Nasional

Di Era Digital, Big Data Bisa Digunakan oleh Kekuasaan untuk Menindas

Oleh : very - Selasa, 22/03/2022 14:08 WIB

Diskusi LP3ES. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID --- Sejak 2021 lalu, telah muncul kasak kusuk seputar wacana Pemerintah dan DPR menginginkan adanya penundaan pemilu 2024. DPR terlihat begitu antusias untuk ikut mendukung wacana penundaan pemilu 2024 yang jika terlaksana berarti adanya perpanjangan jabatan gratis tanpa perlu kampanye pemilu dan seterusnya.

Tahun 2022 ini, ternyata kasak kusuk itu terbukti dengan munculnya usulan penundaan pemilu 2024 yang dimobilisasi aktif justru oleh lingkaran terdekat presiden.

Rektor Universitas Paramadina, Prof Dr Didik J Rachbini dalam pengantar Diskusi LP3ES di Twitter Space Didik J Rachbini yang bertajuk “Wacana Tunda Pemilu : Manipulasi Big Data?” di Jakarta, Senin (21/3) mengatakan bahwa sangat mustahil Presiden Jokowi tidak mengetahui isu dan mobilisasi tersebut.

“Bawaslu tercatat pernah diajak rapat tentang penunaan pemilu tetapi menolak hadir. Kolaborasi pemerintah dan DPR memang terbukti efektif ketika sebelumnya menggergaji kewenangan KPK melalui pengesahan revisi UU KPK pada 2019,” ujarnya.

Respon publik amat keras menentang wacana penundaan pemilu 2024, terlebih setelah Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri juga menolak rencana penundaan pemilu.

Sebelumnya, muncul juga wacana presiden 3 periode. Wacana itu muncul karena pada 2021 lalu telah terjadi ketuk palu di sidang umum  MPR RI ketika ingin memediasi pikiran Megawati untuk adanya sebuah panduan perencanaan jangka panjang seperti GBHN di zaman Orba dan Orla.

“Ide Megawati itu dimediasi tetapi sayangnya ditumpangi oleh kepentingan sementara pihak untuk mewujudkan presiden 3 periode,” katanya.

Yang menyedihkan, kata Didik, wacana presiden 3 periode itu juga didukung oleh orang seperti Muhammad Qodari, dengan alasan demokrasi. Hal yang juga disebut oleh Presiden Jokowi bahwa wacana presiden 3 periode adalah demokrasi.

Mobilisasi penundaan pemilu dan 3 periode juga dinyatakan didukung dengan big data oleh Menteri Luhut Binsar Pandjaitan. Dia menyatakan usulan tersebut didukung oleh big data 110 juta suara netizen. “Sesuatu yang dibantah oleh banyak inteletual dan pegiat/ahli media sosial. Saat ini ada indikasi, pasukan buzzer akan menjadi organik.  Ketika organic dia akan dilekatkan dengan instansi-instansi. Hal itu akan digunakan untuk menggoalkan wacana 3 periode dan akan menjadikannya powerfull dan menindas,” katanya.

 

Alternatif Penindasan

Founder Drone Emprit, Dr Ismal Fahmi mengatakan dari sisi big data adalah sangat tidak mungkin - impossible – dapat menetapkan data 110 juta suara netizen yang mendukung wacana penundaan pemilu dan 3 periode.

Bagi para ahli IT/medsos, sangat susah untuk bisa mengumpulkan data dari Facebook dan Instagram, apalagi masyarakat umum biasanya tidak tertarik bicara soal-soal elitis misalnya tentang penundaan pemilu.

“Di Twitter saja tidak akan dijumpai jumlah 1 juta suara netizen tentang topik-topik elitis. Pada isu RUU Sisdiknas saja yang sangat penting, netizen tidak ada yang membicarakan. Padahal isu itu sama pentingnya dengan isu perpanjangan jabatan presiden,” ujarnya.

Dia mengataakan berbicara soal big data harus bisa dibuktikan. Karena itu, ketika Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar menyebutkan bahwa ada 100 jutaan suara netizen, maka pihaknya melakukan analisis big data. “Namun hasilnya paling mentok pada angka 20 ribu saja di Twitter. Pada periode analisis pendek netizen yang berbicara hal itu juga maksimal 10 ribu saja. Itupun mayoritas menolak,” katanya.

Dari jejaring komunitas yang mempunyai tools big data seperti Lab 45 yang dituding memasok data ke LBP, pada 2021 juga telah dilakukan analisis data. Hasilnya pun hanya 10 ribuan saja di medsos yang bicara 3 periode jabatan presiden, itupun juga mayoritas menolak!

Fahmi mengatakan, dari sample data (drone emprit) yang diambil sejak Januari  2021 selama 6 bulan – 1 tahun juga hasilnya tetap sekitar 23 ribuan suara netizen yang berbicara penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.

