Opini

Mengubah Wajah Kebudayaan Kita

Oleh : luska - Senin, 29/11/2021 07:20 WIB

Oleh : Dr Muhadam Labolo (Dosen senior IPDN)

Gagasan memajukan kebudayaan kita oleh Dirjen Kebudayaan Dikti (Hilmar, Ph.D) dalam webinar bersama civitas IPDN tanggal 20 November 2021 patut dipertimbangkan dalam agenda strategis. Visi besar itu rasanya _compatible_ dengan strategi pendidikan IPDN yang sejauh ini konsisten membangun wajah kebudayaan pemerintah (baca;birokrat) lewat sistem konsentrik jarlatsuh.

Kebudayaan, dalam lanskap makro setidaknya meliputi gagasan _(idiologi),_ tindakan _(behavior)_ dan produk dari tindakan tersebut _(artefak)_  (Koentjaraningrat, 1997). Problem pertama berkaitan dengan bagaimana membangun kepercayaan pada idiologi (Pancasila) yang dalam 13 tahun terakhir mengalami degradasi hingga 10% (Yusuf, 2020, UMM). Indikasinya, radikalisasi agama dan munculnya idiologi alternatif. 

Ironinya, survei _Alvara Research_ menunjukkan bahwa angka ketidakpercayaan ASN terhadap Pancasila mencapai 19,4%, atau sekitar 800.000 dari total jumlah ASN (Infokom, 2019). Kelompok ekslusif itu tersebar di 6 kota besar. Rilis itu diyakini BPIP sebagai tantangan atas hilangnya kurikulum pendidikan kognitif Pancasila diberbagai level pendidikan (Hariyono, 2019).

Di ranah perilaku _(behavior),_ tantangan terbesar kita adalah hilangnya identitas sosial yang menjadi karakteristik kebudayaan manusia Indonesia. Identitas jujur dan suka bergotong-royong bergeser membentuk kebohongan dan tolong-menolong dalam kejahatan. Kebohongan individu menjelma rupa menjadi kebohongan kolektif. Sementara tolong-menolong membentuk sikap adaptif terhadap perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme.

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, statistik perilaku korupsi kita mencapai peningkatan baik menurut survei dalam dan luar negeri (BPS & ICW, 2020-2021). Rentetan tertangkapnya mentri, kepala daerah, politisi hingga kepala desa, sedikit membuktikan bahwa kebudayaan pemerintahan kita mengalami dekonstruksi moral hingga ke titik nadir. Sedikit informasi positif yang dapat dibanggakan sebab ditimpa hari-hari penuh kabar koruptif.

Pada level artefak, produk kebudayaan kita berhadapan dengan arus globalisasi yang menghalalkan semua komoditi masuk dengan mudah hingga ke bilik privasi. Bentuknya bisa _film, fashion, & food._ Di kota besar sesak oleh menu asing siap saji. Di ruang kamar, generasi Z terikat oleh Drama Korea (Drakor) misalnya. Sementara _fashion,_ terpinggir oleh sentuhan asia timur & timur tengah. Apesnya, produk kreatif kita mesti diinjeksi dipasarnya sendiri lewat semangat afirmasi, _cintailah produk-produk dalam negeri._

Membandingkan realitas itu, kualitas kebudayaan pemerintahan kita masih jauh di bawah Jepang, Korea dan China. Tentu diperlukan strategi penanaman idiologi & perubahan perilaku guna melahirkan artefak yang membanggakan. Dalam kaitan itulah IPDN memiliki posisi strategis guna memanfaatkan metode pengajaran, pengasuhan dan pelatihan sebagai media pembangunan kebudayaan pemerintahan.

Pada ranah kognitif (pengajaran), penanaman idiologi dilakukan dengan mengintegrasikan nilai Pancasila, Revmen, Pendidikan Anti Korupsi, spiritualitas, etika, kearifan lokal, wasbang dan Integritas dalam kurikulum. Pada afeksi (pengasuhan), penciptaan zona integritas seperti _integrity islands_ dilingkungan kampus sungguh-sungguh diterapkan agar membentuk habituasi anti korupsi. Dimulai dari hal kecil, misalnya dilarang keras menyontek. Diikuti contoh sebagai model yang benar-benar hidup dan dapat ditangkap dengan mudah.

Dengan semua itu, wajah kebudayaan pemerintah (birokrasi) kedepan dapat kita ubah, setidaknya setaraf dengan negara maju di Asia yang semakin efisien. Ke arah itulah kebudayaan pemerintahan kita, yaitu pemerintahan kelas dunia tanpa alpa dari nilai lokal sebagai titik tumbuh. Dengan menerjemahkan idiologi ke konteks-praktis, mentransformasi perilaku apatis ke level peduli, bohong menjadi jujur, kita akan mampu melahirkan produk kompetitif yang dihargai bangsa-bangsa disekeliling kita.

TAGS : Kebudayaan

Artikel Terkait