Nasional

Sahkan RUU PPP, Pemerintah Halalkan Segala Cara untuk Pertahankan UU Ciptaker

Oleh : very - Jum'at, 27/05/2022 21:04 WIB

DPR mengesahkan RUU PPP. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - DPR dalam Rapat Paripurna ke-23 pada Selasa, 24 Mei 2022 menyepakati pengesahan RUU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (RUU PPP). Tujuan dari revisi UU P3 ini seperti disebutkan oleh Kepala Baleg DPR RI, Inosentius Samsul, adalah sebagai pintu masuk untuk melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja.

Menanggapi pengesahan RUU PPP tersebut Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute Sayyidatul Insiyah mengatakan, menyayangkan sikap DPR dan pemerintah yang telah mengalami fallacy atau kesalahan berpikir dalam memahami konteks dan makna di balik penolakan masyarakat terhadap UU Cipta Kerja selama ini.

“Pokok permasalahannya adalah ada pada substansi UU Cipta Kerja, yang secara nyata telah menggerus hak-hak buruh dan mengabaikan isu lingkungan. Alih-alih melakukan pemulihan terhadap hak-hak konstitusional akibat substansi pasal yang terlalu favoritisme terhadap investasi, pemerintah justru menghalalkan segala cara untuk tetap mempertahankan UU Ciptaker, termasuk merevisi UU PPP dengan memasukkan metode omnibus law sebagai penghalalan atas UU Ciptaker yang mengadopsi metode omnibus law,” ujarnya melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat (27/5).

Sayyidatul mengatakan, sekalipun metode omnibus law bukanlah hal yang asing dalam proses legislasi, namun pemerintah seharusnya mempertimbangkan kelemahan-kelemahan dari metode ini. “Proses pembahasan yang dipaksakan dalam waktu singkat namun mencakup begitu banyak kluster sangat berpotensi tidak terwujudnya demokrasi deliberatif,” ujarnya.

Refleksi ini, katanya, sudah dibuktikan dengan proses penyusunan UU Ciptaker yang dalam fakta persidangan Putusan MK No. Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, MK menyebutkan proses penyusunan UU Ciptaker tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal.

Dikatakannya, tidak hanya terhadap asas keterbukaan, metode omnibus law juga sangat berpotensi pada adanya pengabaian terhadap asas kejelasan rumusan.

“Lagi-lagi, pembentukan UU Cipta Kerja menjadi bukti betapa pemerintah dan DPR sangat tidak teliti dalam merumuskan norma-norma di dalamnya. Banyak pasal yang mengandung multi-interpretatif hanya karena ketidakjelasan rumusan normatifnya. Menjadi logis, sebab dengan 79 UU dengan 1.209 pasal hanya dibahas dalam waktu 6 bulan untuk akhirnya disatuatapkan dalam sebuah undang-undang bernama UU Cipta Kerja,” katanya.

Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani menambahkan dengan melihat dampak negatif metode omnibus law pada proses penyusunan UU Ciptaker, maka SETARA Institute mendesak DPR dan pemerintah untuk mempertimbangkan dan meninjau ulang pengadopsian metode omnibus law dalam Revisi UU PPP tersebut.

Perjalanan legislasi selama ini, menurutnya, telah menunjukkan betapa pembentuk undang-undang masih belum optimal dalam menelurkan produk legislasi yang baik. “Mulai dari UU KPK, UU Minerba, UU MK, hingga UU Cipta Kerja setidaknya menjadi catatan betapa pemerintah tetap kekeh meloloskan undang-undang di tengah kontroversial penolakan masyarakat,” ujarnya.

Karena itu, Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah itu mengajak seluruh komponen masyarakat untuk terus bersama-sama mengawal jalannya revisi UU Ciptaker.

“Jauh lebih penting dari sekadar formalitas pembentukannya, UU ini harus benar-benar memberikan keadilan yang substantif bagi seluruh unsur masyarakat dan akomodatif terhadap seluruh kepentingan. Jangan sampai produk legislasi yang terlalu pro-invetasi ini justru menjadi cilaka bagi masyarakat,” pungkasnya.

Seperti diketahui, pengesahan RUU PPP dilakukan DPR dalam rapat paripurna yang digelar pada Selasa lalu (24/5/2022). Sidang yang disiarkan melalui akun Youtube DPR RI ini diketuai oleh Ketua DPR dari Fraksi PDIP, Puan Maharani.

"Apakah RUU tentang perubahan kedua atas UU nomor 13 tahun 2011 tentang PPP dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?" tanya Puan.

Rapat Paripurna pengesahan RUU PPP itu dihadiri oleh 338 anggota dewan, sebanyak 56 anggota hadir secara fisik dan 220 orang secara virtual. Sedangkan, sebanyak 62 orang tak hadir atau izin. Namun jumlah total anggota DPR tersebut memenuhi kuorum. ***

Artikel Terkait