Opini

Menyoal Amandemen UUD 1945 untuk Jabatan Presiden 3 Periode

Oleh : Rikard Djegadut - Jum'at, 17/09/2021 21:06 WIB

Muhammad AS Hikam (Foto:Ist)

Oleh Muhammad AS Hikam, pengamat politik dari Universitas Presiden, mantan Menristek Kabinet Gusdur 

Opini, INDONEWS.ID - Wacana dan praksis yang sedang bergulir mengenai Amandemen UUD 1945 dan penambahan masa jabatan Presiden 3 periode adalah dua hal yang bisa dibedakan namun tak terpisahkan.

Pada hakekatnya, secara legal, politik, dan etik, baik wacana maupun praktik mengamandemen sebuah UUD atau Konstitusi negara bukanlah suatu yang tabu, terlarang, atau tak boleh diperjuangkan dan/ atau dilakukan.

Dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia, termasuk di negeri kita sendiri, wacana dan praktik mengamandemen Konstitusi itu telah pernah terjadi di masa lalu, dan kemungkinan akan terjadi juga di masa-masa yang akan datang.

Demikian pula halnya dengan wacana dan praktik penambahan, pengurangan, atau pergeseran urutan tentang masa jabatan seorang Presiden di berbagai negara. Ia bisa saja terjadi dan diupayakan, serta dipraktikkan.

Konsekuensinya, amandemen tentang penambahan jabatan presiden, secara legal formal, politik, dan etik pun merupakan hal yang sah. Hanya saja perubahan masa jabatan presiden berbeda dengan amandemen pasal lain. Karena kendati ia merupakan bagian dari pasal-pasal Konstitusi, tetap saja tidak sama substansinya.

Dalam pengertian ia lebih khusus secara politik. Bobot dari amandemen tentang sebuah perubahan masa jabatan presiden jelas sangat besar terutama secara politik bagi sebuah sistem pemerintahan dan negara.

Bertolak dari asumsi dasar tersebut, maka wacana dan praksis terkait amandemen konstitusi selalu merupakan “extraordinary phenomenon” secara politik karena umumnya dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan yang mendesak dan bahkan merupakan respon terhadap krisis.

Amandemen konstitusi sangat luas dan dalam dampaknya terhadap kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Mengamandemen sebuah konstitusi jelas berbeda dampaknya dengan mengamandemen aturan perundangan yang ada di bawahnya.

Salah satu adalah adanya urgensi yang bersifat fundamental, berskala nasional, dan kritikal yang kemudian membedakan keduanya secara sangat tegas apa raison d’etre nya. Makanya seringkali amandemen konstitusi hanya terjadi sebagai respon terhadap terjadinya peristiwa-peristiwa yang ruptural sifatnya, dan (dalam konteks negara demokrasi) legitimasinya diperoleh bukan hanya dari elite politik saja tetapi juga warganegara.

Jika wacana dan praksis amandemen konstitusi hanya lahir karena kepentingan satu dua kelompok elite pada negara, masyarakat politik, dan/ atau masyarakat sipil, maka legitimasinya akan rendah bahkan bisa jadi tertolak.

Kendati secara legal formal dan politik bisa saja dipaksakan dan terjadi, namun legitimasi etik yg dimilikinya akan tetap rendah dan bisa menjadi penyebab destabilisasi politik atau persoalan-persoalan fundamental lain dalam tatakehidupan bernegara.

Jika kita mencermati wacana amandemen konstitusi UUD 1945 di era pasca reformasi ini, maka kita akan dihadapkan pada pertanyaan: “Apakah urgensi kritikal seperti yang disebutkan di atas telah terjadi atau setidaknya terpenuhi?” Tentu orang akan bisa berbeda pendapat dan pro-kontra akan segera muncul.

Namun jika kita jujur dan berusaha membandingkan antara urgensi terjadinya amandemen antar era sebelum reformasi dan setelah reformasi lebih dari dua dasawarsa lamanya, tampaknya akan jauh berbeda.

Saat ini nyaris belum ada atau dirasakan ada sebuah krisis legitimasi yang sebanding dengan masa-masa akhir Orba, dimana ketika itu terjadi secara struktural dan multidimensional terhadap rezim tersebut.

Salah satu persoalan yang sangat mendesak dan menjadi raison d’etre perlunya amandemen konstitusi era akhir Orba adalah adanya fakta kekuasaan tanpa batas (termasuk dan terutama masa jabatan presiden) yang dilegitimasi oleh UUD 1945 yang memungkinkan Presiden Suharto berkuasa selama lebih dari tiga dasawarsa dan, melalui kekuasaan tsb, melanggengkan sistem kekuasaan otoriter.

Amandemen tentang pembatasan masa jabatan presiden, jadinya, adalah sebuah sine qua non¬ dan didukung oleh seluruh elemen pro demokrasi, baik pada tataran masyarakat politik dan terutama masyarakat sipil.

