Nasional

Sambut Bonus Demografi, Pemerintah Siapkan Langkah Strategis Atasi Masalah Stunting di Indonesia

Oleh : Rikard Djegadut - Senin, 04/04/2022 23:08 WIB

Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kemenkes Erna Mulati (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID – Pemerintah Indonesia terus mendorong percepatan penurunan stunting sebagai upaya mendorong munculnya sumber daya manusia yang sehat dan berkualitas, serta menjaga momentum bonus demografi di masa depan.

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo menyampaikan strategi percepatan penurunan stunting dalam Perpres 72/2021 dimaksudkan untuk memaksimalkan pencapaian target pada 2024. Hal ini sesuai dengan arahan Presiden Jokowi yang menginginkan penurunan angka stunting mencapai 14 persen pada 2024.

"Tetapi jika kita ingin menuju angka 14 persen sesuai arahan Bapak Presiden di tahun 2024, maka paling tidak dibutuhkan 3 persen lah sehingga membutuhkan percepatan penurunan," kata Hasto dalam diskusi daring yang digelar FMB9 bertema "Percepatan Pencegahan Stunting" Senin (4/4/22).

Sejumlah daerah di Indonesia, kata Hasto, masuk kategori daerah dengan kasus stunting tertinggi dari urutan tertinggi yakni NTT, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Aceh, NTB, dan Kalimantan Barat serta Kalimantan Selatan.

"Ya memang kalo kita lihat yang paling memprihatinkan angkanya masih cukup tinggi. Ini menjadi daerah-daerah yang tentu masuk lima besar tertinggi dari urutan tertinggi," bebernya.

Adapun penyebab tingginya masalah stunting di wilayah tersebut, kata Hasto, faktor sanitasi menjadi penyebab terbesar. Menurutnya, faktor lingkungan ini dikenal dengan sebutan faktor sensitif.

"Ya kalo kita lihat seperti kemarin kita ke NTT, faktor lingkungan kemudian menjadi suatu masalah yang penting sekali untuk diperhatikan seperti katarak, air bersih, rumah tidak layak huni, kemudian juga camban begitu. faktor-faktor itu yang dikenal faktor sensitif," urai Hasto.

Hasto menuturkan, jika faktor lingkungan ini tidak diperhatikan dengan baik, makan akan menyebabkan anak mudah sakit seperti diare, TBC dan seterusnya yang berakibat pada turunnya berat badan.

"Kalau itu kurang bagus, maka akan menjadikan anak mudah sakit dan kalau sakit akhirnya berat badan tidak naik dan seterusnya seperti diare, TBC," tambahnya.

"Kalau dua tiga bulan tidak naik, maka bulan-bulan berikutnya tinggi badannya tidak naik dan akhirnya tinggi badan anak tidak sesuai dengan umurnya. Kemudian kita katakan stunting, begitu," imbuhnya.

Selain itu, faktor penyebab stunting yang juga punya peran besar adalah mindset atau pola pikir masyarakat. Menurutnya, pemahaman dan pengetahuan tentang gizi seimbang itu penting.

"Menurut saya, masalah kedua itu adalah masalah mindset. Dimana pemikiran dan pengetahuan itu penting. Karena apa mindset pemahaman itu penting," ungkap Hasto.

Hasto menekankan, dalam hal ini peran ahli-ahli gizi, Puskesmas, Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit penting untuk dikedepankan dalam melakukan sosialisasi tentang gizi seimbang.

"Kalau kita lihat banyak orang yang mampu juga, tetapi makanannya tidak gizi seimbang. Ada juga yang pengetahuannya kurang, meminta BLT kemudian sebagian besar digunakan untuk beli rokok dan lain-lain. Ini semua karena pemahaman dan pemahaman untuk menentukan prioritas terhadap masalah kesehatan," tutupnya.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kemenkes Erna Mulati mengatakan pemerintah terus berupaya keras dalam mengatasi masalah stunting ini yakni melakukan intervensi sebelum dan sesudah kelahiran.

Sebelum kelahiran, jelas Erna, pihaknya meminta kepada para remaja putri berusia 12 hingga 17 tahun agar mengkonsumi tablet penambah darah (PTD) dan dipastikan mereka meminumnya satu minggu sekali agar tidak menderita anemia.

"Kemudian untuk remaja putri di kelas 7 hingga kelas 10, kita melakukan screening pada mereka untuk mengetahui apakah mereka mengalami anemia atau tidak. Sehingga dilakukan tata laksana dan mencari faktor penyebab anemia itu apa," bebernya.

Selain itu, Kemenkes juga meningkatkan pelayanan antenatal yang tertuang melalui Permenkes yang diterbitkan pada 2021. Pelayanan antenatal ini diberikan untuk ibu hamil dengan melibatkan dokter.

