Opini

Catatan Akhir Tahun Ketua MPR RI Tentang Ekonomi: Penguatan Posisi Tawar Menuntut Profesionalisme Birokrasi Negara

Oleh : indonews - Selasa, 21/12/2021 11:22 WIB

Catatan Akhir Tahun Ketua MPR dalam bidang ekonomi. (Foto: Ist)

 

Bambang Soesatyo *)

INDONEWS.ID --- PERCEPATAN perubahan zaman yang mengemuka sepanjang tahun 2021 ini tak hanya menghadirkan prospek, tetapi semakin memperjelas proses penguatan daya tawar Indonesia dalam percaturan ekonomi global. Kandungan sumber daya alam (SDA) di perut bumi nusantara sangat signifikan nilainya bagi upaya komunitas global menghadirkan energi bersih, pengganti energi fosil yang polutif. Menguatnya daya tawar Indonesia itu menuntut profesionalisme birokrasi pusat dan daerah untuk memperlancar arus investasi asing ke dalam negeri.

Beginilah deskripsi tentang prospek dan penguatan daya tawar Indonesia di masa depan yang terlihat sepanjang 2021 ini. Pada forum Konfenrensi tingkat tinggi (KTT) G20 di Roma, Italia, November 2021, Presiden Joko Widodo menolak menandatangani dokumen perjanjian rantai pasok (supply chain agreement) sumber daya alam (SDA). Nilai strategis kandungan SDA di perut bumi nusantara mendorong sejumlah anggota G20 ‘merayu’ dan ‘memaksa’ Indonesia menyepakati rancangan perjanjian rantai pasok itu.

Patutlah bersyukur  dan memberi apresiasi setinggi-tingginya atas sikap dan pendirian tegas Presiden Jokowi menolak rancangan perjanjian itu. Kalau dokumen perjanjian rantai pasok itu ditandatangani, sama artinya Indonesia menyatakan bersedia melepaskan sebagian hak mutlak-nya dalam mengelola dan memanfaatkan SDA di perut bumi nusantara, dan selanjutnya perjanjian itulah yang akan mendikte Indonesia.

Dalam praktiknya, rantai pasok mencakup ragam aktivitas bisnis. Mulai dari pengelolaan dan pemindahan bahan mentah, proses pengolahan menjadi produk jadi bernilai tambah, hingga pendistribusian produk jadi ke pengguna atau konsumen. Dalam konteks pemanfaatan SDA, ragam aktivitas bisnis dalam rantai pasok setidaknya meliputi  penggalian materi SDA, ditampung dan diolah produsen, ada vendor, pemasaran, jasa pergudangan dan transportasi, jaringan distribusi hingga ke pengecer, aspek pembiayaan atau keuangan, layanan pelanggan hingga pengembangan produk.

Kalau ragam materi SDA mutlak milik Indonesia, semua aktivitas bisnis dalam rantai pasok itu berada dalam kontrol dan kendali negara. Pemerintah bisa melibatkan semua kekuatan bisnis dalam negeri untuk mengelola dan memanfaatkan SDA. Sebaliknya, ceritanya menjadi berbeda kalau ada kesepakatan rantai pasok dengan pihak asing. Sebab, dengan kesepakatan seperti itu, Indonesia wajib memberi ruang bagi hadirnya kekuatan asing dalam pemanfaatan SDA. 

Jika pihak asing menginginkan adanya kesepakatan rantai pasok dengan Indonesia, alasannya sangat jelas dan nyata. Saat komunitas global bersepakat mengakhiri pemanfaatan energi fosil yang polutif dan mulai berancang-ancang untuk transisi ke pemanfaatan energi bersih atau energi hijau, Indonesia dengan kekayaan dan keragaman SDA-nya  menjadi salah satu andalan dunia. 

Kekayaan dan keragaman SDA nusantara itu disebut Presiden Jokowi sebagai harta karun Indonesia yang penggarapannya belum maksimal. Dengan 4.400 sungai di berbagai daerah memungkinkan Indonesia membangun pembangkit listrik tenaga air (hydropower). Demikian pula dengan energi panas bumi (geothermal) yang potensinya mencapai 29.000 MW (MegaWatt) namun baru bisa direalisasikan sekitar dua ribu MW.

