Opini

Tindak Pidana Penggelapan Aset Melalui Mekanisme Akuntansi Pada Perusahaan

Oleh : luska - Selasa, 27/08/2024 08:26 WIB


Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas
Akuntan Forensik & Advokat 

Pengantar
Maraknya kasus fraud dilingkungan BUMN dan perusahaan publik lainnya mengingatkan penulis akan skandal besar yang menggemparkan profesi akuntan diseluruh dunia disekitar tahun 2.000 an, antara lain Xerox (tahun 2.000) berupa pemalsuan data keuangan, sehingga laba terdongkrak signifikan, disusul Enron (tahun 2001) dengan mendongkrak laba dan menyembunyikan utang dengan nilai yang signifikan, Gwest Communications International (tahun 2002) dengan mendongkrak omzet dan perlakuan akuntansi yang tidak wajar untuk kontrak jangka panjang. 
Pola yang digunakan umumnya melalui pemalsuan dokumen, pendekatan accrual, net working dengan pihak ketiga dan atau kombinasinya yang semuanya dilakukan terencana, sistematis, dengan niat jahat (mensrea), secara bersama-sama dan tidak tiba-tiba yang melibatkan petinggi korporasi. Pola kejahatan tersebut juga melanda berbagai negara, termasuk Indonesia sejak beberapa tahun yang lalu, baik pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan publik lainnya. Ini semua membuktikan tidak efektifnya tata kelola perusahaan (Good Corporate Governance).
Bentuk fraud yang dilakukan oleh manajemen antara lain, pertama rekayasa laporan keuangan agar kinerja perusahaan seolah-olah bagus (fraudulent financial reporting), kedua penggelapan aset, khususnya kas perusahaan (misappropriation of asset). Kedua bentuk fraud tersebut bernilai signifikan, material dan dilakukan secara terencana, sistimatis, mengandung niat jahat dan menguntungkan seseorang atau sekelompok orang. Dengan demikian memenuhi unsur pidana kejahatan. Jika kita simak berita di media masa yang tengah terjadi saat ini, baik yang sedang dalam proses penyelidikan, penyidikan dan proses pengadilan, khusus dilingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bentuk-bentuk fraud demikian atau kombinasi keduanya umum terjadi, namun opini audit atas laporan keuangan tetap mendapatkan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Padahal dampak dari perbuatan jahat tersebut jelas merugikan perusahaan, baik dari sisi laporan laba rugi maupun laporan arus kas. Ketidakmampuan perusahaan membayar utang yang jatuh tempo termasuk membayar gaji para pegawai dan tunggakan pajak sekalipun yang pada akhirnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ikut menjadi sandaran melalui mekanisme dana talangan, bahkan sebagai Pernyertaan Modal Negara (PMN). 

Management Fraud
    Manajemen perusahaan terdiri dari manusia yang hidup dalam lingkungan nyata, penuh godaan dan tekanan. Sering kita mendengar  pertanyaan masyarakat. Mengapa orang baik-baik melakukan fraud ? Hal ini dapat dijelaskan secara gamblang dengan pendekatan Fraud Triangle Theory, yang menyatakan paling tidak terdapat tiga faktor yang menyebabkannya, yakni motivation, justification dan opportunity. Motivation, karena kondisi ekonomi individual anggota manajemen atau kondisi ekonomi makro, keserakahan, ekspektasi pasar, tekanan berbagai regulasi, bonus atau tantiem yang diharapkan manajemen. Justification, karena pelaku cenderung berfikir bahwa jika melakukan hal tercela tidak ada sanksi hukum yang berat, meskipun ada sanksi hukum, tetapi relatif lebih ringan dibandingkan dengan hasil kejahatan. Rasionalitas cost benefit.
    Dalam amatan penulis banyak perusahaan yang tidak mempunyai Standar Operating Procedure (SOP) internal terkait sanksi atas fraud, bahkan jika adapun, peran internal auditnya mandul, atau penerapan sanksi yang tebang pilih dalam internal perusahaan. Seandainya dilaporkan kepihak Aparat Penegak Hukum (APH), terdapat keraguan manajemen, karena berpotensi menjerat anggota Direksi yang lainnya. Opportunity, karena buruknya budaya organisasi dan lemahnya sistem pengendalian internal (Internal Control System). Internal Control System terdiri dari lima komponen utama yang harus dipastikan oleh Direksi berjalan efektif, yakni lingkungan pengendalian (Control Environtment) yang salah satu unsurnya budaya organisasi. Penilaian risiko (Risk Assessment), Aktivitas pengendalian (Control Activity), Informasi dan komunikasi (Information and Communication), Pemantauan (monitoring). Masing-masing komponen terdiri dari berbagai sub komponen yang masing-masing sub komponennya harus menjadi perhatian dan sekaligus menjadi objek uji dari internal auditor. Jika hal ini berjalan dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab dan sekaligus disertainya berjalannya fungsi pengawasan Dewan Komisaris, maka berbagai fraud, khususnya penggelapan aset perusahaan atau korupsi yang terjadi dalam perusahaan dapat dicegah sedini mungkin, karena deteksi dini sebagai alarm dan “watch dog” sistem pengendalian. Berdasarkan amatan penulis fungsi-fungsi demikianlah relatif nihil pada BUMN yang terjerat kasus korupsi. Good Corporate Governance (GCG) sebagai konsep dalam manajemen modern sudah lama didengungkan, tetapi dalam tataran implementasi masih jauh. Indah untuk diucapkan, tetapi sulit untuk dilaksanakan, meskipun Pedoman Umum Governansi Korporat Indonesia (PUGKI) 2021 sudah lebih rinci menjabarkannya untuk dapat dilaksanakan. Namun kenyataannya masih hanya dalam tataran diatas kertas. Bahkan Dewan Komisaris, khususnya Komisaris Independen pun ada yang belum paham atas fungsi sesungguhnya, padahal PUGKI menuntut peran strategis dari Komisaris Independen dibantu Komite Audit dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan arahan sesuai dengan makna GCG sesungguhnya.
Jadi apa yang terjadi pada berbagai BUMN saat ini, baik BUMN sektor keuangan seperti Jiwasraya, Asabri, Taspen, LPEI, maupun sektor konstruksi, pertambangan, baik yang go public maupun yang tidak, memberi bukti empiris buruknya tata kelola perusahaan dan tidak berfungsinya pihak-pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola (Those Charged With Governance-TCWG) seperti yang disyaratkan oleh SPAP Standar Audit 240. Bahkan dalam prakteknya, manajemen dan Dewan Komisaris pun masih ada yang belum paham fungsi TCWG tersebut. Sangat ironis memang ditengah tengah upaya mewujudkan BUMN menjadi korporasi kelas dunia.
Modus Penggelapan Aset Perusahaan 
    Berbagai modus penggelapan aset, khususnya uang perusahaan selama ini dilakukan secara sistematis dan rapi, yakni antara akuntansi dan dokumen hukumnya sejalan, sehingga tidak mudah terdeteksi melalui audit internal, maupun oleh Akuntan Publik sekalipun. Transaksi investasi dengan nilai yang material dibungkus rapi melalui perjanjian yang mengacu kepada persyaratan sahnya suatu perjanjian sesuai dengan KUH Perdata Pasal 1320, sehingga akuntan internal perusahaan berbekal dokumen turunannya melalukan pencatatan, penjurnalan dan proses pelaporan keuangan selanjutnya.
    Tidak jarang perjanjian tersebut dilakukan perubahan melalui mekanisme addendum yang disesuaikan dengan kenyataan, fakta dilapangan yang sarat dengan rekayasa jahat. Hal tersebut luput dari perhatian akuntan internal, bahkan internal auditor sekalipun bahkan Akuntan internal pun melakukan perbaikan melalui mekanisme jurnal koreksi atau reklasifikasi untuk menyesuaikan dengan addendum perjanjian, sehingga seolah-olah baik-baik saja. Internal audit pun tidak melakukan audit atas sah tidaknya perjanjian tersebut secara substansial, baik syarat subjektif maupun objektifnya. Karena terbatasnya penguasaan hukum internal auditor pada umumnya, bahkan tidak paham sama sekali, karena internal auditor berbasis ilmu akuntansi semata.
Hal ini yang dikenal dengan sebutan sinergitas antara “akuntansi dan hukum dalam melegalkan perbuatan jahat” sehingga independensi dan kompetensi internal audit dan komite audit khususnya dibidang akuntansi forensic, audit investigatif dan pemahaman hukum amatlah penting. Karena kejahatan keuangan berkembang pesat sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Instrumen keuangan dalam industri sektor keuangan dan pasar modal beserta produk derivatifnya berkembang pesat terlebih dalam era global dan teknologi informasi yang canggih saat ini. 
Tindak pidana pencucian uang (TPPU) saat ini juga sudah merasuk pada berbagai korporasi melalui mekanisme investasi dan instrumen pinjaman yang dibungkus dengan hukum perjanjian yang canggih.

Simpulan 
    Peran BUMN dan perusahaan publik lainnya amatlah penting dalam perekonomian nasional. BUMN sebagai perusahaan milik negara sesungguhnya adalah milik rakyat. Begitu pula perusahaan yang listed di Bursa Efek merupakan perusahaan milik masyarakat. Pertanggung jawaban publik, wajib dijalankan sebagai amanah. Berbagai modus kejahatan, fraud berkembang biak selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk  itu peran strategis Komisaris Independen beserta perangkat tata kelola harus dimaknai dengan aksi nyata berbasis kompetensi dan sikap independent sesuai dengan tuntutan lingkungan.#Semoga#
 

Artikel Lainnya