Tugasnya melakukan pemeriksaan menggunakan Ultrasonografi (USG) untuk melihat apakah ada gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada janin yang dikandung ibu. Sehingga dapat dilakukan diintervensi sedini mungkin.

Selain itu, Erna berharap, para ibu hamil mengkonsumi tablet penambah darah (PTD) selama kehamilannya minimal 90 kali. Pihaknya, kata Erna, juga menyiapkan aplikasi untuk pencatatan dan pelaporan untuk memantau apakah si ibu meminum atau tidak.

"Kemudian pemberikan makanan tambahan kepada ibu hamil dengan kurang energi kronis yang jumlahnya berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 ada sekitar 17,3 persen," ungkap Erna.

Lebih lanjut, Erna menyampaikan, pihaknya juga melakukan intervensi setelah kelahiran yaitu dengan memastikan bayi mendapatkan air susu ibu (ASI) eksklusif selama enam bulan.

"Kita semaksimal mungkin dan berusaha untuk semua bayi mengkonsumsi ASI eksklusif enam bulan. Angkanya saat ini sekitar 56 persen dan agar masyarakat mendapatkan informasi manfaat ASI kami akan melakukan peningkatan jumlah konselor,” kata Erna.

Lanjut Erna, nantinya hampir semua kecamatan akan mempunyai konselor nutrisi hingga 2023. Semua balita dilakukan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan yang dilakukan setiap bulannya menggunakan alat antropometrik.

Kemenkes menargetkan bahwa semua Posyandu memiliki alat Antropometrik sesuai standar sehingga bisa dilakukan peningkatan kapasitas baik bagi kader juga tenaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) serta guru-guru TK.

Erna mengatakan bahwa hal itu, tidak bisa dilakukan secara keseluruhan pada tahun ini dan akan dilakukan secara bertahap. Hingga pada 2023-2024 diharapkan angkanya sesuai dengan yang diharapkan.

Sementara itu, Plt. Direktur RSUD Bali Mandara Provinsi Bali Ketut Suarjaya mengatakan Pemerintah Provinsi Bali sukses menurunkan angka stunting hingga menyentuh angka 10,9 persen pada 2021. Angka ini turun dari sebelumnya yang mencapai 34 persen.

Kendati berhasil menjadi yang terendah secara nasional, Ketut menyampaikan, pihaknya belum puas dengan pencapaian saat ini. Sebab masih terdapat sejumlah daerah yang kasus stuntingnya berada di atas rata-rata.

"Kita belum puas karena masih ada kabupaten yang kasusnya di atas rata-rata seperti Karangasem di 22,9 persen, Klungkung 19,4, dan Jembrana 14,3 persen pada 2021," beber Ketut.

Ketut mengakui, keberhasilan Pemrov Bali menekan angka stunting hingga 10,9 persen merupakan hasil kerja keras dan sinergitas semua pihak baik pemerintah dari tingkat provinsi hingga desa dan masyarakat.

"Memang Bali sempat menyentuh angka 34 persen, namun dengan kerja keras dan sinergitas baik pemerintah, masyarakat hingga di tingkat desa, angka stunting bisa ditekan hingga 10,9 persen pada 2021," kata Ketut.

Lebih lanjut, Ketut mengatakan, tingginya angka stunting tidak selamanya disebabkan oleh faktor kemiskinan, namun dipengaruhi juga oleh mindset atau pola pikir masyarakat.

"Maka dari itu, upaya yang kami lakukan, selain intervensi preventif dan intervensi sensitif, kita juga mengajak peran serta masyarakat di sini," katanya.

Meski Ketut juga mengakui, peran pemerintah cukup besar seperti yang dilakukan pemerintah Badung dengan Gerakan Badung Sehati (Garbasari) pada 100 hari pertama kehidupan.

Kemudian, inovasi pencegahan dan penanganan stunting seperti yang dilakukan pemerintah Gianyar dengan pembentukan Tim Stunting Kabupaten, Kecamatan dan Desa/Kelurahan/Desa Adat.

"Jadi upaya inovasi ini kami kembangkan, kami duplikasi untuk daerah-daerah lain sehingga penanganan angka stunting ini semakin menurun. Kami juga berupaya agar setiap tahunnya angka stunting ini berkurang hingga 15 persen," tutupnya.

Kegiatan FMB9 juga bisa diikuti secara langsung di kanal youtube FMB9ID_IKP. Nantikan update informasi akurat, data valid dengan narasumber tepercaya di FMB9ID_ (Twitter), FMB9.ID (Instagram), FMB9.ID (Facebook).

Artikel Terkait