Nasional

Calonkan Anies, LKSP: Partai NasDem Salah Membaca `Elan Vital` Bangsa

Oleh : very - Senin, 27/06/2022 12:50 WIB

Andre Vincent Wenas,MM,MBA, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Mencermati perilaku politik (political behavior) dibandingkan dengan hasil survey memang selalu menarik. Kenapa? Karena ini soal politik sebagai seni (art) dan politik sebagai ilmu (science).

Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh misalnya, mengira ia telah mengambil keputusan secara rasional dengan memilih Anies Baswedan yang rating-nya (berdasarkan) beberapa survey elektabilitas capres memang cukup tinggi bila dibandingkan dengan nama-nama bakal capres lainnya.

“Namun jangan lupa, bahwa hasil-hasil survey elektabilitas itu belum menunjukkan angka yang solid bagi kandidat bakal capres, yaitu di angka 50 persen ke atas. Paling tidak di sekitaran 40 persenan, atau angkanya ada sekitar 2 kali lipat dibanding pesaing terdekatnya. Seperti elektabilitas Jokowi di tahun 2014 dulu tatkala ia pertama kali ikut dalam kontestasi pilpres,” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta, Andre Vincent Wenas,MM,MBA. melalui pernyataan singkat kepada INDONEWS.ID, di Jakarta, Senin (27/6).

Karena itu, dia meminta Surya Paloh untuk membaca matematika politik itu dengan bijak. “Perlu insights atau wawasan yang luas dan mendalam tentang ‘elan vital’ (daya pendorong semangat) bangsa ini yang sedang begulat mempertahankan jati dirinya yang bhinneka tapi tunggal ika itu,” katanya.

Pasalnya, kata Andre, secara defacto spirit bangsa ini sedang “ditantang” oleh anti-tesisnya yaitu gerakan intoleransi yang simbolisasinya ada pada figur Anies Baswedan.

“Maka upaya Surya Paloh yang menyebut duet Anies-Ganjar sebagai duet Pemersatu Bangsa juga tidak tepat. Itu malah jadi liability buat Ganjar, eletabilitasnya bisa tererosi,” katanya.

Dia mengatakan, gerakan anti-toleransi (atau intoleran) ini memang berisik, komunikasi politik mereka memang aktif di media sosial yang akhirnya sering dikutip oleh media mainstream. Apa lagi mereka kerap meng-klaim mewakili kepentingan kelompok mayoritas tertentu, sehingga kesannya jadi “seolah-olah” banyak (mayoritas).

Padahal ada kelompok mayoritas sesungguhnya yang selama ini lebih memilih diam. Merekalah yang sering disebut “the silent majority”. Mereka hanya bertindak pada momen-momen tertentu.

“Dan itu akhirnya dibuktikan lewat menurunnya elektabilitas Partai Nasdem pasca pencalonan Anies Baswedan (Sang Simbol Intoleransi, yang juga Bapak Pembiaran Bancakan Anggaran) oleh mereka. Kalau masih nekad terus, Partai Nasdem bisa-bisa terjerumus ke dalam sumur resapan,” ujarnya.

Terkait dengan hasil survei yang menyebutkan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mengalami kenaikan pasca pencalonan Anis Baswedan oleh Partai NasDem, Andre mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena adanya sikap konsistensi partai tersebut untuk menolak intoleransi dan korupsi.

“Fenomena PSI yang naik terus elektabilitasnya saya kira karena sikap konsistennya untuk menolak intoleransi dan korupsi yang dibuktikan dengan pernyataan Grace Natalie yang menolak dukung Anies Baswedan dalam kontestasi 2024 karena memang ia merupakan simbolisasi gerakan intoleran serta praktek korupsi (pembiaran bancakan APBD),” pungkasnya. ***

Artikel Terkait