Opini

Kenaikan Tarif PPN Perlu Ditinjau Ulang

Oleh : luska - Kamis, 14/04/2022 10:01 WIB


Oleh : Dr. Wirawan B. Ilyas
(Senior Partner TIMES Law Firm, Tax Consultant, Akuntan Publik)

Pengantar

Pemerintah secara resmi mulai tanggal 1 April 2022 menaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% sesuai dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Berbagai pihak memberikan kritik dan masukan pada pemerintah karena diberlakukan pada saat yang tidak tepat, mengingat kondisi ekonomi dan sosial masyarakat yang relatif rentan sebagai imbas pandemi covid 19 yang sudah berlangsung sejak lebih dari dua tahun yang lalu tanpa ada kepastian kapan akan berakhirnya.

Jika berakhirpun memerlukan waktu yang relatif lama untuk pemulihannya, karena covid 19 meninggalkan luka yang amat dalam. Memang ada beberapa sektor usaha yang tidak terlalu lama butuh waktu untuk pemulihan tetapi banyak juga yang butuh waktu lama.

Norma PPN 

Pemungutan pajak oleh negara merupakan perbuatan hukum yang dapat dibenarkan berdasarkan konstitusi UUD 1945 pasal 23A dalam rangka kewajiban negara memenuhi kesejahteraan umum yang memerlukan uang untuk melaksanakannya. Tetapi pungutan pajak tidak berarti negara menganut asas “Utilitis” yang semata-mata perlu uang saja tanpa mempertimbangkan asas-asas lainnya antara lain asas keadilan.

Penulis teringat pidato Guru Besar Hukum Fiskal Universitas Indonesia, Isa Sindian Djajadiningrat (1965) yang menyatakan pungutan pajak harus mengabdi pada keadilan. Pungutan pajak tidak dapat dibenarkan jika hanya berlandaskan pada pemikiran normatif ekonomi semata, tanpa memperdulikan rasa keadilan masyarakat yang dipungut.

PPN sebagai pajak yang bersifat objektif tanpa memperhatikan keadaan subjek pajaknya, tidak bisa membedakan orang kaya dan orang miskin saat mengkonsumsi barang dan jasa yang sama. Harga sepasang sepatu untuk anak sekolah bernilai sama saat dibeli oleh orang kaya maupun orang miskin menanggung beban PPN yang sama. Itulah contoh sederhana ketidakadilan beban pajak dari PPN. Beban PPN dipikul oleh masyarakat konsumen bukan oleh produsen. Kewajiban produsen hanya memungut, menyetorkan dan melaporkannya kepada Direktorat Jenderal Pajak.

Walaupun beban ditanggung oleh konsumen, tetapi dampak kenaikan tarif PPN otomatis berpengaruh kepada produsen dan pedagang dalam arti dunia usaha. Mengapa ?, karena dengan kenaikan tarif PPN maka harga barang dan jasa sampai ke tangan konsumen menjadi naik, sehingga permintaan akan turun. Dalam kondisi penghasilan masyarakat merosot, imbas karena pemutusan hubungan kerja atau kebangkrutan usaha dalam masa pandemi covid 19. Maka setiap tambahan beban PPN yang dipikul masyarakat akan menekan daya beli, karena riel income merosot yang pada akhirnya tingkat kesejahteraan juga menurun.

Permintaan konsumen menurun akan berimbas pada dunia usaha, berupa skala usaha perdagangan dan produksi menurun, disisi lain fixed overhead cost berjalan seperti biasa, ujungnya fixed cost per unit meningkat, dengan kata lain terjadi  inefisiensi operasional bisnis. Perlu disadari bahwa pandemi covid 19 telah membuat mayoritas daerah di Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi negatif (Prof. Mudrajat Kuncoro, Investor Daily, 24 Maret 2022). Kondisi ini harusnya dipertimbangkan oleh pemerintah dalam momentum pemberlakuan kenaikan tarif PPN.

Penundaan Kenaikan Tarif

Sekalipun norma UU HPP menegaskan adanya kenaikan tarif PPN menjadi 11%, namun juga ada ruang untuk menurunkan tarif menjadi paling rendah 5% sesuai dengan pasal 7 ayat 3 UU PPN. Bahkan dalam kondisi ekonomi yang lesu saat ini ditambah dengan berbagai kenaikan harga kebutuhan pokok masyarakat berupa minyak goreng, bahan bakar minyak dan pengaruh global perang Rusia – Ukraina yang berimbas terhadap tingkat inflasi yang menekan daya beli masyarakat, maka opsi penurunan tarif PPN sangat dapat dipertimbangkan oleh pemerintah. Norma UU HPP adalah teks hukum yang lentur, bukan teks yag kaku karena bisa dimaknai berbeda dari sekedar membaca teks “kata-kata”, begitu yang diingatkan filsuf Derrida (1930-2004).

Penurunan tarif PPN akan berdampak positif terhadap permintaan sehingga produksi akan meningkat, akibatnya volume produksi dan perdagangan naik, efisiensi ekonomi akan terjadi sesuai dengan teori skala ekonomi. Peningkatan volume produksi, perdagangan berujung pada peningkatan pajak penghasilan perusahaan, baik usaha perusahaan maupun usaha perorangan. Pajak atas penghasilan juga akan meningkat. Berbeda dengan PPN, PPh bersifat subjektif yang dekat dengan asas keadilan.

Penurunan tarif PPN bahkan merupakan salah satu solusi pertumbuhan ekonomi saat ini, karena disamping PPN tersebut merupakan faktor yang kontraktif terhadap pertumbuhan ekonomi, juga dukungan data dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BKPN), mayoritas sektor industri masih menunjukkan pertumbuhan negatif. Menaikan tarif PPN menjadi langkah kurang bijak dan tidak tepat. Bahkan struktur Pendapatan Domestik Bruto (PDB) secara persentase masih didominasi faktor konsumsi rumah tangga dalam kisaran lebih dari 52,91% ditahun 2021. Karena faktor investasi dan ekspor masih mengalami berbagai kendala 

Simpulan
Pilihan menaikan atau tidak menaikan tarif PPN adalah pilihan yang sangat strategis perlu pertimbangan dari aspek sosial, ekonomi, kultural, psikologis masyarakat. Jeritan batin masyarakat luas khususnya menengah kebawah harus didengar, termasuk yang tidak terekam. Asas kemanfaatan dan keadilan merupakan asas penting yang termuat pada Pasal 1 UU HPP. Situasi kondisi covid 19 serta situasi global yang berdampak inflasi perlu mendapat perhatian serius pemerintah untuk melakukan tinjau ulang kenaikan tarif PPN.

Saran

Karena pajak merupakan kebijakan negara, seharusnya juga diimbangi oleh kebijakan efisiensi nasional khususnya dilingkungan birokrasi pemerintah disetiap lini. Gerakan penghematan nasional yang dipelopori dan dipimpin langsung oleh Presiden harus mendapatkan prioritas utama, fixed cost birokrasi mutlak harus dipangkas. Jika sektor pemerintahan efisien, maka akan berdampak signifikan terhadap efisiensi nasional secara keseluruhan. Mengapa demikian ?, karena sektor swasta sudah pasti efisien. jika tidak efisien pasti mati. Dengan demikian efisiensi nasional akan terwujud, sehingga negara RI akan kompetitif menghadapi persaingan global yang amat tajam.#semoga#

Artikel Terkait