Nasional

Pemerintah Perketat Aturan Plastik Sekali Pakai di 2030, Bagaimana Pengaruh "Socialpreneurship" Menjembatani Transisi Menuju Ekonomi Sirkular?

Oleh : Rikard Djegadut - Jum'at, 28/10/2022 15:33 WIB

Ilustrasi (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Indonesia, negara dengan populasi terbesar ke-empat di dunia, masih harus melalui jalan berliku sebelum dapat memastikan penanganan limbah plastik di negara kepulauan tersebut dapat berjalan dengan baik. Ada beberapa peraturan telah dikeluarkan, dan kampanye yang menggaungkan konsep ekonomi sirkular telah mulai berdampak di level akar rumput.

Namun dalam banyak hal, termasuk untuk edukasi ke publik, pemberian insentif dan disinsentif dari pemerintah kepada pelaku bisnis yang telah ekonomi sirkular, hingga peran pemerintah daerah untuk turut berkontribusi terhadap penanganan limbah plastik secara optimal, masih merupakan pekerjaan rumah yang cukup berat.

Hal ini disadari oleh berbagai pemangku kepentingan, mulai dari regulator, pelaku bisnis, hingga para pegiat lingkungan.

Pemerintah Republik Indonesia sebenarnya telah mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah Oleh Produsen, yang meminta pemerintah daerah untuk menerapkan aturan plastik sekali pakai di daerahnya.

Sejak beleid itu diterbitkan, hingga Juni 2022, berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), baru ada dua pemerintah provinsi, 38 pemerintah kabupaten dan 37 pemerintah kota yang mengeluarkan kebijakan pembatasan penggunaan plastik sekali pakai.

"Berdasarkan hasil evaluasi KLHK terdapat 26 pemerintah daerah yang mengimplementasikan kebijakan itu dengan baik. Ke 26 pemda yang sudah mengimplementasikan mandat Permen LHK No.75/2019 tersebut tersebar di wilayah Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, dengan dominasi Jawa," terang Vivien.

Vivien menambahkan Pemerintah Pusat akan memberi dana insentif daerah, atau biasa disingkat DID, untuk daerah yang telah mengimplementasikan aturan tersebut dengan baik.

Sementara itu, masih ada 51 daerah lainnya yang belum mengindahkan Permen LHK Nomor 75 tersebut dan Vivien mengatakan pihaknya terus mendorong pemda tersebut agar dapat menjalankan aturannya dengan baik dan konsisten.

Sementara itu, berbagai macam gerakan untuk memberi edukasi publik terkait bahaya plastik sekali pakai terhadap kesehatan maupun lingkungan, makin gencar dilakukan oleh pegiat lingkungan dan para LSM peduli lingkungan.

Selain itu, bahkan ada hasil studi yang menunjukkan ternyata mulai ada banyak toko curah/isi ulang sebagai social entrepreneurship, yang justru memiliki motivasi lingkungan dan sosial yang lebih kuat dibandingkan motivasi ekonomi. Hal ini disarankan untuk diapresiasi oleh pemerintah, dibina, dan dikampanyekan kepada masyarakat luas, sebagai salah satu alternatif yang mendukung tegaknya PermenLHK no. 75/2019.

Kemasan saset berbahaya untuk kesehatan dan lingkungan, akan dilarang di 2030

Salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang aktif menyuarakan penghentian penggunaan sachet adalah Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI). Baru-baru ini, LSM ini menggiatkan kampanye penghentian penggunaan sachet karena sampahnya tidak dapat didaur ulang secara aman dan berkelanjutan dan telah karena kemasan jenis ini banyak ditemukan mencemari lingkungan, baik di darat maupun di laut.

 "Melalui kampanye Stop Sachet ini kami mengubah narasi daur ulang sachet menjadi narasi guna ulang dan isi ulang secara signifikan dan mendorong kepatuhan terhadap kebijakan nasional mengenai konsumsi dan konsumsi plastik oleh produsen," ujar Co-Coordinator AZWI Rahyang Nusantara, dalam keterangan resminya, Senin, 18 Juli 2022.