Pada saat ini justru hal yang sebaliknyalah yg terjadi: Amandemen UUD 1945, khususnya jika penambahan masa jabatan presiden akan dilakukan, adalah sebuah antitesa terhadap semangat dan etos reformasi dan memperlemah salah satu fondasi sistem demokrasi, yaitu pembatasan kekuasaan presiden. Ironis dan bahkan kontradiktif, bukan?

Mengapa ironi dan kontradiksi tsb muncul dalam dinamika politik RI pasca-reformasi? Saya kira, salah satu jawabnya adalah karena perpolitikan kita sedang menyaksikan proses kemunduran atau setback atau pemretelan demokrasi (democratic undoing) yg sejatinya berlangsung secara gradual tapi pasti dalam beberapa tahun terakhir ini.

Tren pemretelan demokrasi tidak hanya monopoli Indonesia saja. Setidaknya, menurut sebuah kajian yang dilakukan oleh kelompok wartawan independen yg bernama “Groundtruth”, di berbagai negara yang bisasanya dianggap sebagai kekuatan demokrasi, kasus pemretelan ini juga berlangsung.

Laporan Groundtruth menunjukkan setidaknya ada 7 negara demokrasi, AS, India, Brazilia, Kolombia, Hongaria, Polandia, dan Italia, mengalami proses tsb. Kendati sistem politik di negara-negara tersebut belum bisa sepenuhnya berubah menjadi otoriter, namun perilaku elite pemerintahan mereka sedang atau telah menggunakan model-model otoriter sebagai alat mempertahankan kekuasaan.

Jadi kita mesti juga berhati-hati dan waspada jangan sampai proses pemretelan demokrasi di negeri ini terjadi dan membuat kita ‘balik kanan’ menuju otoriterisme yang telah kita reformasi dan lenyapkan sejak 1998.

Berbagai fakta dan bukti tentang tren kemunduran demokrasi di Indonesia sudah kita ketahui baik dari sumber-sumber dalam maupun luar negeri (internasional), sepert indeks demokrasi global, hasil-hasil survei tentang kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara RI, indeks pencegahan korupsi dan lain lain.

Tetapi selain merupakan kecenderungan global kemunduran sistem demokrasi, menurut hemat saya, di negeri ini juga sedang mengalami pertarungan paradigmatic dalam wacana dan praksis politik yang langsung atau tidak terkait dengan sistem demokrasi dan praktik berdemokrasi.

Munculnya dan maraknya wacana amandemen konstitusi saat ini, misalnya, tak bisa dilepaskan begitu saja dari pergelutan antara kekuatan-kekuatan ideologi, politik, dan sosial untuk merebut dan memertahankan kepentingan mereka semenjak reformasi bergulir.

Kendati mereka menggunakan dan mengarusutamakan wacana dan praktik demokrasi, ideologi Pancasila dan UUD 1945, tetapi paradigma dan manifestasi dalan perilaku politik mereka tidak selalu sama dan bahkan bertentangan satu sama lain secara diametral.

Paradigma yang saling berseberangan tersebut menghasilkan dinamika politik yang kemudian, salah satunya, berdampak kepada fenomena setback dan pemunduran demokrasi di Indonesia.

Paradigma yang semula (pada masa awal reformasi) yang dominan adalah yang berupaya meninggalkan secara total ontologi politik otoritersisme dan menggantinya dengan ontologi demokrasi konstitusional.

Segala praktik perpolitikan yang menjadi ciri khas otoritersime Orba (dan Orla) dicoba ditinggalkan, termasuk di dalamnya praktik-praktik kekuasaan tanpa batas, dan pengingkaran thd hak-hak dasar kewarganegaraan, pengkerdilan hukum, penindasan HAM, praktik korupsi, serta militerisme.

Namun demikian paradigma ini, yang lebih nayak didukung oleh masy sipil, tetapi hanya lemah dalam level elektoral, dan tentu saja mendapat halangan dari kelompok-kelompok kepemtingan lama, tidak menjadi suat kekuatan yang “hegemonic” di negeri ini, apalagi setelah kejatuhan pemerintahan KH Abdurrahman Wahid.

Alih-alih, paradigma yang menjadi alternatif didasari ontolog politik yang pragmatis instrumental. Inilah landasan paradigma yang semakin haris semakin hegemonic dan ditopang oleh massa politik, negara (pemerintah), apparat birokrasi, dan bahkan Sebagian dari masyarakat sipil seperti kelompok oligarki.

Bisa dikatakan bahwa sistem demokrasi formal yang berjalan sampai saat ini memiliki kelemahan yang sangat fundamental dan karenanya rentan terhadap godaan untuk kembali (retreat) atau mudah terbujuk oleh otoritarianisme.

Paradigma yang memandang politik sebagai instrumen atau peralatan (who gets what when and how) dan pragmatisme, akan berorientasi kepada sejauhmana keberhasilan merebut dan memertahankan serta memerluas kekuasaan kelompok dan bahkan pribadi.

