Opini

Apakah Kita Akan Terus Menyaksikan Keterpurukan Komunitas Keilmuan Indonesia?

Oleh : luska - Jum'at, 21/01/2022 16:08 WIB

Lily hakim Ph.D in Biomedical Science.UC Irvine,USA

Oleh : Lily Hikam

Sedih tapi kemungkinan nyata, komunitas keilmuan Indonesia memulai tahun baru 2022 tidak dengan dobrakan, melainkan dengan rintihan.

Seperti yang sudah banyak disadari masyarakat, peleburan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) ke dalam Kementerian Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan (Kemendikbud) menghasilkan gelombang tsunami pembubaran dan peleburan berbagai lembaga yang dibawahi oleh Kemenristek. Nama LIPI, yang sudah tak asing lagi di mata publik, seperti dalam semalam berubah menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Terlebih, atas nama efisiensi dan pengarusutamaan anggaran, SEMUA lembaga riset yang sebelumnya berada di bawah naungan Kemenristek ditiadakan dan diubah menjadi “Unit Riset” di bawah BRIN. Artinya, BATAN, LAPAN, LIPI, BPPT, dan berbagai lembaga riset harus secara signifikan merampingkan sumber daya manusianya untuk mengakomodir peleburan berbagai lembaga riset tersebut.

Sekilas, pemecatan massal pekerja dan peneliti yang kompeten sebagai akibat dari kebijakan birokratis yang satu arah dan berpandangan dangkal hanya merupakan konsekuensi kecil. Selain penghilangan pekerjaan yang mendadak dan signifikan akibat restrukturisasi di atas, terdapat konsekuensi lain yang kurang diakui, yakni kemungkinan migrasi massal dari peneliti yang sangat berbakat dan berkualifikasi, yang berpotensi menjadi aset bagi negara, terlebih di tengah-tengah pandemi. Fenomena tersebut, yang dikenal secara luas sebagai Brain Drain, merupakan ancaman yang selama berdekade-dekade sudah menghantui Indonesia. Kini fenomena tersebut semakin diperumit oleh pembatasan atas siapa yang berhak atau tidak berhak disebut sebagai peneliti, dan siapa yang berhak atau tidak berhak melakukan penelitian. Ini hanya akan menghambat upaya untuk memajukan penelitian dan pembangunan di Indonesia—sudah bukan rahasia lagi bahwa kita sangat membutuhkan dorongan kuat di sektor tersebut.

Pada mulanya, kita diberi tahu bahwa konsolidasi Kemendikbud dan Kemenristek, bersamaan dengan pembentukan BRIN, bertujuan menghapuskan pita merah birokrasi yang oleh banyak pihak dirasakan menghambat pemajuan penelitian dan pembangunan di Indonesia. Meski demikian, menurut saya ironis bahwa BRIN kini mengalami kesulitan merekrut dan mempertahankan pekerja yang berkeahlian tinggi—bukan karena kekurangan pekerja lab yang kompeten, melainkan karena berdasarkan kebijakannya sendiri, orang-orang tersebut tidak memenuhi syarat untuk dipekerjakan oleh BRIN dalam kapasitas peneliti pengurus publik. Contoh yang akhir-akhir ini paling dikutip adalah pemecatan massal dari peneliti dan staf Eijkman Institute of Molecular Biology Research (EIMBR).

Apakah pemecatan tersebut dikarenakan pekerja-pekerja Eikjman tidak memiliki kualifikasi?

Hal tersebut pasti tidak benar; mereka lulus dari kampus dan universitas dengan gelar sarjana dan pascasarjana, dan mengikuti pelatihan keilmuan terbaik yang bisa diperoleh di negeri ini. Satu-satunya kesalahan mereka seakan-akan adalah tidak memiliki tiga huruf gelar di belakang nama, yang memiliki bobot yang begitu besar namun dianggap begitu remeh di negeri ini: P. H. D. (Ph.D.).