Kemasan sachet sering disebut plastik multilayer, yang merupakan jenis kemasan untuk berbagai jenis produk; makanan dan minuman, perawatan pribadi dan perawatan rumah tangga dengan ukuran kurang dari 50 mL atau 50 gr untuk kemudahan konsumen.

Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No 81/2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga sebenarnya sudah mewajibkan produsen untuk bertanggung jawab dalam mengurangi timbulan sampah terutama dari produk pasca konsumennya. Hal ini diperkuat dengan Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen di Permen LHK No 75/2019.

Daru Setyorini, Manager Program Ecoton (Ecological Observation and Wetland Conservation), sebuah LSM yang aktif mengajak masyarakat mencintai sungai melalui kampanye tolak plastik, menjelaskan sejumlah fakta yang ditemukan dalam Ekspedisi Sungai Nusantara yang digelar sejak awal tahun 2022.

"Tim ekspedisi menemukan Sungai Ciliwung yang kini dibanjiri sampah sachet. Sampah ini diproduksi perusahaan domestik dan global. Sebagaimana diketahui bersama, sachet adalah sampah kemasan plastik fleksibel berukuran kecil yang tidak bisa didaur ulang. Kemasan sachet ini mudah tersebar dan tersangkut di dahan dan akar pohon tepi sungai, melepaskan jutaan partikel mikroplastik yang mengandung bahan kimia ftalat dan EVOH yang beracun, mengganggu sistem hormon dan pemicu kanker," jelas Daru.

Senada dengan Daru, Yuyun Ismawati, Co-Founder Nexus3 Foundation, LSM yang peduli terhadap kesehatan lingkungan, terutama terkait dampak pembangunan lingkup bahan kimia dan limbah, bahan berbahaya, menjelaskan bahwa kemasan sekali pakai berbahan plastik berpotensi memindahkan senyawa kimia berbahaya, seperti PFAS, ke makanan.

Untuk membuat kemasan tahan cuaca, juga digunakan senyawa-senyawa seperti UV-328, yang merupakan bahan kimia berbahaya penstabil ultra-violet (UV) aditif plastik.

 "Penggunaan senyawa-senyawa berbahaya dalam kemasan sachet ini bukan hanya berbahaya terhadap kesehatan konsumen tetapi juga terakumulasi di lingkungan. Kimia-kimia ini juga akan menyebabkan ekonomi sirkular yang toksik," jelas Yuyun.

Sementara itu, PFAS sendiri, seperti dijelaskan dalam situs Institut Teknologi Bandung, merupakan singkatan dari per- and polyfluoroalkyl substances, yang merupakan sebuah substansi kimia oleophobic (antiminyak) dan hydrophobic (antiair). Karena sifatnya tersebut, substansi ini banyak digunakan dalam industri elektronik, otomotif, hingga kesehatan, misalnya pada teflon.

Dalam sebuah acara gelar wicara dibuka oleh Dosen Magister Teknik Air Tanah ITB Dr. Dasapta Erwin Irawan, S.T., M.T. Gelar, yang dihadiri oleh alumnus Magister Teknik Air Tanah ITB Anggita Agustin, pada Agustus tahun lalu, disebutkan jika memasuki tubuh manusia dan hewan, PFAS dapat menimbulkan beberapa gejala efek samping, di antaranya gangguan hormon tiroid dan kanker.

Koordinator Program Break Free From Plastic Asia Pasifik, Miko Aliño menyebutkan beberapa daerah di Indonesia dan Asia pada umumnya memiliki kapasitas terbatas untuk menangani limbah sachet plastik dengan aman dan seringkali memaksa pemerintah daerah untuk memilih opsi penanganan yang sangat berpolusi seperti teknologi insinerasi, atau dibakar.

Ironisnya, penanganan dari pemda dan para produsen, terkesan mencari jalan pintas, atau hanya menghasilkan solusi semu yang tidak menyelesaikan masalah. "Kami meminta perusahaan untuk berhenti memproduksi dan membakar sachet dan sebaliknya berinvestasi secara signifikan dalam sistem penggunaan kembali dan isi ulang," kata Miko dalam keterangan resmi gabungan dengan AZWI.

