Opini

Satu Abad NU: Generasi Muda dan Revitalisasi Gerakan Ekonomi NU

Oleh : very - Selasa, 07/02/2023 18:44 WIB

Ramadhan adalah Pengurus PB-PMII dan Mahasiswa Magister Analisis Kebijakan Publik UI. (Foto: Ist)

Oleh: Ramadhan*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Perjuangan umat Islam dalam membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan kolonial Belanda, menjaga keutuhan Negara Indonesia, memerangi kemiskinan dan kebodohan dengan basis ekonomi kerakyatan serta  membangun peradaban bangsa hingga saat ini, tidak lepas dari peran para ulama seabad yang lalu dengan mendirikan organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama atau NU.

Tepat pada Tanggal 31 Januari 1926 M atau bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H, lahir organisasi Islam terbesar di Indonesia bernama Nahdlatul Ulama (NU). Artinya, jika dihitung dalam penanggalan Hijriyah usia NU sudah memasuki usia 100 tahun. Waktu yang cukup lama bagi sebuah organisasi untuk tetap eksis bergerak dalam memperjuangkan cita-citanya baik dalam kancah politik maupun dalam perekonomian nasional.

Kesadaran akan kebutuhan sebuah organisasi sebagai wadah perjuangan dan pergerakan  pada zaman perjuangan melawan penjajahan kolonial membuat para ulama dan cendekiawan Muslim menginisiasi berdirinya organisasi Islam Nahdlatul Ulama. Menyadur dari halaman NU online, sebelum lahirnya NU, Kyai terkemuka dari para ulama pesantren Ahlussunah Wal Jamaah, yakni KH. Abdul Wahab Chasbullah, sudah terlebih dahulu mendirikan organisasi pergerakan, yaitu Nadhlatul Wathan atau kebangkitan tanah air, pada tahun 1916. Menyusul membentuk organisasi Taswirul Afkar atau Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran) dan KH. Hasyim Ashari mendirikan Nahdlatut Tujar atau kebangkitan saudagar, pada tahun 1918. Baru pada tahun 1926 berdirilah Nadhlatul Ulama atau kebangkitan ulama yang memiliki jejak historis dari serangkaian organisasi yang dibentuk sebelumnya. Organisasi ini dipimpin oleh Kyai kharismatik bernama KH. Hasyim Asyari sebagai Rais Akbar.

Menarik untuk disimak, yang juga akan menjadi tema sentral dalam tulisan ini adalah kebangkitan dan kesadaran dalam perjuangan ekonomi umat sehingga lahir organisasi yang bernama Nahdlatut Tujar (NT) atau kebangkitan Saudagar, pada 1918. Menurut Fatoni (2017) kelahiran NT sangat dipengaruhi oleh Syarikat Islam (SI), dimana sekelompok santri di Makkah mendirikan SI Cabang Makkah pada 1913. Kemudian para santri tertarik karena melihat SI sebagai gerakan ekonomi masyarakat.

Pecah Perang Dunia I pada 1914 membuat organisasi SI cabang Mekkah tidak berdiri lama dan anggota-anggotanya pulang ke tanah air. Di tanah air, para santri yang dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari, melanjutkan gerakan ekonomi masyarakat dengan mendirikan NT, yang secara teknis kemudian mendirikan Syirkatul ‘Inan atau koperasi sebagai alat gerakan konsolidasi ekonomi masyarakat.

Syirkatul ‘Inan mampu mengimbangi bank-bank mainstream yang dimiliki oleh pemerintah kolonial. Masa kejayaan NT mulai padam pada saat Pemerintah Kolonial melalui regulasi-regulasinya mempersulit perkembangan koperasi seperti melalui pembebanan biaya yang mahal melalui notaris, penggunaan bahasa Belanda dan lain sebagainya, yang membatasi dan mematikan gerakan NT.

Pembatasan-pembatasan pada masa zaman kolonial Belanda memiliki dampak yang sangat signifikan bagi perjuangan ekonomi, khususnya gerakan NT hingga saat ini. Minimnya referensi dan literatur gerakan ekonomi dalam kiprah sejarah NU. Hal ini diakibatkan NU sebagai organisasi keagamaan terbesar Indonesia memiliki daya tarik politik yang besar. Sehingga aktivitas sosial politik lebih mendominasi daripada gerakan ekonominya.

