Opini

Kekerasan Seksual Dan Politik Perempuan

Oleh : indonews - Jum'at, 29/07/2022 07:50 WIB

Alissa Chinny M. Kaligis SH. (Foto: ist)

 

Oleh: Alissa Chinny M. Kaligis SH*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Sejak awal diterbitkannya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Ada yang pro dan ada juga yang kontra. Kekerasan seksual di Indonesia sudah memasuki tahap yang darurat, mengutip Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang meluncurkan Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2018 (CATAHU 2019).

Pada tahun 2019, bahwa terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2018 naik dari tahun sebelumnya yang terdapat 348.466 kasus. Sedangkan pada tahun 2020 sebanyak 299,911 kasus, mengalami penurunan 31,5 persen. Dalam hal ini bukan berarti penurunan kasus keadaan baik-baik saja, banyak faktor yang melatarbelakanginya, keengganan melapor karena malu, misal salah satunya, dan lain-lain. 

Terlepas dari itu ini bukan soal angka tapi lebih ke perlindungan harkat dan martabat kemanusian warga negara, dan akses untuk mendapatkan keadilan (acces to justice). Akses terhadap keadilan (access to Justice) merupakan karakteristik kondisi dasar  hukum responsif yang ditandai pada satu sisi oleh ketersediaan dasar-dasar hukum (konstitusi, legislasi, regulasi) serta dasar-dasar kebijakan (policy) bagi tercapainya keadilan substantif, serta pada sisi lain adanya prosedur dan mekanisme bagi realisasi keadilan substantif. Urgensi dari terbitnya permendikbudristek tersebut sebagai reaksi yang responsif untuk mengakses keadilan dalam kasus kekerasan seksual yang marak terjadi pada institusi pendidikan  dan tempat-tempat lainnya.

Sementara di sisi lain beberapa kalangan menolak peraturan tersebut, salah satunya karena frasa “tanpa persetujuan korban” yang dinilai dapat melegalkan seks bebas. Peraturan ini mirip dengan apa yang dilakukan di Swedia, yang pada tahun 2018 mengeluarkan undang-undang yang mengatur bahwa seks tanpa persetujuan (sex without consent) adalah bentuk pemerkosaan. Penolakan yang kontra terhadap peraturan tersebut banyak mengandung dimensi keagamaan, mengingatkan penulis pada pemikiran Than-Dam Truong, dalam bukunya Seks, Uang, dan Kekuasaan, menurutnya bahwa ideologi keagamaanlah yang membentuk wawasan tentang seksualitas sekaligus menjadi alat legitimasi dari kelas-kelas yang berkuasa atau mayoritas (Truong: 1992). Artinya peraturan tersebut bisa dibilang secara materiel sudah lumayan progresif.

Dalam kemajuan upaya untuk melindungi dan menangani kekerasan terhadap perempuan, kita dapat melihat di Bolivia. Pada tahun 2013, Bolivia telah mengesahkan Undang-Undang untuk memerangi berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. UU tersebut menjamin hak kaum perempuan untuk hidup bebas dari berbagai bentuk kekerasan. Kerangka normatif UU ini untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan, pelayanan khusus untuk korban pelecehan, dan hukuman seberat-beratnya bagi pelaku kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan. Menurut UU ini juga, pernyataan melecehkan dan merendahkan martabat perempuan di media massa dikategorikan sebagai kejahatan terhadap perempuan. Penggunaan bahasa seksis masuk kategori kekerasan terhadap perempuan. Dan beberapa negara lain seperti Tunisia, Yordania, Lebanon mengeluarkan produk legislasi yang hampir serupa.

Sementara dalam perjalanan politik hukum di negara kita, perlindungan terhadap perempuan dimulai sejak  Ratifikasi CEDAW melalui UU No. 7/1984 dan diperkuat dengan UU No. 29/1999 tentang Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (1965) telah dikeluarkan berbagai ketentuan, antara lain Keppres No. 181/1998 tentang Pembentukan Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dan diperbaharui oleh Perpres No. 65 dan 66 tahun 2005. Inpres tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan dan instrument hukum lainnya. Proteksi atas kekerasan terhadap perempuan juga telah diperkokoh dengan adanya UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dan yang terbaru adalah Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Tentu kebijakan-kebijakan tersebut lahir dari proses politik yang memiliki keberpihakan terhadap isu perempuan.

Hasil pemilu legislatif 2019 kemarin membawa kemajuan bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Kemajuan itu adalah soal keterwakilan perempuan di DPR periode 2019-2024 yang saat ini tertinggi sepanjang sejarah hasil pemilu pasca reformasi, yakni sejumlah 118 perempuan berhasil merebut kursi parlemen, artinya meningkat 20,5%. Berbeda dari  pemilu-pemilu sebelumnya, pemilu 2014, hanya 97 perempuan atau 17,3 persen yang duduk di parlemen. Kemudian Pemilu tahun 2009 hanya terwakili 101 kursi atau 18 persen. Sementara pemilu tahun 2004 keterwakilan perempuan di parlemen paling rendah, hanya 61 orang atau 11 %.  Peningkatan keterpilihan dan keterwakilan perempuan dalam parlemen saat ini diharapkan meningkat di pemilu selanjutnya, sehingga keberpihakan politik terhadap perlindungan dan hak-hak perempuan dapat terkawal dan terus mendapat perhatian khusus.

*) Penulis dari Indonesian Center Divisi HAM dan Pemberdayaan Perempuan Lawyer @ Kaligis & Associates. 

Artikel Terkait