Materi SDA lain yang menjadi perhatian modal asing adalah nikel dan bijih bauksit. Dua komoditas strategis ini tersedia dalam jumlah memadai sehingga membuat posisi tawar Indonesia menguat. Bijih nikel bisa menghadirkan sejumlah produk turunan yang nilai tambahnya berkali-kali lipat. Bijih nikel kadar rendah dimanfaatkan untuk membuat baterai penggerak kendaraan listrik. Cadangan nikel di perut bumi Indonesia mencapai 72 juta ton Ni (nikel). Jumlah ini mencakup 52 persen dari total cadangan nikel dunia yang volumenya mencapai 139,42 juta ton Ni.

Bijih bauksit diolah menjadi alumina untuk membuat logam aluminium yang pemanfaatannya sangat beragam, seperti komponen atau bahan baku bangunan dan konstruksi, ragam komponen mesin, transportasi, kelistrikan, kemasan dan barang tahan lama lainnya. Kementerian ESDM mencatat, jumlah sumber daya bijih terukur bauksit di Indonesia mencapai 1,7 miliar ton, dan logam bauksit 640 juta ton. Cadangan terbukti untuk bijih bauksit 821 juta ton, dan logam bauksit 299 juta ton.

Ragam kandungan dan rencana pemanfaatan SDA Indonesia ini tak hanya menjelaskan tentang prospek, tetapi juga semakin memperkuat daya tawar negara-bangsa, kini dan di masa depan. Pemerintah setidaknya sudah membuktikan kekuatan daya tawar (bargaining position) RI itu dengan menolak menandatangani dokumen perjanjian rantai pasok yang disodorkan di forum KTT G20, baru-baru ini.

Dalam konteks memaksimalkan pengelolaan dan pemanfaatan SDA milik negara-bangsa, menolak rancangan perjanjian rantai pasok itu mencerminkan sikap profesional pemerintah di hadapan komunitas global. Indonesia ingin berperan dominan dalam mengelola SDA-nya demi kesejahteraan rakyat. Hakikat profesionalisme yang demikian hendaknya bisa ditransmisikan ke dalam keseluruhan manajemen birokrasi negara, baik di pusat maupun di daerah.

Kekayaan dan keragaman SDA Indonesia sudah mengundang modal asing untuk membangun kemitraan dengan semua kekuatan bisnis di dalam negeri. Konsekuensinya, birokrasi pusat dan daerah harus profesional, karena keragaman kandungan materi SDA itu tersebar di berbagai daerah. Banyak aspek teknis menjadi pekerjaan birokrasi pemerintah daerah.

Idealnya, semua pemerintah daerah memahami potensi SDA di wilayahnya masing-masing dan aktif mencari informasi tentang potensi pasar. Potensi SDA itu hendaknya dipromosikan ke komunitas investor untuk mendapatkan mitra investasi. Peluang promosi sangat terbuka karena Indonesia tetap menjadi perhatian komunitas global terkait status sebagai tuan rumah KTT G20 tahun 2022.

Dinamika pengelolaan ekonomi negara sepanjang 2021 ini masih memperlihatkan aspek profesionalisme sebagai masalah yang perlu mendapat perhatian serius. Memang, stabilitas perekonomian nasional tahun 2021 tetap terjaga kendati  Pandemi COVID-19 belum berakhir. Badan Pusat Statistik (BPS)  mencatat perekonomian Indonesia tumbuh positif pada triwulan III-2021, sebesar 3,51 persen. Namun, pada sisi pengelolaan, tetap saja masih ada masalah yang terus menuntut perbaikan atau peningkatan profesionalisme.

Masalah itu setidaknya tercermin pada aspek pemanfaatan anggaran. Misalnya, memasuki pekan kedua Desember 2021, sisa anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 masih sekitar Rp220 triliun, karena realisasi anggaran PEN baru 69,8 persen dari pagu anggaran Rp744,7 triliun.

Sementara itu, kasus mengendapnya dana pemerintah daerah di bank masih berlanjut. Total dana simpanan pemerintah daerah di perbankan hingga akhir September 2021 mencapai Rp 194,12 triliun. Bukan jumlah yang kecil. Kasus ini mencerminkan rendahnya penyerapan belanja modal di sejumlah daerah.  

Ketika dana Pemda hanya diendapkan di bank, sudah pasti dana itu tidak produktif karena tidak bisa  menggerakkan perekonomian daerah. Kreativitas dan profesionalisme Pemda harus ditingkatkan agar mampu memanfaatkan anggaran yang tersedia untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi daerah.

*) Ketua MPR RI, Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka.

Artikel Terkait