Memperingati hari lahir NU yang telah berusia satu abad lamanya, tentu jika kita berbicara soal gerakan ekonomi tidak terlepas dari realitas ekonomi yang ada saat ini pada bangsa kita. Sebut saja, tingkat kemiskinan di Indonesia per Maret 2022, menurut laporan Badan Pusat Statistik, secara sebaran yang menjadi daerah dengan penduduk miskin terbanyak adalah Jawa Timur, sebanyak 4,181 juta jiwa. Diikuti Jawa Barat sebanyak 4,070 juta jiwa, diikuti Jawa Tengah sebanyak 3,831 juta jiwa. Artinya, bukan tidak mungkin penduduk miskin tersebut merupakan warga NU, oleh karena tidak dapat dipungkiri Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah beririsan dengan kantong-kantong atau basis-basis NU secara langsung, terutama bagi mereka yang tinggal di desa-desa.

Sebagai generasi muda NU, penulis yang juga menggeluti dunia wirausahawan merasa terpanggil, dan ingin kembali menggelorakan gerakan ekonomi kerakyatan yang dulu pernah diusung oleh Nahdlatut Tujar, sebagai organ penggerak NU yang lebih terdahulu berdiri dan bergerak untuk mengangkat ekonomi umat. Mengingatkan dan merevitalisasi kembali semangat deklarasi NT yang pernah diucapkan oleh KH. Hasyim Asyari, yang bunyinya: “Wahai pemuda putra bangsa yang cerdik pandai dan para ustadz yang mulia, mengapa kalian tidak mendirikan saja suatu badan usaha ekonomi yang beroperasi dimana setiap kota terdapat satu badan usaha yang otonom untuk menghidupi para pendidik dan penyerap laju kemaksiatan” (K.H. Hasyim Asy’ari – Deklarasi Nahdlatut Tujjar 1918).

Jika disimak lebih serius, kalimat yang diucapkan KH. Hasyim Asyari di atas, ada kaitan yang sangat erat antara ekonomi umat dengan kemaksiatan. Artinya, jika gerakan ekonomi  digalakan kembali dan dapat mengangkat taraf hidup umat, serta memberantas kemiskinan, maka otomatis kemaksiatan dengan sendirinya akan redam. Memang akan menjadi pekerjaan rumah tangga yang tidak mudah bagi generasi muda NU untuk menjadi pemikir dan penggerak ide dan gagasan yang pernah di toreh oleh NT pada masa zaman penjajahan kolonial dulu. Namun demikian, inilah realitas yang terjadi pada bangsa kita, bahwa angka kemiskinan di kantong-kantong warga NU di pulau Jawa saja sudah merupakan alarm yang tidak bisa dianggap enteng lagi.

Sudah waktunya bagi warga NU, khususnya generasi muda NU untuk kembali memikirkan, berjabat erat dan bergerak lebih serius soal gerakan ekonomi yang dapat mengangkat taraf hidup orang banyak. Walau saat ini sudah ada dan diselengggarakan Nahdlatut Tujjar Fest Satu Abad NU yang patut diapresiasi, akan tetapi jangan semata-mata menjadi pemanis seremonial semata.

Adalah suatu keharusan menjadikannya sebuah gerakan ekonomi yang konkret dan mengakar. Generasi muda NU harus memiliki kemandirian ekonomi, sehingga memiliki pijakan yang kuat baik secara sosial dan politik di Indonesia. Untuk itu, satu abad NU yang jatuh pada 7 Februari 2023, ada baiknya kita gunakan momentum ini untuk kembali menggelorakan gerakan ekonomi NU yang berbasis kerakyatan. Agar menjadi satu kesatuan yang tematik dan tak dapat dipisahkan dari sekadar gerakan sosial dan politik NU di Indonesia.

*) Ramadhan adalah Pengurus PB-PMII dan Mahasiswa Magister Analisis Kebijakan Publik UI.

Artikel Terkait