Opini

Menghindari Kampanye Hitam

Oleh : luska - Jum'at, 13/01/2023 21:06 WIB

Penulis : Ikrar Nusa Bhakti
(Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 1984-2017, Duta Besar RI untuk Tunisia 2017-2021, sejak Januari 2023 menjadi Tenaga Profesional di Lemhannas)

Pemimpin Redaksi Indonews.id Asri Hadi, sehari menjelang Ulang Tahun Emas PDI-P menuliskan harapannya, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri akan mengumumkan kandidat presiden dan wakil presiden partai berlambang banteng tersebut. Harapan tersebut tak menjadi kenyataan. Dalam pidatonya Megawati antara lain menyatakan, banyak yang berharap dia akan mengumumkan pasangan kandidat presiden dan wakil presiden dari PDI-P. Ia tak mau didesak-desak oleh berbagai kalangan. Dengan bahasanya yang santai Mega menyatakan, “…itu urusan gue.”

Kepada para kadernya pun  ia mengatakan, sabar. Kerja dulu saja untuk rakyat. Nanti saat yang tepat dia akan mengumumkannya. 

Mega tentunya memiliki alasan yang kuat untuk tidak mengumumkan kandidat presidennya. Pengalaman pada pemilihan presiden langsung (pilpres) 2014, begitu nama Joko Widodo (Jokowi) diumumkan, tak sedikit kampanye hitam yang ditujukan pada Jokowi. Ada yang menyebutkan Jokowi anak dari seorang Tionghoa yang ayahnya berasal  dari Singapura.

Pada pilpres 2019, ada pula kampanye hitam yang menyebutkan, jika Jokowi dan Ma’ruf Amin menang, tak aka nada lagi suara adzan berkumandang dari masjid atau surau. Yang lebih parah, perkawinan sesame jenis akan dilegalkan di Indonesia. Anak-anak dilarang mengaji di masjid. Berita hoaks semacam iti amat santer untuk mempengaruhi para pemilih agar jangan memilih Jokowi.

Gaya kampanye hitam semacam itu bukan mustahil akan terjadi Kembali pada pemilu 2024 mendatang. Karena itu, Mega tampaknya ingin mempersiapkan para kadernya agar siap merespons kampanye-kampanye hitam tersebut.

Saat saya masih mengambil program doctor di Australia 35 tahun lalu, saya merasakan betapa kampanye pemilu di negeri kangguru itu amat ramai. Namun, yang mengemuka lebih merupakan kampanye negative dan bukan kampanye hitam. Kampanye negative lebih merupakan kampanye untuk memberi citra negative kepada partai atau individu pesaing politiknya. Sebagai contoh di Australia, “jika Partai Buruh Australia (Australian Labor Party – ALP) menang, keluarga anda akan susah karena kita harus membayar Pajak Barangg dan Jasa (Goods and Services Tax – GST). ALP juga akan menswastakan semua perusahaan-perusahaan public seperti Telkom Australia, Qantas dan kereta api. 

Di Amerika Serikat, sejak dulu sering dikampanyekan bahwa jika memilih Partai Demokrat, keamanan negara akan terganggu, pajak untuk orang kaya akan dinaikkan. Pada pemilu federal di AS 2020, Presiden petahana Donald Trump dari Partai Republik bukan saja melakukan kampanye negative membabi buta menyerang Joe Biden, melainkan juga menggerakkan kalangan pendukung jalanannya untuk menduduki Gedung Kapitol agar penghitungan suara yang memenangkan Biden dihentikan.

Amerikanisasi gaya kampanye pada pilpres di Indonesia sudah mulai terjadi sejak pilpres pertama di Indonesia pada 2004 dan mencapai puncaknya pada pilpres 2014 dan 2019. Bahkan ada kelompok partai yang sampai menyewa ahli kampanye dari negeri Paman Sam tersebut untuk melakukan strategi kampanye menghancurkan citra lawan politiknya. Buzzer pun dibentuk dan diorganisir untuk kepentingan kampanye.

Pada pemilu serentak 2024, bukan mustahil model kampanye negative dan bahkan kampanye hitam akan semakin marak. Untuk itu, KPU tentunya harus membuat aturan kampanye agar kampanye semacam itu bisa dikurangi kalau tidak bisa ditiadakan. Ini agar pemilu semakin bermakna bagi kemajuan demokrasi di Indonesia.***

Artikel Terkait