Opini

Megawati dan Jebakan Feodalisme di Pilpres 2024

Oleh : Rikard Djegadut - Sabtu, 14/01/2023 09:42 WIB

Andy Tandang

Oleh Andy Tandang (Penulis merupakan alumnus program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Mantan Pengurus Pusat PMKRI. Dewan Redaksi Media Nasional Bulir.id)

Jakarta, INDONEWS.ID - Hingga kini, Partai PDI Perjuangan belum juga mendeklarasikan calon presiden (capres) yang bakal diusung pada kontestasi Pilpres 2024 mendatang.

Sebagian publik penasaran dan bahkan menunggu Megawati akan membuka `kartu AS` capres saat perayaan ulang tahun PDI Perjuangan yang ke-50 beberapa waktu lalu.

Apalagi, signal itu pernah diucapkan sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, bahwa akan ada kejutan di hari jadi partai Banteng. Sayangnya, insting politik Megawati berbeda.

Putri sang proklamator itu memilih membungkus rapi nama-nama capres yang bakal diusung, sambil menakar ulang dinamika politik yang sedang bergulir ke publik.

Megawati rupanya butuh akurasi politik sekaligus timing yang tepat. Tidak gegabah, kendatipun dinyalip partai lain, seperti NasDem yang lebih dulu mengusung Anies Baswedan.

PDIP memang jago soal itu. Sebagai partai penguasa, PDIP tentu tidak ingin terjebak dalam lingkaran ekskalasi politik yan berkembang dan memilih menjadi play maker, pengendali utama arus politik tanah air.

Hari-hari ini, publik memang berupaya membaca soal figur pilihan PDIP Perjuangan di pilpres. Setidaknya ada dua nama yang beredar ke publik: Ganjar Pranowo dan Puan Maharani.

Stok kader mereka memang hanya segitu. Kalau bukan Ganjar dan Puan, mau nggak mau, sang ketua umum, Megawati menjadi jalan tengah. Kemungkinan itu bisa saja terjadi, kendatipun di usia yang tak muda lagi.

Politik memang tak mengenal usia. Di Amerika tahun 80-an, semisal. Tiba-tiba Ronald Reagan yang berusia 75 tahun kala itu, tampil ke pentas politik negeri Paman Sam dan berhasil merebut kursi presiden.

PDI Perjuangan tidak mungkin mengusung kader di luar partai, sepotensial apapun itu. Ini soal marwah partai besar dengan seluruh perangkat politik yang mumpuni.

Kembali ke Ganjar dan Puan. Pertama, soal elektabilitas. Merujuk survei Charta Politika pada Desember 2022 lalu, elektabilitas Ganjar 31,7 persen, sementara Puan hanya mentok di 1,5 persen.

Secara teoretis, Puan sebetulnya tidak pantas disandingkan dengan Ganjar. Ia hanya bisa didudukan sejajar dengan Menteri Sosial Tri Rismaharini atau kepala LKPP Abdullah Azwar Anas yang tingkat elektabilitasnya sama-sama di bawah 2 persen.

Kedua, soal pengalaman dan karier politik. Ganjar dan Puan tentu punya pengalaman dan karier politik yang jauh berbeda.

Dua kali duduk di Senayan dengan gebrakannya yang luar biasa, lalu bergeser ke Jawa Tengah dan menduduki kursi Jateng 1 selama dua periode, setidaknya menegaskan bahwa kematangan politik Ganjar sudah cukup teruji.

Sementara di sisi lain, publik belum pernah mendengar gebrakan progresif Puan selama menjadi ketua DPR RI, selain viral karena mematikan mikrofon saat paripurna berlangsung.

Mengacu pada dua kerangka pertimbangan di atas, maka secara ideal, pilihan politik PDI Perjuangan semestinya jatuh ke tangan Ganjar.

Sayangnya, politik itu bukan sekedar kalkulasi matematis. Sebagai putri mahkota partai, Puan secara internal berpeluang diusung, meskipun harus tertatih-tatih mendompleng elektabilitas.

Toh, hak prerogatif ada di tangan ibu kandungnya, Megawati Soekarnoputri. Kekuasaan itu bisa dipakai Megawati untuk mengusung Puan dan menjegal Ganjar.

Kehadiran Ganjar di HUT PDIP kemarin menjadi semacam pra-tanda, bahwa ia tak mendapat tempat yang istimewa di internal PDI Perjuangan.

Pada akhirnya, jika memang Megawati tetap ngotot mengusung Puan di tengah tingkat elektabilitasnya yang rendah, maka publik akan dengan gampang menuding bahwa Megawati terjebak dalam feodalisme.

Secara historis, feodalisme itu adalah sistem sosial politik yang memberikan kekuasaan penuh kepada golongan bangsawan.

Dalam sistem semacam ini, kinerja atau prestasi bukan lagi menjadi orientasi. Yang dikejar adalah pangkat dan jabatan.

Salah satu ciri khas feodalisme adalah ketaatan mutlak bawahan kepada atasannya. Dalam relasi semacam ini, diskursus demokratis dikunci atas nama kekuasaan.

Dalam konteks partai politik, feodalisme hanya akan menghasilkan kader-kader yang berorientasi pada nilai pelayanan yang berlebihan terhadap penguasa partai.

Ada semacam kepatuhan berjemaah, yang pada akhirnya menutup ruang percakapan demokratis untuk menentukan arah kebijakan politik partai.

Hak prerogatif ketua umum sebetulnya menjadi tanda bagaimana feodalisme itu beroperasi di ruang-ruang demokrasi. Alhasil, apapun keputusan ketua partai, wajib hukumnya diterima dan dilaksanakan.

"Bung Karno pasti akan kecewa jika Indonesian jadi negeri feodal, yang diperintah sebuah keluarga dan rakyat tak ikut serta," kata Goenawan Mohamad.*

Artikel Terkait