Ujang Solihin Sidik, Kasubdit Tata Laksana Produsen Direktorat Pengurangan Sampah KLHK, dalam sebuah acara webinar 10 Oktober 2022 lalu mengatakan, bahwa berdasarkan Peta Jalan Pengurangan Sampah KLHK 2020-2029, memang ada sejumlah item plastik ukuran kecil yang sudah tidak boleh lagi diproduksi pada 2029.

Produk plastik yang secara bertahap harus sudah dihentikan produksinya antara lain kemasan sachet kecil, sedotan plastik di restoran, café dan hotel.

Merujuk PermenLHK no. 75/2019 kemasan plastik yang akan dilarang pemerintah adalah saset untuk produk makanan dan minuman, perawatan tubuh, dan pembersih rumah berukuran kurang dari 50 mL per Januari 2030.

Jika hal ini berhasil dilakukan, maka Indonesia dapat turut berkontribusi mengurangi pada peningkatan konsumsi plastik saset di kawasan Asia Tenggara. Greenpeace dalam laporannya pada 2018 memperkirakan 855 miliar sachet terjual secara global, yang hampir 50 persen dari volume penjualan tersebut berada di kawasan Asia Tenggara. Jika dihitung dengan laju pertumbuhan yang sama, maka pada 2027, total konsumsi plastik sachet secara global dapat mencapai 1,3 triliun.

Social entrepreneurship dapat menjadi ujung tombak

Uni Eropa melalui kampanye “Rethinking Plastics – Circular Economy Solutions to Marine Litter,” yang dijalankan oleh GIZ, berkolaborasi dengan berbagai stakeholders baik pemerintah, swasta dan NGO, merumuskan berbagai program dan solusi untuk meningkatkan kesadaran produsen dalam menggunakan produk-produk kemasan plastik bernilai ekonomi tinggi yang dapat didaur ulang.

Proyek yang dibiayai oleh Uni Eropa dan Republik Federal Jerman melalui Kementerian Federal Jerman untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (BMZ) ini mendukung transisi menuju ekonomi sirkular untuk plastik dan konsumsi dan produksi plastik berkelanjutan di negara-negara Asia Timur dan Tenggara, termasuk Indonesia untuk berkontribusi pada pengurangan sampah laut yang signifikan.

Dalam laporan akhir “Analisa Potensi Model Bisnis Isi Ulang (Refill) dan Toko Curah dalam Rangka Menggantikan Peran Kemasan Sachet” dari proyek Rethinking Plastics tersebut, terungkap bahwa toko curah/isi ulang sebagai social entrepreneurship, memiliki motivasi lingkungan dan sosial yang lebih kuat dibandingkan motivasi ekonomi.

Menurut hasil rekomendasi dari laporan tersebut, hal ini “perlu didorong, dibina, diapresiasi, dan dikampanyekan kepada masyarakat luas, sebagai salah satu alternatif yang mendukung tegaknya PermenLHK no. 75/2019, agar dengan keuntungan kecil masih dapat terus bertahan dan berkembang.”

“Termasuk di dalam dukungan tersebut adalah pengembangan regulasi, panduan dan standar penjualan produk curah/isi ulang yang legal, higienis dan aman. Ekosistem bisnis curah/isi ulang memerlukan regulasi, panduan dan standarisasi terkait dengan penyediaan produk berukuran besar oleh manufaktur, pendistribusian produk curah/isi ulang oleh distributor dan ritel (termasuk toko curah/isi ulang), penyediaan dan penggunaan dispenser pengisian ulang produk, penyediaan dan penggunaan kemasan pakai ulang, layanan konsumen, pengawasan, serta insentif dan disinsentifnya,” demikian tulis laporan tersebut.

Kinerja pengurangan kemasan sekali pakai, baik saset maupun ukuran besar, yang dilakukan toko curah/isi ulang, produsen/manufaktur, distributor, dan ritel “sebaiknya diapresiasi dan diperhitungkan dalam pengurangan sampah di tingkat nasional untuk meningkatkan kebanggaan dan motivasi mereka,” tambah laporan dari proyek yang dikerjakan oleh GIZ tersebut.

