmu psikologi klinis sudah berkembang pesat saat ini. Karena itu, metode kerja dari bidang ilmu ini bisa diadaptasi untuk menekan rasa depresi ODHA. Para aktor yang terlibat dalam upaya pengendalian dan penanggulangan HIV/AIDS mesti menerapkan secara kreatif beberapa resep psikologis tersebut.

Pertama, melakukan semacam psiko-edukasi. Pendidikan psikologis yang dimaksud tentu terkait HIV/AIDS dan masalah gangguan mental yang ditimbulkannya. Upaya ini lebih sebagai ekspresi pemberian dukungan positif. Dalam pelaksanaannya, kita harus memberikan fakta yang akurat dan berbasis bukti terhadap mitos-mitos tentang HIV/AIDS yang beredar di tengah masyarakat.

Kedua, penerimaan dan dukungan. Kita mesti memperlihatkan sikap penerimaan dan dukungan yang positif pada individu HIV/AIDS. Respek dan penerimaan yang tulus, tentu berpotensi mengurangi masalah gangguan kesehatan mental. Kita dapat melakukan itu dengan bersikap empati dan tidak menghakimi ODHA.

Ketiga, advokasi lintas kelembagaan dan organisasi. Advokasi lintas kelembagaan dan organisasi ini bisa dilakukan pemerintah maupun non-pemerintah. Upaya `advokasi yang massif` semacam itu, bisa membangkitkan harapan dan rasa percaya diri ODHA bahwa mereka sangat berharga di mata kita. Hal ini akan membantu ODHA merasa aman dan dapat mengurangi tekanan psikisnya.

Keempat, dukung ODHA konseling. Minta dan dukung ODHA untuk melakukan konseling atau pertemuan berkala dalam grup. Melalui konseling dan temu grup, ODHA dapat saling belajar dan berbagi pengalaman dengan orang lain yang mempunyai pengalaman sama.

Saya kira, empat solusi yang ditawarkan di atas, bisa dikembangkan oleh KPA Manggarai Barat (Mabar) dalam menjalankan tugas profesionalnya. KPA tidak hanya berurusan dengan program pendataan dan mendorong populasi kunci untuk mengikuti tes medis secara rutin serta kampanye menggunakan kondom, tetapi mulai berpikir bagaimana memberikan layanan konseling yang bermutu kepada ODHA.

Melalui layanan psikologis semacam itu, sebenarnya kita sedang berjuang `mematahkan stigma dan menghapus diskriminasi` terhadap ODHA dan mengembalikan `hak mereka` sebagai manusia yang utuh dan normal. Ketika sisi mental ini `disentuh` maka kuk ODHA pun terasa ringan.

*Penulis adalah warga Labuan Bajo.

Artikel Terkait