Opini

Mahasiswa dan Negara Membaca Perkembangan Global

Oleh : Mancik - Selasa, 19/10/2021 20:23 WIB

Hasnu, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional (UNAS) Jakarta.(Foto:Ist)

Oleh: Hasnu

INDONEWS.ID - Secara general, globalisasi dapat diartikan sebagai suatu proses internasionalisasi atau proses mendunia. Dalam banyak literatur politik, merujuk pada Globalization sebagai asal kata globalisasi. Secara bahasa, global artinya mendunia, sedangkan ization bermakna merujuk pada suatu proses.

Semantara itu, perkembangan global dapat dipahami sebagai fenomena perubahan secara mendunia. Seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengantar negara-negara di dunia untuk siap bertarung menjadi yang terkuat.

Paling tidak, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengantarkan dunia pada peradaban industri yang semakin maju, peradaban industri yang tidak hanya memproduksi barang dengan jumlah masal untuk pemenuhan kebutuhan manusia, tapi lebih dari itu.

Seperti yang kita ketahui, proses produksi dilakukan dengan cepat dan serba otomatis. Perkembangan industri tidak dapat dibayangkan begitu cepatnya ia berkembang, sejak munculnya mesin uap hingga sekarang munculnya kekuatan artificial intelligence, internet of thing, big data dan kemajuan tecnological lainnya untuk menopang dunia industri.

Revolusi industri kini menginjak era ke-4, atau sering disebut revolusi industri 4.0, bahkan di belahan dunia lain ada yang sudah menerapkan revolusi industri 5.0 dan sudah merancang revolusi industri 6.0, semua ini adalah cipta karsa manusia yang tentu merupakan potensi besar yang dapat digunakan untuk proses pemenuhan kebutuhan hidup seluruh umat manusia di dunia.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memang haruslah bermuara pada kepentingan peradaban umat manusia, menjadi jawaban dari permasalahan manusia, sehingga dapat menopang kebutuhan-kebutuhan hidup manusia itu sendiri.

Lalu apakah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berwujud revolusi industri (4.0, 5.0, dan 6.0) itu akan menjadi jawaban masalah bagi umat manusia di dunia ataukah justru akan semakin mendorong manusia kedalam lubang keterasiangan seperti kata Karl Marx?

Selanjutnya, bagaimana perkembangannya di Indonesia dan apa tugas kita sebagai rakyat Indonesia, sebagai mahasiswa, dan sebagai negara?

Dalam setting hhistoris, revolusi industri 4.0 di mana mesin-mesin berintegrasi dengan internet of thing. Kendati demikian, data artificial intelligence telah menyebabkan fenomena disrupsi disemua sektor kehidupan kita.

Fenomena tersebut bukanlah ruang kosong, tapi nyata adanya. Perkembangan artificial intelligence, bio-enginering, internet, mobile net, bio-tecnology, dan e-commerce hari ini tengah siap menggantikan manusia.

Hal tersebut dapat dilacak pada bidang komunikasi, perbankkan, pendidikan, ekonomi, politik serta banyak sektor lainnya. Sebagai contoh, sebut saja misalkan negara Jepang. Ia telah mempelopori lahirnya revolusi industri 5.0, suatu konsep masyarakat yang berpusat pada manusia tapi berbasis pada teknologi-teknologi mutakhir.

Beberapa pakar politik global dan hubungan internasional menyatakan kini dunia tengah berjalan menuju revolusi industri 6.0, yang mendorong bio-mikro, energi renewable, nano-tecnology, bio-economy, design dan arsitektur ramah lingkungan, dan teknologi berkelanjutan lainnya.

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tahun 2014 silam telah mendeklarasikan Sustainable Development Goals (SDGs) melaui 17 klaster isu seperti; pendidikan, kesehatan, lingkungan, ekonomi, gender, kemiskinan dan lain-lain. Indonesia adalah satu negara anggota SDGs.