“Pengguna Facebook pada 2021 saja berkisar 140 jutaan orang, bagaimana mungkin bisa disebut data 110 jutaan suara netizen (lebih dari 50 %) yang mendukung wacana penundaan pemilu dan 3 periode presiden. Twitter saja dari 18 juta user jika 50 % ada 9 juta, jika dibandingkan dengan 20 ribu percakapan netizen masih sangatlah jauh,” sebutnya.

Karena itu, semua pihak harus mencegah agar jangan sampai big data tersebut digunakan oleh pemerintah untuk hal-hal tidak benar guna menyampaikan kepada publik. Data dari analisis big data harus terbuka metodologinya, jelas sumbernya, karena big data gampang sekali duplikasi ulang.

Fahmi mengatakan bahwa suara netizen yang menolak wacana penundaan pemilu masih yang terbanyak. “Tetapi saat ini sedang dibangun dukungan dari lapangan di daerah-daerah dengan baliho dan spanduk-spanduk 3 periode presiden. Mereka mengharapkan isu itu akan membesar dan akan dianggap sebagai isu yang didukung oleh banyak khalayak. Satu riset di Inggris menyatakan Big Data bisa digunakan oleh kekuasaan dan bisa menjelma menjadi alternatif penindasan di era digital, berkedok pembenaran kuantifikasi,” ujarnya.

 

Otoritarianisme Digital

Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES, Dr. Wijayanto mengatakan isu penundaan pemilu sebetulnya bukan isu menarik yang akan bertahan lama di medsos. Isu artis yang sedang naik daun saja paling lama hanya bertahan beberapa minggu. Karena itu, jika isu penundaan pemilu dan 3 periode presiden dapat bertahan lama yaitu selama satu tahun, maka bisa disimpulkan isu tersebut ada yang memelihara.

“Hal itu merupakan hasil riset LP3ES, drone emprit dan isu yang bertahan lama tersebut dikelola oleh sepasukan siber medsos,” sebutnya.

Wijayanto mengatakan bahwa perpanjangan masa jabatan presiden merupakan hal inkonstitusional dan pengingkaran terhadap aturan main demokratis. Hal itu adalah ciri pertama dari 4 ciri kematian demokrasi. Selain itu, ciri kedua, yaitu adanya penyangkalan terhadap legitimasi lawan politik. Ketiga, adanya toleransi atau anjuran kekerasan. Dan keempat, adanya kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan termasuk media massa.

Menurutnya, manipulasi opini publik merupakan tren ruang publik digital yang bersamaan dengan kriminalisasi aktivis lewat UU ITE dan tren serangan teror siber kepada para aktivis pro demokrasi, peretasan akun aktivis dan lain hal. Terjadi juga premanisme digital, sebuah penanda lain dari manipulasi opini publik, yang disebut sebagai ciri Otoritarianisme Digital.

Karena itu, katanya, harus ada pernyataan tegas dari presiden untuk menolak wacana 3 periode tersebut. “Presiden Jokowi harus menghentikan perdebatan dan menolak wacana tersebut di tengah masih banyaknya pekerjaan rumah bangsa substantif yang belum selesai. Adanya ketimpangan ekonomi, pemulihan ekonomi paska pandemi, kerusakan lingkungan dan isu penting lain,” ujarnya. 

Indonesia harus belajar dari sejarah bahwa demokrasi mengalami kemunduran dan menjadi otoriter setelah gagal dalam era demokrasi parlementer. Setelah itu Indonesia seolah masuk dalam black hole, lubang hitam sejarah pada 1965, setelah sebelumnya juga muncul kehendak menjadikan Sukarno presiden seumur hidup. Setelah itu Indonesia seolah sulit kembali ke demokrasi seutuhnya ketika Suharto berkuasa 32 tahun.

Paska demokrasi Indonesia memang menjadi seperti era demokrasi parlementer tetapi struktur politik masih sama seperti era Orba di mana adanya kekuasaan para elit dan oligarki yang membajak demokrasi. “Negara Demokrasi tetapi tidak sepenuhnya demokratis,” ujarnya.

Associte Peneliti LP3ES, Dr Syahril Siddiq menambahkan bahwa wacana penundaan pemilu dan 3 periode presiden lebih terlihat berasal dari kepentingan pengusaha. Yang dikhawatirkan adalah isu penundaan pemilu tersebut akan semakin memperuncing segregasi sosial di masyarakat yang terbelah menjadi kubu kadrun dan cebong.

“Tentunya hal itu tidak sehat bagi demokrasi di Indonesia. Bagaimanapun pemilu 2024 harus tetap dilaksanakan, karena tidak ada alasan untuk menunda pemilu,” ujarnya.

Karena itu, saat ini Presiden Jokowi harus menunjukkan sikap tegas di depan rakyat bahwa dirinya akan mematuhi konstitusi dan tidak setuju dengan wacana perpanjangan masa jabatan presiden.

“Wacana sesat penundaan pemilu harus dikritik keras karena berbahaya bagi kelangsungan demokrasi di Indonesia. Pemilu 2024 diharapkan akan memecahkan polarisasi jika ada pemimpin baru hasil pemilu demokratis,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait