Bisnis

Kenaikan Harga Komoditas yang Tinggi Harusnya Menjadi Kesempatan Recovery

Oleh : very - Selasa, 17/05/2022 10:29 WIB

Industri sawit. (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Kondisi perekonomian saat ini sedang sulit. Apalagi di saat bersamaan pemerintah harus membayar utang dengan bunga yang sudah jatuh tempo. Belum lagi, sejumlah proyek infrastruktur pemerintah belum mendatangkan keuntungan. Namun yang dilakukan pemerintah yaitu terus menggenjot pembangunan infrastruktur.

Ekonomi senior Dr. Rizal Ramli mengatakan bahwa salah besar jika pemerintah masih terus saja menggenjot sejumlah proyek dalam kondisi yang defisit.

“Seharusnya, saat sedang menurun, kita fokus pada usaha yang menghasilkan duit. Jangan malah sibuk proyek terus. Lalu bayarnya bagaimana? Ya hutang lagi,” ujarnya dalam acara halal bihalal dan HUT ke-4 ASPRINDO di Sari Minang Juanda Jakarta, Sabtu (14/5/2022).

Untuk membayar hutang, kata mantan Menko Perekonomian itu, pemerintah tak punya pilihan selain meningkatkan akses pemasukan melalui peningkatan pajak dan meningkatkan harga komoditas.

“Sebetulnya, kondisi Indonesia saat ini merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk recovery. Tapi sayangnya pemerintah sibuk menaikkan harga dan pajak. Karena pemerintah tak punya anggaran,” ujarnya seperti dikutip KedaiPena.com.

 

Pertumbuhan Ekonomi yang Mengecewakan

Sementara itu, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies, Anthony Budiawan mengatakan pertumbuhan ekonomi triwulan I (Q1)/2022 yang mencapai 5,01 persen sebetulnya cukup mengecewakan.

Pasalnya, katanya, kenaikan harga komoditas yang tinggi ternyata tidak mampu membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 7 persen.

Padahal, kalau tercapai, lumayan untuk memenuhi janji kampanye, meskipun hanya satu kuartal.

“Mengecewakan, karena pertumbuhan ekonomi ternyata hanya 5 persen. Bayangkan, harga komoditas pada 2022 meroket. Harga Batubara mencapai harga tertinggi sepanjang sejarah. Begitu juga harga minyak sawit mentah. Kedua komoditas ini membuat ekspor Indonesia naik tajam. Ekspor Q1/2022 naik 35,2 persen dibandingkan Q1/2021, atau naik 17 miliar dolar AS. Sedangkan surplus neraca perdagangan naik 69 persen, dari 5,5 miliar dolar AS menjadi 9,3 miliar dolar AS, atau naik 3,8 miliar dolar AS. Tapi semua itu tidak membuat ekonomi meroket. Konsumsi masyarakat dan Investasi masih stagnan, masing-masing hanya memberi kontribusi 2,3 persen dan 1,3 persen terhadap pertumbuhan ekonomi,” ujarnya dalam artikel opini berjudul “Kecewa dan Cemas di Tengah Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen” yang tayang di KedaiPena.com, Senin (16/5).

Perolehan tersebut, katanya, jauh lebih rendah dari tahun 2012 ketika harga komoditas juga melonjak tajam. Ketika itu, konsumsi masyarakat dan investasi masing-masing memberi kontribusi 3,0 persen dan 2,9 persen.

Itu berarti, kenaikan harga komoditas yang melonjak tajam tersebut dinikmati sendiri oleh para oligarki. Kenaikan ini tidak menetes ke masyarakat. Karena itu juga tidak membuat investasi naik.

Di lain sisi, katanya, masyarakat dibebani kenaikan harga pangan dan harga energi. Hal ini membuat daya beli masyarakat melemah, konsumsi masyarakat stagnan.

Namun demikian, Pemerintah tidak membantu meringankan beban hidup masyarakat, tidak membantu stimulus ekonomi, karena konsumsi Pemerintah mengalami kontraksi.

Jika saja kebijakan fiskal pemerintah dilakukan secara benar, pertumbuhan ekonomi 7 persen seharusnya tidak sulit dicapai. Tambahan 2 persen bisa diperoleh dari konsumsi pemerintah, konsumsi masyarakat dan investasi.

“Tetapi karena negara tidak diurus, karena para pejabat lebih sibuk dengan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode, kesempatan pertumbuhan ekonomi 7 persen melayang,” ujarnya.

Tidak bisa dipungkiri, kenaikan harga komoditas dunia menjadi faktor pendongkrak ekonomi Indonesia, membuat kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi mencapai 3,5 persen, merupakan kontribusi tertinggi sejak 2011. Tetapi, semua itu hanya dinikmati oleh para pengusaha oligarki. Masyarakat hanya mendapat getah berupa kenaikan harga.

Karena itu, menurut Anthony, kesempatan pertumbuhan ekonomi 7 persen sudah menjadi bubur. Sekarang dunia sedang menghadapi koreksi kebijakan moneter. Suku bunga global akan naik untuk melawan inflasi. Koreksi kebijakan moneter ini akan membawa konsekuensi buruk terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Harga komoditas akan turun, suku bunga akan naik, kurs rupiah akan tertekan dan melemah, pendapatan negara akan turun tajam, defisit anggaran 2023 akan kembali menjadi maksimal 3 persen dari PDB dan membuat konsumsi pemerintah akan kontraksi.

“Artinya, masa depan ekonomi Indonesia hingga menjelang pemilu Februari 2024 terlihat sangat suram,” pungkasnya.

Artikel Terkait