Nasional

Masih Adakah Guru yang Tersisa?

Oleh : Rikard Djegadut - Jum'at, 25/11/2022 22:20 WIB

Andy Tandang (Foto: Ist)

Oleh: Andy Tandang 

Opini, INDONEWS.ID - Bulan Agustus 1945, menjelang akhir Perang Dunia II, Amerika Serikat (AS) menjatuhkan bom atom di Kota Nagasaki dan Hirosima. Peristiwa ini menjadi klimkas serangan udara negeri Paman Sam yang menewaskan 129.000 jiwa tersebut.

AS tidak bermain sendiri. Dua operasi pengeboman itu mendapat dukungan penuh dari Britania Raya melalui Perjanjian Quebec. Perjanjian ini dikenal sebagai konsensus antara Britania Raya dan Amerika Serikat terkait pengembangan kerjasama energi nuklir, secara khusus senjata nuklir pada Perang Dunia II.

Jepang porak-poranda. Dua kota penting yang menjadi pusat industri hancur berantakan. Barang-barang kebutuhan pokok menjadi langka, transportasi lumpuh, industri mandek, inflasi pun melesat naik. Perekonomian Jepang kembali ke titik paling rendah.

Di tengah situasi negeri yang babak belur, Kaisar Hirohito hadir membawa harapan baru. Hirohito semacam tak ingin para prajurit dan rakyatnya tenggelam dalam kehancuran. Saat pertama kali mendengar Hirosima dan Nagasaki dibombardir, Hirohitu memberikan pertanyaan yang mengejutkan.

Berapa jumlah guru yang tersisa?

Sejumlah jendral kaget. Di tengah gempuran sekutu yang memporak-porandakan Jepang, mencari tahu soal jumlah guru yang tersisa semacam tak masuk akal, sia-sia. Apa yang bisa diandalkan? Kemampuan militer, mereka tak punya, apalagi taktik perang.

Para jenderal pun berdalil bahwa dengan kekuatan yang masih tersisa mereka mampu menyelematkan dan melindungi kaisar tanpa bantuan guru. Namun, cara berpikir kaisar melampaui pemahaman mereka.

Menurut Hirohito, Jepang memang kuat dari segi persenjataan dan strategi perang. Namun, mereka tidak mengetahui bagaimana cara membuat bom yang dahsyat seperti yang menghancurkan Nagasaki dan Hirosima. Hirohito percaya, peran inilah yang mampu diambil alih guru jika hendak bangkit dari kejatuhan.

Dalam catatan historis, tersisa 45.000 guru yang selamat kala itu. Hirohito pun memberi harapan penuh bahwa di pundak gurulah Jepang bisa diselamatkan, bukan pada kekuatan pasukan.

Hirohitu telah memberikan signal bahwa posisi guru menjadi sentral yang mampu mengangkat sebuah bangsa dari keterpurukan sekaligus menopang peradabannya. Hirohito membuktikan, dalam kurun waktu 20 tahun, Jepang mampu menjadi salah satu negara maju setelah bangkit dari kejatuhannya.

Hari-hari ini, keberadaan guru di Indonesia selalu menjadi soroton. Setidaknya, salah satu persoalan yang selalu dimunculkan ke publik sekaligus menjadi konsentrasi arah kebijakan negara adalah soal kesejahteraan.

Setiap peringatan Hari Guru Nasional, aspek kesejahteraan menjadi topik utama perbincangan publik. Mengingat, masih banyak guru di Tanah Air yang hidupnya dianggap kurang beruntung.

Gaji yang tidak mencukupi kebutuhan, status honorer yang tidak kunjung mendapat kepastian hingga kesenjangan antara guru yang mendapat tunjangan dengan guru honorer yang bergaji rendah.

Kita sepakat, guru merupakan garda terdepan bangsa dalam proses pembelajaran yang mampu menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas, unggul dan maju di masa depan. Namun, di sisi lain kesejahteraan meraka harus juga diperhatikan.

Pada Januari 2022, Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan (Kemendikbud) melaporkan, sebanyak 1.520.354 atau 52% guru di Indonesia sudah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Akan tetapi, jumlah guru yang masih berstatus honorer masih sebanyak 704.503 orang atau sebesar 24% dari total jumlah guru di Indonesia. Sedangkan jumlah guru yang berstatus sebagai GTT kabupaten/kota sebanyak 141.724 dan GTT provinsi sebanyak 13.328 orang.

Sementara itu, seorang guru honorer biasanya hanya dibayar sekitar Rp200.000-Rp300.000 per bulannya. Sedangkan untuk guru yang berstatus sebagai PNS berkisar antara Rp2 juta-Rp5 juta (tergantung status golongannya).

Jepang lagi-lagi memberi kita pelajaran. Di Negeri Sakura itu, guru digaji sekitar 2.200 dollar AS hingga 5.000 dollar AS atau sekitar Rp30 juta sampai Rp71 juta. Angka yang sangat fantastis dan berbeda jauh dengan Indonesia.

Jepang punya sebuah keyakinan, dengan nominal gaji yang tinggi; selain sebagai bentuk penghormatan terhadap tugasnya yang berat dan mulia, guru akan lebih serius dan fokus mendedikasikan dirinya di dunia pendidikan, yang pada akhirnya mampu membawa generasi penerus bangsa ke arah yang lebih baik.

Pada akhirnya, generasi penerus bangsa yang baik dan kompetitif tak akan pernah lahir dan tak akan pernah siap untuk dipanen tanpa campur tangan seorang guru. Karena itu, perlakukan mereka sebagaimana Jepang memperlakukannya.*

Artikel Terkait