Kendati mengumandangkan slogan yang sama, yakni demokrasi konstitusional, dalam praktik justru mengabaikan inti demokrasi tersebut: pembatasan terhadap kekuasaan, rule of law, penghormatan terhadap hak kewarganegaraan, dan etos keadilan sosial. Neoliberalisme lantas dirayakan dalam praktik kendati membungkusnya dengan populisme dan nasionalisme.

Diskrepansi antara kedua paradigma politik ini tampak semakin nyata akhir-akhir ini yg dapat disaksikan dalam perilaku negara (pemerintah) vis-à-vis kelompok yang memiliki aspirasi dan bertentangan dengannya.

Selain itu juga tampak dalam kecenderungan mengerucutnya kekuasaan dalam ranah elektoral yang sepi dari pertukaran wacana dalam pembentukan legislasi yg sangat vital dampaknya. Justru ranah elektoral menjadi alat efektif bagi pengabsahan kebijakan publik lewat perundangan yang sejatinya banyak dipertanyakan manfaatnya oleh masyarakat, sperti UU Minerba, UU KPK, UU Pandemi, dan UU Cipta Kerja.

Keterasingan masyarakat terhadap politik dianggap sebagai sebuah kebaikan atau indikator stabilitas politik. Kritik dianggap sebagai pemicu chaos yg mesti dieliminasi total dari batang tubuh politik dan kalau perlu dengan kekerasan.

Dalam konteks seperti inilah wacana amandemen UUD 1945 dan terutama isu penambahan masa jabatan presiden perlu dipahami. Bukan pada soal legalitas amandemen per se, atau kalkulasi politiknya (yang kemungkinan akan lancar pada tataran elektoral), tetapi signifikansinya terhadap kelanjutan proses konsolidasi demokrasi.

Ketika masyarakat sipil Indonesia (MSI) juga sedang mengalami pembelahan dan pelemahan karena maraknya politik identitas dan dislokasi-dislokasi sosial akibat sistem kapitalisme ala neolib, maka pergelutan dalam paradigma demokrasi cenderung tak seimbang. Dengan kata lain, godaan dan hasrat dari dalam serta dorongan dari luar untuk memreteli (undoing) demokrasi dan menggunakan otoriterisme pun tak terelakkan.

Proses pemretelan terhadap demokrasi, sebagai mana dilaporkan oleh kelompok Groundtruth, dalam artikel mereka “Democratic Undone: The Authoritarian’s Playbook,” (https://thegroundtruthproject.org/democracy-undone-signs-of-authoritarianism/) diupayakan dengan berbagai cara. Setidaknya ada 7 macam cara yang bisa kita cermati:

a. Mempersenjatai (weaponize) dengan ketakutan. Cara ini digunakan melalui penggelaran ujaran-ujaran yang sarat kekerasan; pembudayaan penjatuhan hukumn; pameran kekuatan militer; dan pendiskreditan para pengritik.

b. Menarget pihak yang berada di luar. Ini dilakukan dengan cara mengembangkan pandangan-pandangan antiasing (xenophobia); menyalahkan kekuatan asing: Menuding lawan-lawan politik sebagai sahabat kekuatan asing.

c. Menghancurkan Lembaga-lembaga yg pro demokrasi. Cara ini dilakukan dengan melemahkan lembaga gakkum; melemahkan prinsip dan praktik checks and balances; pelemahan legislasi; peraturan-peraturan yang dianggap melemahkan eksekutif; melemahkan lembaga-lembaga yang melindung pemilihan umum yang fair.

d. Upaya merevisi sejarah. Cara ini ditempuh dengan kontrol thd media dn sekolah-sekolah agar tak kritis; menyebarkan pengaruh /opini publik yang pro kepada otokrasi.

e. Eksploitasi terhadap ajaran-ajaran agama. Kelompok beragama mayotitas didekati, dirayu; mencampuradukkan identitas deng agama.
f. Adu domba dan kuasai (devide et impera). Penyebaran ujaran kebencian; mendorong kekerasan: merekayasa krisis untuk merebut kekuasaan.

g. Menggusur kebenaran. Media diserang dan dicap sebagai musuh rakyat; Menolak kabar buruk dengan menyebut sebagai kabar bohong; kontrainformasi dg disinformasi; dan membanjiri media dengan berbagai berita skandal yang saling bertentangan.

Wacana amandemen UUD 1945 saat ini adalah preteks dari sebuah upaya untuk penguatan dan penggelaran paradigma, yaitu grand design atau proyek politik yang akan berdampak fundamental bagi keberlangsungan reformasi dan demokrasi yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dasawarsa oleh para pekerja demokrasi, khususnya MSI.

Kendati kita belum menyaksikan sebuah proses dedemokratisasi, tetapi setidaknya perlu kewaspadaan terhadap setback yang makin nyata di berbagai dimensi.

MSI masih belum kembali menjadi kekuatan utama bagi konsolidasi demokrasi. Ia memerlukan kepemimpinan yang efektif di berbagai level agar paradigma politik dan demokrasi, yang sebelumnya menjadi etos reformasi dan praktik demokratisasi, akan menguat. Semoga.*

Artikel Terkait