Nasional

Kriminalisasi Pers Kembali Terjadi, SETARA Desak Revisi UU ITE

Oleh : very - Rabu, 01/12/2021 16:40 WIB

Tolak Kriminalisasi Pers. (Foto: Independensi.com)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Muhammad Asrul, editor berita.news, divonis tiga bulan penjara terkait tindak pidana pencemaran nama baik yang dilakukannya. Dia dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE (23/11/2021).

Asrul dinyatakan bersalah atas tindakannya yang memuat tiga tulisan di berita.news mengenai dugaan korupsi putra Wali Kota Palopo yang juga merupakan ASN di Pemerintah Kota Palopo.

“Kasus ini semakin menambah bukti bahwa UU ITE kerap dijadikan sebagai alat pembungkaman terhadap kebebasan pers serta kebebasan berpendapat dan berekspresi,” ujar Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute, Sayyidatul Insiyah melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (1/12).

Sebelumnya pasal yang sama juga dimanfaatkan untuk menjerat aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti terkait unggahan video Youtube tentang hasil riset dugaan keterlibatan Luhut Binsar Pandjaitan di balik relasi ekonomi dalam Operasi Militer Intan Jaya.

SETARA Institute, katanya, menilai bahwa kondisi kebebasan berekspresi sebagai anak kandung reformasi akhir-akhir ini memburuk. Ini dibuktikan dengan banyaknya kasus kriminalisasi berbasis UU ITE.

“Alih-alih digunakan sebagai jaminan perlindungan terhadap pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, UU ITE justru dimanfaatkan untuk membatasi ruang bagi ekspresi dan partisi publik. UU ITE digunakan untuk melakukan kriminalisasi atas warga yang melakukan fungsi kontrol publik,” tuturnya.

Karena itu, SETARA Institute mengecam ketidakpatuhan aparat penegak hukum terhadap SKB Kementerian Kominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu dalam UU ITE.

Setidaknya, ada dua poin yang tidak diindahkan baik oleh kepolisian maupun oleh majelis hakim dalam menangani kasus Asrul. Pertama, yaitu pada tafsir atas Pasal 27 ayat (3) huruf c dan huruf l UU ITE.

“Aparat penegak hukum gagal memahami bahwa ketiga tulisan Asrul adalah berdasarkan hasil riset aktivis bernama Andi Z.A. Guntur sehingga seharusnya kasus ini bukan termasuk delik Pasal 27 ayat (3) UU ITE sebagaimana penjelasan tafsir Pasal 27 ayat (3) huruf c SKB tersebut. Lagi-lagi, penyelenggara negara telah menangani kritik berdasar bukti yang dapat dipertanggungjawabkan dengan pemidanaan pencemaran nama baik,” katanya.

Selain itu, hakim jelas mengabaikan hukum kebebasan pers. “Tulisan yang dimuat Asrul juga telah ditegaskan oleh Dewan Pers sebagai produk jurnalistik sesuai dengan UU Pers sebagaimana dalam Surat Dewan Pers No. 189/DP-K/II/2020 tertanggal 4 Maret 2020. Dengan demikian, penanganan kasus Asrul seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers berdasarkan UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, maupun Peraturan Dewan Pers terkait lainnya,” ujar Sayyidatul.

Namun, pihak kepolisian dalam kasus Asrul ternyata tidak mengindahkan Nota Kesepahaman atau MoU yang dibuatnya bersama dengan Dewan Pers tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan. Bahwa dalam Pasal 5 MoU tersebut telah diatur bahwa ketika ada laporan terkait dugaan tindak pidana di bidang pers, maka akan dilakukan penyelidikan dan hasilnya dikoordinasikan bersama untuk menyimpulkan apakah perbuatan tersebut adalah tindak pidana atau bukan.

“Ternyata, aparat kepolisian gagal memahami kasus Asrul sebagai kasus yang seharusnya berada di bawah yurisdiksi UU Pers. Sekalipun pada hakikatnya MoU hanya bersifat morally binding yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, namun kasus ini kembali merefleksikan nihilnya political will negara untuk benar-benar menjamin perlindungan terhadap kebebasan pers, terlebih terhadap kebebasan menyuarakan hasil-hasil riset akademis,” katanya.

Sementara itu, Direktur Riset SETARA Institute Halili Hasan mengatakan, untuk mencegah berulangnya kriminalisasi, SETARA Institute mendesak Presiden bersama DPR untuk segera melakukan revisi UU ITE khususnya terhadap pasal-pasal karet dalam UU ITE yang selama ini kerap menjadi senjata ampuh untuk membungkam kebebasan berpendapat di ruang publik.

Karena itu, SETARA Institute mendorong Dewan Pers untuk lebih pro aktif dalam merespons berbagai kasus serupa agar tidak terjadi kriminalisasi jurnalis dan pegiat pers.

“Dewan Pers harus lebih aktif mencegah agar kasus-kasus dalam ranah kewenangan Dewan Pers tidak menjadi objek kriminalisasi di pengadilan,” pungkasnya. ***

 

Artikel Terkait