Sepertinya BRIN hanya ingin mempertahankan orang-orang dengan PhD. Peneliti pengurus publik yang direkrut sebelum kebijakan ini diberlakukan (yakni mayoritas dari mereka) didorong semua untuk memperoleh gelar tersebut, dengan ancaman tidak dapat naik jabatan. Sebagai seorang peraih gelar Ph.D., saya pun dapat berikan testimoni terhadap perjuangan dan kerja keras yang dibutuhkan untuk mendapatkan gelar ini. Mendapatkan Ph.D. adalah komitmen, mungkin di tahap yang sama dengan pernikahan, karena Anda mendedikasikan sisa hidup Anda untuk penemuan dan kemajuan bidang Anda masing-masing. Untuk mendapatkan gelar tersebut, Anda diharapkan dapat berkontribusi terhadap kemajuan keilmuan di bidang Anda. Meraih Ph.D. bukan sesuatu yang Anda dapat lakukan secara spontan karena disuruh oleh bos, atau karena gelar tersebut mungkin terlihat keren di kartu nama. Agar gelar tersebut bermakna, Anda harus benar-benar ingin meraihnya untuk diri Anda sendiri, dan bukan memperlakukannya sekadar batu loncatan karier. Terlebih, mendapatkan Ph.D. sangat mahal, dan kecuali Anda anggota keluarga Bakrie atau serupa, kemungkinan besar Anda butuh beasiswa untuk dapat membiayai studi Anda.

Sayangnya, orang Indonesia dengan Ph.D. masih sangat langka, karena alasan-alasan yang sebelumnya sudah saya gambarkan. Survei terakhir menunjukkan persentase orang di Indonesia dengan gelar Ph.D. hanya merupakan 0,14% dari total populasi. Maka, saya ingin ajukan pertanyaan berikut: bagaimana seseorang bisa sesombong itu, dan memutuskan hanya ingin menyewa PhD di dalam lembaga riset yang membutuhkan lebih dari sekadar PhD untuk dapat bekerja dengan baik?

Kenyataannya, permasalahan ini jauh lebih besar ketimbang yang terlihat di permukaan. Pemecatan massal pekerja dan peneliti yang kompeten sebagai akibat dari kebijakan birokratis yang satu arah dan berpandangan dangkal hanya merupakan konsekuensi kecil. Selain penghilangan pekerjaan yang mendadak dan signifikan akibat restrukturisasi di atas, terdapat konsekuensi lain yang kurang diakui, yakni kemungkinan migrasi massal dari peneliti yang sangat berbakat dan berkualifikasi, yang berpotensi menjadi aset bagi negara, terlebih di tengah-tengah pandemi. Fenomena tersebut, yang dikenal secara luas sebagai Brain Drain, merupakan ancaman yang selama berdekade-dekade sudah menghantui Indonesia. Kini fenomena tersebut semakin diperumit oleh pembatasan atas siapa yang berhak atau tidak berhak disebut sebagai peneliti, dan siapa yang berhak atau tidak berhak melakukan penelitian. Ini hanya akan menghambat upaya untuk memajukan penelitian dan pembangunan di Indonesia—sudah bukan rahasia lagi bahwa kita sangat membutuhkan dorongan kuat di sektor tersebut.

Segala hal di atas merupakan pukulan yang berat bagi komunitas keilmuan, tetapi saya positif bahwa kita dapat bangkit kembali. Sekarang saja, saya sudah melihat banyak bentuk dukungan yang membangun dan memberi semangat, tidak hanya dari sesama ilmuwan, melainkan juga masyarakat umum yang mengerti urgensi dan kebutuhan terhadap lembaga riset keilmuan yang baik dan benar, serta tidak terbelenggu oleh birokrasi dan perpolitikan yang saya jabarkan di atas. Isaac Newton pernah berkata, “Jika saya memang mampu melihat lebih jauh dari orang lain, itu karena saya berdiri di atas pundak para raksasa.” Penemuan dan kemajuan tidak dapat dicapai oleh satu orang saja, melainkan komunitas masyarakat yang sama-sama bekerja menuju tujuan yang sama. Hanya saat kita mampu bekerja sama lah kita dapat mencapai sesuatu yang hebat. Dan bagi yang ditinggalkan di antara puing, kami berdiri bersamamu dengan penuh solidaritas.

Selamat Tahun Baru 2022!
 

Artikel Terkait