Pertanyaan kritis yang akan menggugat gerakan intelektual mahasiswa dan negara adalah apa dampak yang kita rasakan dari seluruh kemajuan-kemajuan tersebut? Pembacaan saya, dampak dari langkah percepatan teknologi yang tanpa dibarengi dengan kesadaran kemanusian, rupanya ia hanya akan menimbulkan keterasingan hidup manusia.

Di lain aspek, ketidak bermaknaan artificial, fakta sosial seperti ketimpangan antara si kaya dan si miskin, ketimpangan antara masyarakat di perkotaan dan pedesaan, dan terlebih lagi ketimpangan antara rakyat banyak dengan elit.

Dalam konteks Indonesia khususnya, proses demokratisasi disumbat eksistensialnya oleh kartel oligarkis sebagai hasil perkawinan silang antara oligarki dan kartel politik. Hal tersebut, tentu menjadi pekerjaan rumah bagi mahasiswa dan negara dalam mendorong demokrasi substansial bukan demokrasi cacat.

Lalu, bagaimana dengan kondisi negara kita, apakah negara republik Indonesia yang kita cintai sudah benar-benar siap dengan perkembangan yang ada, atau akan terlindas oleh perkembangan sejarah yang akan terus berlangsung?

Menurut saya, negara harus mampu berpikir secara visioner, ia harus melihat kedepan. Artinya, tidak kemudian negara Indonesia hanya sebagai pengikut dalam politik luar negeri dan politik internasional. Paling tidak, negara harus mampu kapan paham idealisme ditempakan dan kapan paham realisme diberlakukan, agar persekawanan dalam narasi globalisasi bangsa Indonesia menjadi kalkulasi negara lain.

Sebagai mahasiswa, harus merefleksikan hal tersebut dan terus melakukan dialog dengan keadaan. Begitupun pada level negara. Energi bangsa ini banyak yang terkuras dalam urusan-urusan dinamika internal bangsa, tidak kemudian merespon apa yang sedang terjadi dalam politik global.

Dalam menjawab perkembangan teknologi tersebut, pada level mahasiswa mesti mendorong beberapa lompatan berpikir sebagai solusi konkrit dalam menjawab kebutuhan dan tantangan zaman berupa makluk globalisasi dan neo-liberalisme.

Mahasiswa Indonesia harus mampu membumikan narasi besar yakni mahasiswa menjawab perkembangan digitalisasi. Kedepannya, mahasiswa menyederhanakan kerangka refleksi, kerangka ideologis dan kerangka aksi.

Pada kerangka refleksi mahasiswa harus melihat perkembangan digital sebagai peluang serta sebagai ancaman.

Selanjutnya, pada kerangka ideologi mahasiswa penting sekali untuk penguatan ideologisasi Pancasila agar dapat dijadikan sebagai iman gerakan mahasiwa Indonesia.

Pada kerangka aksi mahhasiswa siap berkompetisi dalam sektor pendidikan global, penguatan manajemen kepemimpinan global, penguatan kedisiplinan global, menjadi insan pendidikan dunia, penguatan artificial intelligen, dan kemampuan big data.

Pada level negara, penting rupanya membangun politik alternatif baik dalam persekawanan politik luar negeri dan politik internasional, interkoneksi isu dan jaringan global, pelopor dan dinamisator aktor perubahan global, menerapkan kebijakan politik luar dan politik internasional yang berpaham pancasilais, pertahanan dan keamanan negara melalui konsep semesta dan modern, dan movement ecological global sustaynability.

Apabila ruang-ruang tersebut mampu ditangkap serta disederhanakan oleh mahasiswa dan negara, maka perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut sebagai sintesa baru dan akan dijawab oleh Indonesia sebagai negara maju dalam menyambut bonus demografi 2030 dan menyonsong Indonesia emas 2045.

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional (UNAS) Jakarta

Artikel Terkait