Hal ini merupakan kabar baik, karena ternyata telah banyak bermunculan inisiatif komersial yang dilakukan oleh kelompok wirausaha sosial yang peduli, untuk memberi alternatif opsi bagi konsumen agar dapat menghindari penggunaan kemasan plastik termasuk saset.

Laporan GIZ tersebut adalah berdasarkan sebuah studi yang dilakukan untuk memahami sejauh mana model bisnis ini dapat memberikan solusi jangka panjang bagi produsen untuk berpartisipasi dalam implementasi pengurangan limbah; kebutuhan kebijakan untuk meningkatkan model bisnis baru ini; serta memahami potensi implikasi dari penghapusan saset secara bertahap dan kemunculan model bisnis baru ini.

“Toko curah (bulkstore) yang menjual produk tanpa kemasan, dan bisnis isi ulang bergerak (mobile) seperti Siklus, kini semakin berkembang dan mudah ditemui di kota-kota besar seperti Jakarta. Beberapa produsen produk konsumsi tertentu juga telah melakukan uji coba pendirian stasiun isi ulang untuk produknya di toko curah,” demikian tulis laporan tersebut.

Secara tidak langsung, para pelaku bisnis tersebut sudah turut melakukan implementasi Extended Producer Responsibility (EPR) untuk meningkatkan kualitas dan sistem pengemasan daur ulang.

Untuk memastikan penghapusan saset dapat terjadi dengan baik pada tahun 2030, KLHK direkomendasikan untuk berkoordinasi dengan K/L terkait, FMCG, UMKM, ritel, distributor, konsumen, media massa, dan akademisi untuk mengembangkan ekosistem bisnis penjualan produk curah/isi ulang yang kondusif agar transisi dari saset dapat diterapkan perlahan dan dipersiapkan alternatifnya.

“Kampanye nasional perlu dibuat untuk memperkenalkan dan menularkan gaya belanja baru tersebut. Sebagai social entrepreneur, toko curah/isi ulang memiliki motivasi lingkungan dan sosial yang lebih kuat dibandingkan motivasi ekonomi, sehingga perlu diperkuat dan didukung oleh semua pihak agar dengan keuntungan kecil dapat terus bertahan dan berkembang,” demikian tulis laporan tersebut.

Tentang Rethinking Plastics

’Rethinking Plastics – Circular Economy Solutions to Marine Litter’  mendukung transisi menuju ekonomi sirkular untuk plastik guna mengurangi kebocoran sampah plastik ke laut dan juga sampah laut.

Gerakan ini didasarkan pada kerja sama antara Uni Eropa (UE) dan tujuh negara di Asia Timur dan Tenggara dan selaras dengan upaya dan inisiatif regional dan nasional untuk mengurangi sampah plastik laut. Bersama dengan mitranya, proyek ini bekerja untuk meningkatkan pengelolaan sampah plastik, mendorong konsumsi dan produksi plastik yang berkelanjutan serta mengurangi sampah dari sumber-sumber berbasis laut dan memperkuat pengadaan publik hijau.

Dialog dan belajar dari pengalaman dan contoh kebijakan, praktik, dan pendekatan inovatif adalah kunci untuk ‘Rethinking Plastics`.

`Rethinking Plastics` memberikan saran, mempromosikan pertukaran dan berbagi praktik terbaik, mengimplementasikan kegiatan dan mendukung lebih dari 20 proyek percontohan di Cina, Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam untuk menguji dan menyebarluaskan pendekatan baru atau praktik terbaik kelas atas. Pertukaran pengetahuan dibina, misalnya, melalui dialog kebijakan, lokakarya dan konferensi, webinar dan kegiatan peningkatan kesadaran tentang pengurangan plastik.

Proyek ini didanai bersama oleh Uni Eropa dan Republik Federal Jerman melalui Kementerian Federal Jerman untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (BMZ). Ini dilaksanakan bersama oleh Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) dan Expertise France.*

Artikel Terkait